Sunday, September 29, 2013

Hidup Kan Baik-Baik Saja



Hidup kan baik-baik saja. Begitulah, judul lagu dari Fiersa Besari yang beberapa hari ini aku dengar dan resapi. Sebagai wanita, aku merasa terlalu banyak hal yang aku takuti. Perasaan-perasaan yang selalu timbul-tenggelam mengingat apa yang akan terjadi pada kehidupanku hari ini, esok, dan nanti.

Aku selalu ingin semuanya menjadi pasti bahkan sebelum aku menjalaninya, nonsense sekali bukan? Yah, begitulah aku. Aku selalu hidup dalam pikiranku, apa yang terjadi jika pikiranku dikuasai hal-hal negatif, takut tiap waktu? Rasanya menyakitkan. Sangat. Jika aku melihat cermin, aku merasa ada awan hitam yang menggelayut di kepalaku, dan mataku menjadi musim hujan yang berkepanjangan. Poor me.              

Dan lagu ini, seperti memberikan sedikit pencerahan, rasanya aku hanya perlu seseorang yang bisa membuat hidupku baik-baik saja. Yang dapat meyakinkanku dengan kehadirannya bahwa aku tak perlu lagi takut. Seperti mata beningnya berbicara, "Tenanglah, kasih. Apa yang kamu takuti, aku ada di sini?" dan aku bisa merasakan awan hitam di atas kepalaku menjadi putih bersinar, mataku menjadi musim semi yang bermekaran bunga-bunga. Dan yang aku lihat di hadapanku hanyalah keindahan. Lalu apa yang akan aku takuti lagi? Hahaha aku berharap itu akan menjadi kenyataan.

Tunggu dulu, sebenarnya apa yang kutulis ini?

Hahaha, aku harus sudahi ini. Aku merasa malu sendiri. Tapi sebenarnya aku hanya ingin mengatakan bahwa aku suka sekali lagu 'Hidup Kan Baik-baik Saja' milik Fiersa Besari, dan berterima kasih untuk kak Cahya yang telah merekomendasikan lagu keren ini di blognya

Oia, satu lagi. Aku akan berdoa pada Tuhan, kirimkan aku pasangan hidup yang dapat meyakinkanku, bahwa hidup kan baik-baik saja. Dengan bersamanya, tentunya. Aamiin. ^_^


***

Hidup Kan Baik-Baik Saja
Fiersa Besari
 
Cerita kita tak semanis dongeng
Atau bagai drama sinetron cengeng
Kau bukan artis, ku bukan pujangga
Namun kisah ini sangat berharga

Hingga rambutmu memutih
Hingga perutku membuncit
Hati ini tak kan pernah tua

Kita memang bukan pasangan sempurna
Bukankah Tuhan mengirimmu untuk melengkapiku
Aku tidak perlu punya segalanya
Selama kau ada di sini 
Hidup kan baik-baik saja

Menikmati hujan sambil berdendang
Berpegang tangan saat senja datang
Senyumanmu membuat nyali ciut
Jangan bersedih, kau jelek jika cemberut

Kita memang bukan pasangan sempurna
Bukankah Tuhan mengirimmu untuk melengkapiku
Aku tidak perlu punya segalanya
Selama kau ada di sini 
Hidup kan baik-baik saja

Hingga kulitmu keriput
Hingga ragaku tak lagi kuat
Hati ini tak kan pernah tua
*

Thursday, September 26, 2013

Serial Nyamuk #1: Kalian Bernama!



"Hei, kami datang lagi." Aku menoleh cepat, dua nyamuk gendut menyeringai sambil mengepakkan syaapnya. "Kami sudah kenyang! Jangan usir kami yah, plisss..." sambung si betina. Tawaku lepas begitu saja. "Iya, aku tahu kok. Kalian terlalu gendut untuk terbang serendah ini." Si jantan membuang muka, kesal. Si betina cekikikan tak jelas. Aku alihkan kembali pandanganku ke layar laptop.

"Kamu sedang apa?" si betina terbang mendekatiku. "Membaca!" jawabku singkat. Si jantan terbang di sekitar layar lalu hinggap di keyboard. "Kami tahu kamu sedang membaca, tapi baca apa? Tidak bisakah kau sedikit ramah pada makhluk seperti kami?" si jantan terbang lagi walaupun sedikit kepayahan membawa badannya yang berat.

"Kalian..." aku menghela nafas. "Hei, siapa nama kalian?!" Si jantan terkejut, dia hampir saja menabrak lemari di dekatnya. Dengan sempoyongan dia mendekati si betina. "Kau bertanya pada kami?" matanya memicing. "Iyya, kalian, siapa lagi? Ini bagian dari 'keramahanku' yang kamu minta. Semacam perkenalan dalam pertemanan." aku mencoba tersenyum.

