Thursday, April 23, 2015

Please Remember! :')


I will say...

Nicerest, if you're sleepy.
Misyutu, if you're missing me.
Istirahatlah, if you tired.
*Nothing*, if you're getting angry.
Syafakallah, if you're sick.
Semangat!, if you wanna begin do anything.
It's ok, if you make a mistake.
Ailovyutu, if your heart scream my name.
Allahu yahdik, for the rest of your life.

*Friday, 250415

Tuesday, April 21, 2015

Aku Ingin Seperti Kamu


Dear, Kak Uchy...

Ini ada tulisan lamaku. Beberapa bulan yang lalu saya nulis ini di tumblrku. Kayaknya perluka untuk share, supaya sama-sama tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diri tiap-tiap orang. Seperti halnya pernyataanta di wallku, sesungguhnya begitulah inginku. Menjadi bisa seperti orang yang kukagumi. (Tenang kak, begitu juga kok diriku) Dan itu melelahkan...pfftt. 

Disadari atau tidak, antara manusia satu dengan yang lain, terhubung keinginan-keinginan untuk memiliki (setidaknya) salah satu kehebatan yang ada pada mereka. Jadi kesimpulannya, setiap manusia itu memiliki KEHEBATAN masing-masing. Sayangnya, hal ini seringkali tak disadari atau buruknya, tak kita percayai. Barangkali luput dari pandangannya sendiri, karena terlalu sibuk membaca kehebatan orang lain. Makanya, kita perlu saling mengingatkan, agar potensi dalam diri tak teracuhkan kodong. :D (berasa jadi Iis Teguh brrrr) :D

So Kak Uchy, you are great just the way you are. But deeply, thanks for all. I miss you kk :*

Bacaki nah.... :D

*

AKU INGIN SEPERTI KAMU


Terkadang aku menyesali diriku yang tak bisa membaur dalam keramaian. Selalu kucari jalan untuk melarikan diri, bersembunyi di duniaku yang sepi. Walau sejatinya, pikiranku lebih ribut dari suara-suara di dunia nyata.

Terkadang aku merasa iri, orang-orang dengan mudah memulai percakapan. Dari hal kecil hingga tema pembicaraan yang berat sekalipun. Lalu yang kudapati pada diriku, selalu kelu dan memilih disapa lebih dulu.

Terkadang aku ingin menjadi orang lain saja, merasakan hal-hal yang tak pernah bisa kulakukan saat menjadi diri sendiri. Keinginan ini seperti tak ada hentinya, meski kutahu itu takkan pernah terjadi.

Di saat aku menghitung-hitung inginku, pada waktu yang bersamaan orang-orang menyampaikan keinginannya. “Aku ingin bisa seperti kamu.”

Aku yang tenang, pendiam namun menyimpan banyak kisah saat bercerita, aku yang rajin menulis, aku yang… (aku tak percaya mereka seperti me-list kelebihanku yang tak kusadari)

Di saat aku mencemburui kehidupan mereka, ternyata yang terjadi seperti cermin, mereka mencemburuiku!
Jadi, seperti ini kah hidup? Perlu sepasang mata lain untuk melihat kelebihan yang ada pada diri sendiri? Atau lebih baik, sebaiknya kita mengasah mata hati kita untuk melihat jauh ke dalam diri sendiri, segala kelebihan yang dimiliki. Lalu mensyukurinya.
Jakarta, 26 02 15.

Duh, Pertanyaanya Ituloh! :D




"Seperti apa kamu 10 tahun kedepan?" (anon)



33 tahun?

I am a best writer, absolutly fulltime wife and mother. :')

10thn ke depan, saya adalah seorang istri dari partner hidup -yang entah siapa. Membangun rumah tangga yang harmonis, saling menyelamatkan impian, dan selalu berbincang banyak hal. Saya akan menjadi 'pakaian', sebagai penutup segala kekurangannya. Menjadi 'rumah' sebaik-baik tempat berpulangnya saat resah ataupun bahagia. Serta menjadi 'perhiasan' baginya, dan selalu mengharap ridhonya. Setiap pagi sy akan sibuk menyiapkan sarapan untuknya, mengurus pakaiannya yg sdh dipersiapkan td malam, memasangkan dasi dan mendoakannya sebelum pergi kerja. Kemudian menunggunya pulang. Lalu kami berbincang tentang kegiatan masing2, sambil makan es krim, sambil memandang langit, dan ditemani alunan musik y menenangkan. :')