"Kau ingin berteman dengan kami?! Huaahhh, oh iya, namaku," si betina antusias memulai perkenalan diri. "Aku." Si betina menunjuk pasangannya, "Dan dia, Dia." Si jantan berputar-putar, mencoba melakukan selebrasi, walau akhirnya jatuh mendarat di kasur. "Maaf, aku terlalu kenyang." ujarnya malu-malu. Si betina menutup wajah dengan sayapnya, "Berhentilah berbuat konyol, sayang!"

Aku tertawa melihat tingkah mereka. "Hei, bagaimana bisa namamu 'aku' dan 'dia', itu bukan nama!" Si betina terbang ke dekat wajahku, "Tapi begitulah, aku yah aku, kalau aku memanggil dia, yah dia dan kadang menjadi 'kamu'. Ah, seperti itulah..." Si jantan ikut bersuara, "Yah, kadang aku menjadi 'aku' dan dia yang menjadi 'dia', lalu-"

"Stop!!!" Aku mengisyaratkan kedua nyamuk itu untuk mendekat. Aku memijit keningku. "Itu bukan nama, 'aku, kamu, dia,mereka' hanyalah kata ganti yang bisa berubah-rubah. Nama adalah panggilan hidup-matimu. Seperti aku, namaku Aisyah Istiqomah Marsyah. Kalian boleh memanggilku Aisyah seperti temanku yang lain, atau Iis juga tak masalah." Kedua nyamuk itu menyimak dengan seksama kemudian saling berpandangan, entah apa arti pandangan mereka.

"Aisyah," Si betina berbisik di telingaku. "Nama yang cantik. Aku juga ingin punya nama. Beri aku nama..." Kali ini aku tersenyum lebar. Aku beralih ke si jantan, dia membuang muka. Oh, dasar jaim! "Sayang, kau ingin punya nama bukan? Ayolah, tidakkah mengasyikkan ketika kamu bisa memanggilku dengan nama yang cantik? Nyamuk yang lain akan iri mendengarnya, ayolah..." bujuk si betina sambil mengedipkan matanya. Si jantan tersenyum kecil, lalu buru-buru bersikap angkuh seperti biasanya. "Aku pikir, tidak ada salahnya. Berikanlah kami nama..."

Lepas sudah tawaku. Dasar, nyamuk jaim! "Tunggu, beri aku waktu berpikir..." Aku memainkan jari di atas keyboard, sedang kedua nyamuk itu menunggu sambil harap-harap cemas.

Lima menit berlalu. Ah, aku membuka mulut lalu menggelengkan kepala. "Tidak bagus. Tidak cocok. Ehmmm, belum pas. Kurang keren!" Si betina komat-kamit tak jelas, si jantan mulai resah dan mendesakku. "Cepatlah! Aku merasa tanganku dingin."

"Ssssttttt!!!!" kompak aku dan si betina menutup gerutuan si Jantan.

"Yah!!!" Aku berteriak mengagetkan kedua nyamuk itu. Aku tersenyum kecil, menatap wajah si betina dan jantan bergantian. "Aku rasa, nama ini cocok untuk kalian." Si jantan dengan cepat terbang ke arahku, "Apa itu? Cepat katakan, siapa namaku? Aku tak sabar lagi, aku akan memberitahukan pada nyamuk lain bahwa aku punya nama. hohoho. pasti mereka akan cem..bu..ru.." Aku tersentak. Aku dan si betina pun menatap tajam ke si jantan yang langsung menghentikan cerocosannya. "Hehehe, ehmm..aku hanya tak sabar ingin tahu namaku saja." Si jantan mundur perlahan hingga sejajar di samping si betina. "Memalukan!" bisik si betina sedikit marah. "Maafkan aku." balas si jantan menyesal.

"Sudah, sudah, jangan bertengkar! Dengarlah... nama kalian adalah-" aku menunjuk Si jantan, "Mosquito. Tn. Mos-kwi-to! Dan kamu, nyamuk betina yang cantik, namamu adalah Mosquita. Ny. Mos-kwi-ta!" aku tersenyum puas. Menunggu reaksi kedua nyamuk di hadapanku. Mereka bersitatap. Belum ada suara, aku menopang daguku di lutut. "Kalian tidak suka, yah?"

Tiba-tiba, serentak kedua nyamuk itu menyerbu dengan banyak 'ciuman' di pipiku. "Hei, sakit! Hentikan, hentikan, huaaahhh..." hampir saja aku menampar pipiku, dan kedua nyamuk itu terbunuh dengan tanganku. Huh. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan mengibas-ngibaskan tangan.

"Oh, maafkan kami Aisyah, maafkan kami... kami hanya terlalu senang mendengar nama yang kamu berikan." Si betina memelas. "Hoh?! hampir saja aku mati dengan nama yang keren sekali." si jantan, Moskwito, mengelus dadanya. Aku tergelak. "hahaha, iya, iya, aku tahu kalian senang sekali. Tapi, tidak usah menciumku. Sakit tau!"


Moskwito dan Moskwita berputar-putar mengelilingiku, mereka tertawa dan saling memanggil satu sama lain. "Moskwita-ku..." panggil si jantan. "Iya Moskwito-ku sayang..." si betina menjawabnya dengan sangat merdu. Hahaha, aku menahan tawa dan menyingkir sedikit. Membiarkan kedua nyamuk itu 'bersayang-sayangan' dengan nama barunya. 

"Moskwita, kau seperti Ratu nyamuk dari kerajaan belanda...."

"Seperti itukah? Oh, Moskwito sayang... kau bagaikan Raja dari kerajaan Inggris."

"Hohoho, sudah pasti itu sayang!"

Mereka menjauh, sambil terus memanggil-manggil nama bergantian,saling memuji dan terdengar sedikit berlebihan. Gombal! Tak kusangka mereka akan sebahagia itu. Hoh, tak kusangka pula akrab dengan nyamuk bisa membuatku sedikit bahagia juga. Aku melanjutkan bacaanku, samar kudengar suara manja mereka di ujung kamar.

"Moskwitoku sayang... aku mulai lapar." si betina merajuk. "Aku juga Moskwitaku cantik. Ayo kita cari makan!"

Aku menegaskan telingaku. Tunggu, jangan-jangan.... Ah, kudapati dua nyamuk itu sudah berada di hadapanku. Berputar-putar. Mencari lokasi yang enak untuk menghisap darahku. Argghhhh, berhenti berdenging di telingaku!!!


*to be continue :D


Maros, 26 September 2013

Sunday, September 22, 2013

Selepas Aku Ada


SELEPAS AKU ADA

kepada: Langit





Alirkan air matamu, asinnya, pada
jalan kenangan tak bermuara.
Tumpahkan. Ruahlah!
Gigil tubuhmu subuh hari,
lekas kupeluk.
Sejuk.


Air matamu, asinnya, biarkan tersesat.
Mencumbu keluguan awan
yang setia kelabu.
Ikhlaskan. Lelaplah!



"Kau tahu, aku telah dilahirkan mimpi
untuk menjadi ada."


Seperti tisu meresap air dari matamu
yang kian asin kadung dipasung rindu.


Jakarta, 16 Agustus 2013



Wednesday, September 18, 2013

<~ still praying, hoping, trying, smiling!


Dari blognya Azure Azalea. >_<

Allahumma Aamiin Ya Allahu Jabbar. 
Laa haula walaa quwwata illa billah.

Wujudkan dalam nyata 
jika menjadi penulis adalah yang terbaik untuk saya.


Sunday, September 15, 2013

SPICA



'Kau' = ?




"...aku ingin, terbang dan menari. Jauh tinggi, ke tempat kau berada."

Aku membayangkan ibu 5 meter di depanku sedang menyanyikan lagu 'Bintang Kecil' bersama anak perempuannya yang menggoyang-goyangkan kepala mengikuti irama. Tangan mereka terkait. Bersisian dan berjalan seperti sepasang sahabat yang baru pulang sekolah, bercanda dan tertawa.

Aku membayangkan sang anak bertanya, dan aku perlu menjaga jarak agar percakapan kecil mereka tak tertanggu. "Bu, 'kau' dalam lagu itu siapa?" katanya penasaran.

Aku membayangkan ibu itu tersenyum, memandang langit takzim, aku mengikut menarik pandangan dan ikut bertanya-tanya. Yah, siapa 'kau' itu, bu? Saking penasarannya aku mempercepat langkah, tepat 3 meter di belakang mereka.

"Jawabannya bisa siapa saja nak. 'kau' bisa jadi itu impianmu, tempat yang ingin sekali kamu datangi, atau mungkin Ayah yang sedang menunggu kita di atas sana-" ibu itu menunjuk langit dengan tangannya yang bebas. "Tuhan. Yah, KAU bisa juga berarti pencipta bintang-bintang itu." lanjut ibu meyakinkan.

Aku membayangkan sang anak mengangguk, walau masih membutuhkan sedikit tambahan untuk mengerti. Dan, ibu itu membacanya.

"Kalau kamu sudah besar, tanyalah hatimu nak, pada apa kamu dengan senang hati ingin terbang kemudian menari sebebas-bebasnya? Pergi jauh meninggalkan sesuatu untuk berada pada 'apa'? Dengan kata lain, 'kau' sudah seharusnya adalah hal yang paling istimewa yang menjadi alasan kamu melakukan itu semua."

Titik. Sempurna kebingungan sang anak. Aku ingin membayangkan lagi, ibu yang tertawa menggoda anak perempuan kecilnya. Tapi sampailah kami pada pertigaan. Aku tahu, mereka akan lurus berjalan ke depan sedang aku pastilah berbelok pulang.

Kami berpisah. Sebenarnya, tak ada percakapan kecil di antara mereka. Aku hanya membayangkannya saja. Seperti ada opera di kepalaku sendiri, dan membuatku tak kesepian di jalan pulang ke rumah.

Sedikit lagi aku sampai di rumah. Kuputuskan untuk memperlambat langkah, aku sudah besar-dewasa, bukankah saat yang tepat aku bertanya pada hatiku?