10thn ke depan, saya adalah seorang ibu dari dua anak (semoga kembar aamiin). Riang mengurus anak dari pagi ketemu pagi. Saya memilih untuk tidak bekerja, dan menjadi seorang ibu sepenuhnya. Karena saya tdk akan menyerahkan anak sy u diurus oleh orang lain, sebab seorang ibu adalah madrasatul ula, sekolah pertama bagi anak2nya. Saya akan selalu berada di sisi anak saya, sebagai tempat belajar segala kebaikan dan menemaninya tumbuh menuju kedewasaan. Setiap malam sy akan membacakan cerita buatan sy sbg pengantar tidur anak2, mendengar cerita si sulung slm di sekolah, dan senantiasa menasehati mereka u terus mengingat Allah dimanapun berada. terus mengupgrade diri, baik keimanan maupun ilmu yg dimiliki sebagai bekal menghidupkan keluarga kecilku di jalan yang di ridhai-Nya.

10thn ke depan, saya adalah seorang guru ngaji u anak2ku serta anak2 di lingkungan sekitar. Ba'da ashar mereka sdh berkumpul di rumah untuk belajar iqra, hafalan surah pendek, maupun kisah2 nabi. Di samping itu, saya menjadikan halaman rumah sebagai 'rumah baca' untuk anak2, sbg tempat mereka belajr menulis, sekedar membaca atau bermain bersama.

:')10th ke depan, saya adalah seorang penulis yang telah mengeluarkan Novel dan Buku Puisi. Mengisi seminar ttg kepenulisan di mana-mana, kalau suami mengizinkan dan tdk menggangu kebersamaan dengan anak2. kalau tidak ada kegiatan di luar, saya akan sibuk menulis di rumah, di waktu yang senggang. Karena menulis adalah bagian dari hidup saya. Kalau anak2 mengajakku bermain,saya akan meninggalkan kegiatan menulis saya dan bergembira bersama mereka. :')

10thn ke depan, saya adalah wanita yang InsyaAllah seperti apa yang saya tulis hari ini. Semoga Allah menggariskan takdirnya sebaik-baik pengharapan, jikalau akan berbeda, semoga lebih baik lagi dari apa yang saya rencanakan. Jika sy menjumpa kenyataan yang sangat jauh dr apa yang diharapkan, semoga saya diberi kekuatan n kesabaran untuk menjalaninya. :')

*Dear anon.. mohon doanya yah. :) Kalau mau tertawa juga gak papa, hehe sy juga ketawa terharu ini liat rancangan hidupku y akan datang. :'D

*

Ahahaha gokillll... that's such an amazing question! :D Tau aplikasi ask.fm kan? Itu loh aplikasi buat kepo-kepoan, alias nanya-nanya gitu ke seseorang. Awal buatnya untuk gokil-gokilan, liat aja di bio saya "Hei, I am sky lover. There are no serious answers here, so just ask me anything n we'll be fun together. :D" Ngakunya sih gak ada yang serius jawabannya, tapi coba lihat jawaban dari pertanyaan di atas, ckckck kelewatan serius banget. Tapi, lucu juga sih, ada yang nanya kayak gitu. Klo menurut saya, itu si anon (pertanyaan anonim yang tidak menyertakan user) adalah Ishma, karena cuman dia temen ask yang lumayan aktif nanya. Jadi, klo ada anon, mikirnya langsung ke Ishma. Tapi untuk pertanyaan yang satu ini, perlu konfirmasi dulu itu beneran dia atau bukan. Soalnya pernah ditanya sama anon, pas dijawab serius eh ternyata kata Ishma bukan dia. huhu :/

Bagi yang mau nanya-nanya, silahkan langsung nge-ask aja, pasti dijawab kok. Tergantung mood, kalau pengen serius jawabannya sudah tentu serius, tp kalo lagi datang gokilnya, terima saja jawaban aneh bin gokil yah. :D 

Duh, pas buka ask sekarang, ada pertanyaan 'seram' : Berapa anak yang kau idamkan?

-_- Alamakkkk... sepertinya masih lanjutan ask sebelumnya, huhu Ishma, is that you?