"Apakah jawabannya adalah cita-citaku? Apakah sebuah tempat? Makkah? Prague? Atau... mungkinkah 'kau' adalah seseorang?"

Tanpa sadar aku sudah di depan pintu. Malam masih saja malam. Ada bintang. Ada bulan. Ada kelelahan yang tiba-tiba melubangkan hatiku. Aku menghela nafas, berat. Aku belum menemukan jawabannya.

"Aku pulang, kesunyian..." ucapku sambil membuka pintu. Aku membayangkan lagi ibu dan anak perempuannya bersenandung di kamar tidur berwarna hijau teduh. Kemudian tertidur. Lelap.

"Bintang kecil di langit yang biru, amat banyak
menghias angkasa. Aku ingin terbang dan menari. Jauh tinggi ke tempat KAU berada."


*terinspirasi dari tulisannya Masgun.



Malam, 09 10 13/00.25

*sumber gambar

Catatan Sebelum Malam


Sekarang sore kan? Baguslah!

Sepanjang siang aku memikirkan hal yang paling aku inginkan sejak pukul 12.30 hingga sore ini. Satu hal sederhana saja. Yaitu, memiliki kamar mandi pribadi.

Rasanya pasti menyenangkan. Sejak kecil
aku harus berebutan dengan saudara yang tak sedikit. Dan takkan perlu lagi mulutku berteriak, "Siapa di dalam?!" Bahkan di asrama saat berpesantren pun mulutku tak juga berhenti meneriakkan kata itu, walau redaksi katanya berbeda, "Man fil hammam? Man fiddahil? Bisur'ah!"

Sederhana bukan? Aku hanya ingin ketika aku membutuhkan kamar mandi, aku tinggal membuka pintu tanpa bertanya-tanya siapa yang ada di dalam. Karena tidak akan ada siapa-siapa selain aku. Karena tidak akan ada
siapa-siapa yang menganggu dan membuatku terburu-buru. Karena aku tidak akan berbagi dengan siapa-siapa. Karena ini kamar mandi pribadi!

Mungkin sedikit egois terdengar, tapi ini hanya hal sederhana yang aku inginkan sampai detik ini. Dan satu-satunya yang akan menganggap ini sederhana juga hanya aku. Keinginan yang sulit diwujudkan tanpa bantuan Aladin, mungkin pikirmu. Oleh itu, agar mudah terkabulkan, dimulai dari kalimat ini, satu-satunya yang aku inginkan sekarang adalah TIDUR SORE. Tak peduli siapa yang melarang, aku akan tidur sore. Aku lelah.

Selamat sore, selamat tidur!

Di kamar, 10.09.13/17.13

Kepada L e l a k i :



L e l a k i, baca suratku yah :)

L e l a k i,

Aku takkan berpuisi, tidak malam ini ketika ada hal penting yang ingin kusampaikan. Sangat penting, berdosa rasanya jika lelap dalam tidur sedang hal ini masih terpenjara di pikiranku.

Jika kamu sudah tahu, maka anggap tulisan ini alarm yang menggantung dekat lampu tidurmu. Menyala untuk menerangimu. Sesaat sesaat saja.

L e l a k i,

Kamu hebat. Sungguh. Tahukah? Padamu ada 4 tanggung jawab yang berdiam di tiap-tiap nafas dan jejakmu. Ada 4 kehidupan yang kamu bawa dalam kehidupanmu pula. Serupa jantung yang memiliki 4 ruang, dijaganya degupan.

Yah, 4 hal itu adalah: Ibumu, istrimu, adik perempuanmu, dan anak perempuanmu.

Perempuan-perempuan itu, yang katanya terletak 'syurga' di kakinya, sejatinya kamulah penjaganya! Lelaki!

L e l a k i,

Sungguh berat tanggunganmu. 4 perempuanmu, berkewajiban engkau jaga, untuk keselamatan kehidupan di dunia ini juga akhiratnya. Engkau yang akan menjadi pemimpin, penunjuk, pada pintu keabadian manakah yang kamu bawa untuk mereka. Syurgakah yang di sana 4 perempuanmu akan bercengkrama di atas dipan-dipan sambil memandangi sungai jernih yang mengalir? Ataukah neraka yang kan habis melumat 4 perempuanmu, api membakarnya, lagi dan lagi untuk selamanya?

L e l a k i,

Kamu hebat. Sungguh. Jika saja kamu menyadari tanggung jawab ini, sekiranya kamu takkan merusak 'jantung'mu bukan? Kamu, akan lebih menghargai hidupmu, menghormati perempuanmu, menepis egomu untuk bermain-main dengan air mata, mulai merencanakan sebaik-baik impian untuk perempuanmu dengan kekuatan yang kamu punya.

Tak ada lagi permainan, apa saja, yang nantinya kamu takkan bergelar 'Lelaki Buaya', 'Mata Keranjang' dan segala istilah lainnya yang perlu kamu sandang. Tak ada.