Jkrt, 220415

Saturday, April 18, 2015

Surat Balasan Dari, An. :')



TEMPAT INI MASIH RAHASIA
Oleh: An

Dear Kak Autumn…
Maaf baru tahu bahwa Kakak menulis surat di hari ulang tahun adek. Meski sama seperti Kakak, adek juga diam diam suka sekali menjadi penggemar Kak Autumn. Membaca Twitter Kakak, status di fb tapi di blog. Adek sering lupa, karena sosial media ternyata lebih sering adek kunjungi daripada blog.
Ada bahagia yang tiba tiba hadir dan rasa haru. Adek selalu suka mendapat surat, lebih suka dari semua hadiah lain yang adek terima. Boleh jujur? Adek sambil menangis menulis ini. Kakak pasti pernah merasakan, saat kita jauh dari keluarga dan ada yang mengingat kita. Membuat kita merasa tidak sendiri, terima kasih banyak :)
Beberapa hari yang lalu, grup menulis tempat kita pertama bertemu dibuka kembali. Apa Kakak tahu, bahwa grup itu sempat begitu lama mati suri. Adek sendiri sudah cukup lama tidak ke sana. Baru ketika dibuka kembali, adek teringat bukankah kita dipertemukan di grup itu. Adek rindu Kakak.
Untuk tanggal kita bertemu, hahaha kita punya kesamaan. Adek pelupa tanggal, tapi pengingat kenangan. Adek sering lupa hari hari istimewa orang di sekitar adek. Tapi selalu ingat seperti apa dan bagaimana mereka menjadi sebagian hidup adek.
Dan Kakak, entah untuk alasan apa. Adek selalu merasa dekat. Ada ingin agar untuk waktu lebih lama, kita tetap memiliki kedekatan ini. Tetap berbagi, meski hanya dengan tulisan dan doa doa.
Meski adek bagikan, pada akhirnya tempat ini masih saja rahasia. Karena toh, adek bisa merasa begitu nyaman berbagi banyak hal di sini. Adek masih selalu merasa bahwa hanya Kakaklah yang tahu tempat ini, entah jika tanpa komentar. Beberapa orang membaca tulisan, eh celoteh adek diam diam :D
Autumn, musim gugur selalu manis. Ada daun daun yang jatuh, ada panas yang menjadi sejuk. Musim, seakan baik sekali. Karena tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Adek harap Kakak bisa menikmatinya kelak dan semoga dengan seseorang yang sangat istimewa. Agar musim yang baik, menjadi lebih baik.
Kakak selalu manis pada hidup, meski di satu titik adek merasa Kakak rapuh. Tapi Kakak selalu ingin kembali baik baik saja. Teruslah jadi yang selalu tabah, seperti langit. Mampu menjaga bintang bintang tetap di atas. Tapi juga dengan rela hati melepaskan hujan.
Ah iya, adek suka menulis surat dengan cara kuno. Sejak kecil, adek bermimpi dan berharap sekali adek punya sahabat pena. Meski akhirnya sampai sedewasa ini, sampai zaman berubah, sampai surat cukup diketik. Adek baru sempat mendapatkan sekali, itupun tidak lama. Di sini, masih ada tukang pos, adek selalu senang melihat mereka membahagikan surat ke kotak kotak yang tersedia.
Semoga Kakak juga selalu bahagia, mau tersenyum bersama adek untuk lebih lama. :)
*
Terima kasih, :') kita akan tetap tersenyum meski sesekali menangis. :')

Baca suratku untuknya di sini. :)

Thursday, April 16, 2015

Jadi, Diam dan Dengarkanlah! :)



Mama saya adalah salah seorang pencerita ulung, sangat menyenangkan mendengar ceritanya. Setiap ada kesempatan mengobrol, mama pasti memiliki bahan apa saja untuk diceritakan, tentang kehidupan kebanyakan. Kadang ngobrol tentang berita terhangat di TV, mulai dari politik, kasus kriminal yang kian hari semakin membuat merinding saking jahatnya, atau sekedar berita artis yang selalu ramai dibicarakan.

Namun, ada satu hal yang saya perhatikan darinya ketika kami sedang mengobrol, yaitu mama tanpa sadar mengulang-ulang cerita yang pernah dia ceritakan sebelumnya. Bukan hanya sekali-dua kali, tapi berkali-kali. Bahkan, gerak tangan, intonasi, mimik wajah, jalan cerita semuanya sama dan saya hafal betul jadinya. 

Salah satu cerita yang paling sering diulang adalah, cerita tentang kakak saya Andi, hilang saat kami sekeluarga jalan-jalan ke Jakarta Fair. Mungkin itu adalah moment terburuk yang beliau rasakan, bagaimana takutnya seorang ibu kehilangan anaknya. Saat itu kami masih kecil-kecil, dan beliau selalu bilang di akhir cerita, "Mama gak bisa bayangin kalau waktu itu mama gak ketemu sama Andi, bagaimana nasibnya sekarang. Jadi gembel kali." Yah, menakutkan. Sangat malah.