Kamu hanya boleh bersandangkan gelar 'Lelaki Hebat' atau 'Lelaki Penjaga 4 Syurga'. Apa saja, segala sapa yang hebat untuk balasan kebaikanmu. Itu sangat pantas untuk kamu, jika dengan ikhlas dipahami.

L e l a k i,

Inilah yang ingin aku, perempuan, sampaikan. Terima kasih sudah mau membacanya. Sangat terima kasih jika hal ini mau dimaknai. Dan dari 4 perempuanmu, 4 cinta yang akan kamu terima, berlipat-lipat, bercabang, bermutasi hingga kamu lupa bagaimana rasanya kesedihan tak dicintai. Aamiin.

Salam ukhuwah, P e r e m p u a n.


*sebuah refleksi dari tulisan Lelaki Baik, Hidup Laki-laki. :-) Maaf jika terkesan menggurui.


Malam, 07 09 13/22.08

C u r h a t


Hei Kehidupan!

Masih hidupkah dirimu? Saya mau curhat. Ibu-bapak saya sakit. Saya juga. Tapi sakitnya berbeda. Mereka di kaki, saya di hati.

Saya juga mau nanya. Begini, seorang penipu dan pengkhianat tidurnya nyenyak tidak? Makannya nikmat gak? Trus klo ketemu sama orang yang mereka tipu, perasaannya bagaimana yah? Tenang gak? Nah, klo yang mereka khianati tersenyum ke mereka, air wajahnya bagaimana? Ketakutan, kaget, bingung, atau balas senyum juga? Penipu dan pengkhianat hatinya terbuat dari apa? Kok bisa sih menipu dan mengkhianat? Kira-kira mereka pernah ditipu dan dikhianati juga gak? Penipu dan pengkhianat milih-milih gak siapa objek tipu dan khianat mereka? Eh, klo sudah menipu dan berkhianat mereka ngapain yah? Merasa bersalah gak? Atau biasa-biasa saja? Menipu dan berkhianat itu penyakit bukan sih? Dapat diwariskan ato tidak? Hukuman untuk Penipu apa? Balasan bagi Pengkhianat apa? Boleh didoakan gak? Supaya mereka kena tipu dan dikhianati juga? Atau didoakan supaya berhenti menipu dan berkhianat saja? Tunggu dulu, boleh dibenci tidak? Emang mudah memaafkan penipu? Emang mudah menerima kembali pengkhianat? Ah, tempat penipu dan pengkhianat dimana?

Ehmmm, maaf kalau terlalu banyak pertanyaanku. Tapi satu lagi, Penipu dan Pengkhianat punya agama gak?

Eh saya masih mau bertanya. Tapi ya sudah, kalau kamu bosan dengan pertanyaan saya. Biar saya bertanya sama Kematian. Sepertinya dia lebih ramah dari pada kamu.

Hei Kematian!

Penipu dan Pengkhianat bisa mati gak? Jawab yah secepatnya. Terima kasih.


03.10.13.23.38

Moon Grin


Hoi, Hoi, Hoi!

Langit kita berbeda malam ini. Bulan yang indah, mungkin, sedang kau nikmati dari jendela kamarmu atau di sebuah tempat terbuka dengan atap langit malammu. Dan angin memainkan rambutmu, sejuk. Oia, itu mungkin.

Bagaimana keindahannya, aku menjadi penasaran rasanya? Apakah karena sempurnanya bulat bulan, atau karena cahayanya memancar 'sparkling', atau karena bulan tak lagi sendiri...serakan bintang seperti teman sejati yang ikut mewarnai? Seperti itu kah? Kamu harus menjelaskannya nanti, siapa suruh kamu memintaku melihat langit malam ini, langitku sepi.

Yah, kamu tahu tak? Langitku hampa. Tak ada bulan yang indah. Kerlip bintang. Jua sekedar lampu-lampu pesawat. Kamu tahu, aku seperti bermain petak umpet dengan bulan. Aku ke belakang rumah, menatap langit, menyusuri garis awan siapa tahu ada terselip bulan. Sayangnya, tak ada. Ah, pikirku di depan, aku harus mengeceknya, mungkin dari sana aku bisa menemukan bulan (yang katamu) indah. Sambil berperang dengan nyamuk, aku mengeja pipi langit, dan nihil. Langit tak bersemu. Langit di sini muram. Barangkali ada kematian bidadari di atas sana, hahaha aku hanya bercanda... Aku rasa, aku menyerah.

Aku tak menyalahkanmu, tentu tidak. Aku hanya ingin berbicara sangat panjang kali lebar lewat tulisan ini. :-D Beberapa hari ini aku merasa sangat jauuuhhh sekali, tak terukur. Karena sepatah kata seperti tak punya izin untuk keluar dan berpindah dari kepalaku ke telingamu. Akhirnya, harus kuakui, aku dan langit sehati malam ini. Rupanya, permainan petak umpet terasa seri.

Hoi, Hoi, Hoi!

Nikmatilah malammu; Langit. Awan. Bintang. Angin. Dan, bulan yang indah.

Mungkin, aku tak (bisa) melihat keindahan bulan malam ini, tapi aku dapat merasakan keindahannya. Seperti katamu.

Aku tak tahu. Aku hanya (ingin) percaya saja. Dan itu membuatku tersenyum, moon grin. ^_^¥

to: temanna Alien B-)

Kepada Lelaki Baik


Selamat malam Lelaki Baik,

Ramadhan sudah di bibir pintu, akan ada salam perpisahan nanti. Tak akan ada yang lebih sedih, setahu saya, selain dirimu. Sebagaimana tiada yg lebih senang, setahu saya lagi, ketika bulan suci ini datang kamu menuliskannya dengan hati riang.

Yah, saya membacanya. Selalu. Kamu, Lelaki Baik, yang lepas sahur sejak hari pertama tak pernah alfa menulis. "Tulisan Ramadhan hari ke-" begitulah kamu memulai. Begitu pula saya mencoba memaknainya. Hari ke hari.

Hei, Lelaki Baik, blogmu adalah kitab kedua setelah Al-quran yang wajib saya baca. Berlebihan? Tak apalah, kamu lelaki yang baik pasti mengerti. Sebab tulisanmu sungguh penunjuk jalan yang baik pula, bagi saya yang selalu tersesat ini.

Lelaki Baik dengan tulisan yang baik, naifnya, saya ingin menjadi pembaca yang baik dengan segala kekurangan ini. Yang kadang ketika membaca tulisanmu, manggut-manggut, terpana, bersyukur dipahamkan dengan kalimat sederhanamu, namun saat dihadapkan pada dunia nyata: saya alfa. Bagaimana bisa saya menjadi pembaca yang baik kan? Hehe

Lelaki Baik, terima kasih.

Untuk semua tulisanmu yang sangat menginspirasi, untuk tulisanmu yang bagai Bintang Utara menunjukkan saya jalan pulang, untuk membuat saya mampu bertahan di Bumi, karena sebenarnya saya adalah Alien dari Planet lain yang mulai gerah tinggal di Bumi. Untung saja saya menemukanmu, Lelaki Baik. :-D

Lelaki Baik, maaf.

Karena saya hanya bisa membaca tulisanmu tanpa meninggalkan jejak. Karena menyerap ilmu-ilmumu tanpa membagi yang ada di kepala saya ini. Karena tak berterima kasih langsung padamu, malah membuat surat yang takkan pernah terkirim. Karena saya mengirim lewat telepati, sebuah paksaan "Hei, teruslah menulis! Teruslah menulis! Teruslah menulis!" semoga tak mengusik hidupmu. :-)

Lelaki Baik, kamu akan sangat merindukan Ramadhan bukan? Ketika itu, ada pula yang sangat merindukanmu, tulisanmu. Itu saya. ^_^

Lelaki Baik, hanya kepadamulah Wanita Baik. Begitulah hukumnya, bukan? Hahaha sungguh sayang... saya hanyalah Alien yang sedang mencoba menuju baik. #pissss

Lelaki Baik... sekali lagi, Terima kasih.


_sincerely, Alien.

TAMU INI


Rumahmu sungguh nyaman, engkau memuliakanku. Terima kasih. Andai aku bisa dan boleh berlama-lama, aku ingin, tapi itu tak mungkin. Karena aku hanya seorang tamu.

Tetangga-tetanggamu juga mulai melirik sinis, bergunjing, dan menegurku. Mungkin mereka bosan padaku, atau ingin berkunjung juga, dimuliakan juga. Entahlah. Tatapan mereka padaku seperti melihat pencuri. Adakah yang aku curi di rumahmu? hihihi... atau aku telah mencuri perhatianmu dari mereka? Engkau mulai kewalahan sepertinya.

Baiklah, aku pamit. Untuk jangka waktu yang panjang aku akan menahan diriku menjadi tamu di rumahmu. Agar mereka senang dan engkau pun tenang. Mungkin.

Oia, dan aku?

Aku tak tahu. Aku sudah merindukanmu juga rumahmu bahkan sebelum kaki ini keluar dari pintumu. Payah, yah?

Aku, tamu ini, meminta maaf untuk terlalu nyaman dalam kenyamananmu.

Rumahmu indah. Engkau baik. Jika engkau bertanya kapan aku akan kembali, maka jawabannya adalah:

Saat engkau mengundangku ke rumahmu, tak lagi sebagai tamu. Mari kita saling memuliakan, kelak pintamu.

*Cerpen LINE, add my line: alienlainline

;-) :-D :-)

Risalah Hujan Bulan Juli



Kepada Autumn,

Boleh jadi kamu siap menari bersama rinai-rinai hujan,
tertawa di bawah derasnya air mata langit.

Namun, adakah orang lain siap menerima dirimu dalam keadaan basah?

Seperti halnya kamu siap berjuang untuk mendapatkan sesuatu, bertahan untuk sesuatu
tersakiti untuk sesuatu.

Namun, adakah orang lain siap menerima dirimu dalam keadaan terluka?

Renungilah!

10.07.13/20.36

Pada Wanita Tak Cantik



Lelaki itu tak percaya dengan apa yang terjadi. Tangannya terus bergerak menepuk pipi, badan, lalu merubahnya menjadi cubitan di sekujur badan. Berharap semua itu dapat membangunkannya dari sebuah mimpi, mimpi yang tak pernah diinginkannya. Namun, nihil. Justru rasa sakit yang terasa sekan mengejeknya, "Terimalah ini, Boy!"

Perang berkecamuk. Pikirannya mengeluh, ini tak mungkin. Hatinya menjawab, tapi ini yang terjadi. Tuntas sudah waktu membawanya dalam kebisuan panjang.

Tik. Tik. Tik.

Uff! Menghembuskan nafas dengan sangat kuatnya, dia tak tahu apakah mampu menghempaskan kenyataan. Yang disadarinya hanyalah, dia takkan pernah menang melawan kata nurani. Dia tidak pernah tahu dimana dia akan jatuh, tapi dia tahu dimana dia berjalan.

"Yah, mungkin saja aku telah jatuh sekarang, di perjalanan yang sungguh panjang dan melelahkan."

Apakah kalian berpikir lelaki itu telah kalah? Pada apa? Atau siapa? Jika kalian berpikir mesti ada bendera putih berkibar, maka kita tak sejalan. Dia adalah pemenang. Yah, bagiku.


*Cerita pendek yang terlalu pendek :D


10.04.13/21.38


*sumber gambar

Sunday, September 1, 2013

P e r e m p u a n [kuadrat]





~Bismillahirahmaanirrahiim~

 
“Kepada kau, Perempuan yang sejak mula kutemui dalam kebetulan—yang sesungguhnya bukan kebetulan—telah sangat memesona. Coba terus tawan kami di sana. Buat sangkar yang lebih besar, masih banyak cinta yang perlu kau tangkap, bahkan –semisal—keindahanmu sendiri.” [Kepada Seorang Perempuan, Azure Azalea]

“Seseorang kemudian mengambil sebuah peran dalam kebekuanku pada pena. Ia menulis, dan aku membacanya. Ia menulis lagi dan aku membacanya lagi. Ia menulis kalimat-kalimatnya, lalu aku mengaguminya. Ia menulis sajaknya, kemudian aku mencintainya. Ia terus menulis, dan…aku hidup!” [Menemukan Diriku Pada Seseorang, Rafiah Hafidz]


*

Sebuah pena memilih mati di malam buta. Sebelum ayam berkokok, sebelum sinar mentari membias di kaca jendela, sebelum Sang Pemilik –pikirnya— membuangnya karena kehabisan tinta. Namun, Kata berhamburan dari buku di atas meja, dari Diary yang terselip di bawah bantal, juga dari note-note kecil yang tertempel di dinding yang dingin. Mereka bersatu, menekan dalam-dalam rasa takut kehilangan, dan lirih berkata: 

Haruskah engkau mati ketika darimulah kami dilahirkan? Tegakah engkau menjadikan kami yatim-piatu dalam waktu yang bersamaan? Sesuatu yang tak ada dalam dirimu bukan berarti izin untuk meniadakanmu. Tunggulah sejenak, Sang Pemilik akan mengisi tinta baru untukmu, sedikit bersabar adalah jalan untuk kesegaran jiwamu. Engkau tak boleh mati, karena kita, Engkau-Kata-kata bersatu untuk menghidupkan banyak elemen kehidupan. Maukah engkau?”


*

Menganalogikan diriku seperti Pena di atas adalah keseriusan yang lucu, juga sedikit perih, aku –pernah, hampir selalu—ingin berhenti menulis. Merasa tak adalagi ‘tinta’ dalam diriku untuk melahirkan kata yang pantas dilahirkan, dibesarkan, lalu kuakui inilah anakku: karyaku! 

Sumpah, aku gemetar ketika seseorang memanggilku ‘Penulis’, memujiku, meminta saranku, bagaimana bisa begini-begitu, seperti diserbu ribuan orang yang meminta resep kesembuhan sedang aku hanyalah dukun gadungan yang sedang sakit juga. Kuberi saja mereka mantra, kumohon pergilah! Hei, kalian perlu tahu, di situlah titik aku selalu ingin ‘mati’, sebelum mentari bersinar dan menegaskan wajah asli diriku –yang katanya— penulis itu. Sebelum kokokan ayam menjadi cibiran yang mematuk-matuk rasa maluku. Aku ingin hilang dalam kesunyian. Aku ingin hilang sebelum terang. Karena aku, bukanlah siapa-siapa!

Tapi, di usiaku yang dua kuadrat –tertawa—, aku tak mati. Tepatnya, memilih untuk tetap hidup. Aku memang bukanlah siapa-siapa, selain aku adalah aku, namun aku merasa aku adalah ‘seseorang’ ketika 2 orang perempuan menulis tentang diriku. Mengapa kini? Ah, hebat sangat cara kerja Tuhan tanpa kita campur tangan. Dua perempuan itu –tak lagi kulihat perempuan— mereka selaksa anugerah, serupa dua  cahaya lurus menembus dinding hatiku yang berlubang dan dengan sempurnanya memadat, menutup, serta meneranginya. Aku menjadi seseorang dengan hati yang bersinar. Aku rasa, mereka berdua ‘agen penyelamat’ Tuhan di muka bumi.

Dua Perempuan, sepasang perempuan, ah, manisnya kuucap… 


P e r e m p u a n  1


Perempuan pertama, Azure Azalea, kalian lihat sebait tulisan pembuka di atas? Yah … Kepada Seorang Perempuan adalah kado –bila boleh aku anggap— yang Azure berikan padaku. Siapa dia bagiku? Siapa aku baginya? Tidak, sungguh bukan kami sahabat lama yang segula-segaram kehidupan. Kami hanyalah dua perempuan yang bertemu dalam beberapa kesempatan –bisa dihitung jari— yang tak juga banyak smsan maupun telponan. Namun mengapa dia mau menuliskanku dengan sebegitu mengharukannya? Satu-satunya jawaban yang aku tahu, karena aku-dia mencintai kata, dan tuhan mempersaudarakan hati kami. Dengan ikatan yang ramah, aku membaca blognya-dia membaca blogku. Aku membacanya-dia membacaku. Lalu, bagaimana aku bisa memilih ‘mati’ saat perempuan ini telah aku ‘tawan’, tak mungkin aku mengajaknya mati bersama. Memperbanyak alasan untuk 'hidup' dan menulis, kini aku jalani sekuat hati. Dia pasti akan menguatkan aku –berharap dan tertawa— lagi.



P e r e m p u a n  2


Perempuan kedua, Rafiah Hafidz, sebagaimana aku yang hampir ‘mati’, perempuan ini pun pernah sekarat jiwanya. Katanya, dalam 'Menemukan Diriku Pada Seseorang', dia bercermin padaku dan dia hidup! Ah, super sekali kehidupan membawa kami pada permainan ‘Petak-Umpet’. Lihatlah, dia menuliskan bagaimana diriku telah menyelamatkan hidupnya sedang saat ini aku menuliskannya bagaimana dia menyelamatkan hidupku. Mungkin benar, aku bukanlah siapa-siapa, bagi diriku. Tapi bagi orang lain? Aku mana tahu. Sampai perempuan ini bertestimoni, cukup aku melihat dirinya, kemudian aku mengenali diriku. Oh Tuhan, Maka nikmatMu yang manakah yang aku dustakan? Seperti pintanya, aku bahagia. Aku bahagia, kak… Aku bisa menjadi alasan bagi seseorang untuk hidup sedang aku di ujung tanduk. Tapi, sungguh…aku bahagia.


*


Begini, aku tak pernah minta untuk dituliskan, diabadikan dalam kata dan dijamu dengan kemulian di rumah (blog) siapapun. Tidak pada perempuan pertama dan kedua. Pula, tanpa aku minta izin, kadang tanpa disyiarkan, aku menuliskan tentang orang-orang, beberapa yang padanya hatiku menggerakkan tangan untuk bercerita. 

Mengapa demikian?

Tahukah kalian? Mengertilah aku sekarang…menemukan dirimu dituliskan dengan kesantunan kata paling santun oleh seseorang adalah hal yang paling membahagiakan setelah melihat senyum ibumu. Yah, itulah yang aku rasakan. Meski itu sepotong, sepotong saja dalam baitnya tertulis namamu, lekas terbit senyummu. Dengan itulah, aku yakin, kedua perempuan yang sedang membaca tulisan –yang membicarakan dirinya— kini tengah tersenyum. Manis. Manis sekali… sepertinya mereka tertawa sekarang. Hahaha…

Lalu, tidakkah tergerak hati kalian untuk menulis tentang seseorang. Mulailah dengan seseorang yang terbersit –kini— di pikiran kalian. Dan setelah itu, kalian hanya perlu memilih…memberitahukan ‘dia’ atau biarkan ‘dia’ menemukannya sendiri. Persilahkan hatimu memilih. 

Terakhir dan penting untukku, bisa saja, tidak hanya dua perempuan ini yang menuliskan tentang diriku. Masih ada perempuan lain lagi yang berikhlas ria mem-frame diriku dalam kata-katanya. Atau mungkin dari kaum Pria? Demi menjaga nama baikku, dengan kemurahan hatinya diam-diam memberikan singgasana kata-nya untukku. Hahaha, mana tahulah aku! Aku takkan mencari tahu. Cukuplah aku berterima kasih, setulus ketulusan yang aku punya, pada kedua perempuan cahaya –mari amiinkan—juga pada orang-orang yang menulis tentang diriku. Sekalipun aku hanya dukun gadungan yang ternyata masih sakit –non kronis—, aku akan tetap bertahan. Tetap memilih hidup. Tetap menulis. Sampai…

Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri.

(Pada Suatu Hari Nanti, Sapardi Djoko Damono)


di BTN, 01 September 2013