Biar bagaimana pun, tetap saja, kalau mama sedang mengulang ceritanya lagi (tanpa sadar seakan-akan inilah pertama kalinya dia bercerita) ingin rasanya menyeletuk, "Udah pernah mama cerita ini. jangan diulang-ulang terus dong." Tapi, saya -mungkin saudara yang lain juga memilih untuk diam saja, membiarkan mama meneruskan ceritanya. Tidak menyela, memotong, atau melontarkan kata-kata yang sempat dipikirkan di kepala. Saya mendengarkan dengan seksama, seolah-olah inilah kali pertama saya mendengarnya. 

Kenapa? Karena saya ingin menghargai mama, sebagai orang tua yang sedang berbicara. Sebagai orang dewasa yang perlu dihormati. Juga sebagai salah satu tanda, bahwa ada kalanya kita perlu menahan ego untuk terjalinnya kebersamaan. Ini memang terdengar sepele, tapi coba bayangkan jika kita langsung menyela begitu saja, bukan hanya pada orang tua saja, saudara, teman sebaya, atau sesiapa pun. Tentulah menyakiti hatinya, atau sekurang-kurangnya, orang yang sedang bercerita jadi tak lagi berani untuk bercerita. Diam dan merasa kecewa.

Realitas kebanyakan, orang-orang tak sabar mendengar dan langsung memotong begitu saja. Seperti pemenang menuntaskan pembicaraan, "Sudah tahu." atau "Sudah pernah dicerita kali." dan masih banyak lagi. Tanpa memedulikan, pada kalimat yang mana kita menyakiti hati mereka. Bila ingin memberitahu, tunggulah sampai di akhir cerita, dan katakan dengan baik-baik. As simple as smiling each other, semestinya. :)

Jadi, diam dan dengarkanlah!

Bila kita menjumpai situasi seperti ini, maka turunkanlah ego, sejenak saja kita dengarkan apa yang lawan bicara katakan. Bisa saja, pengulangan yang terjadi disebabkan betapa berkesannya moment itu, hingga tanpa sadar dia selalu ingin membicarakannya. Entah itu sebuah kebahagiaan atau justru kesedihan. Mari terus belajar untuk saling menghargai sesama. :')


Jakarta, 170415

Monday, April 6, 2015

Badut


BADUT

sumber gambar

Namaku Surya. Aku benci badut. Benci sekali. Mendandani diri sendiri dengan make up norak, memalukan. Berlagak konyol dengan pakaian yang aneh, semuanya terasa menjijikkan. Tak adakah pekerjaan yang lebih ‘terhormat’ selain membuat diri sendiri ditertawakan oleh orang-orang? Aku takkan pernah sudi melakoni hal itu.
            Apakah aku sudah memperkenalkan diriku? Betapa bencinya aku pada badut? Yah, Surya si pembenci badut. Itulah aku.
           
*

            ‘Surya, apalagi yang kamu butuhkan?’ berulang kali bapak menanyakan hal yang sama setiap bertemu denganku. Apa yang aku butuhkan? Bapak seakan-akan tak membiarkanku kekurangan satu apapun dalam hal menuntut ilmu. Yah, bapak memang tipe orang tua yang akan melakukan segala cara demi keberhasilan anaknya.
Bapak adalah seorang satpam di sebuah mall besar di Jakarta. Ia bekerja mulai pagi hingga malam. Meski sibuk dan pulang dalam keadaan lelah, bapak selalu menyempatkan diri menemaniku belajar. Membantu apa saja yang ia bisa lakukan, menurut pengamatanku selama ini, aku merasa tidak ada yang tidak bisa ia lakukan. Saat ada tugas pelajaran Tata Busana untuk membuat baju, aku merasa pusing karena tak tahu menjahit! Bapak kembali menjadi penyelamatku, ia mengajarkan padaku bagaimana cara membuat pola dengan terlebih dahulu mengukur berbagai ukuran. Menggunting. Lalu menjahit. Aku terpana dibuatnya. ‘Kok bapak bisa?’ tanyaku masih tak percaya. Kata bapak, nenekku yang mengajarinya saat masih muda. Saat kutanya mengapa tak jadi penjahit saja, bapak bilang tak ada modal tuk beli mesin jahit.

            Bapak adalah seorang ibu juga untukku. Ibu meninggal setelah melahirkanku. Meski merasa terpukul, bapak mengambilku yang kala itu masih bayi ke dalam dekapannya. ‘Surya, surya, surya… Bapakmu mengucapkan kata itu berulang kali dengan pancaran cinta yang tak terbilang. Baginya, kau adalah sang surya yang akan menyinari dunia.’ Cerita nenek cukup mengena di hatiku. Tak pernah sekalipun aku membantah perintah bapak. Sayangnya, aku tak menyimpan baik-baik di lubuk hatiku yang paling dalam. Waktu mengikis rasa itu.

            ‘Surya butuh uang, pak.’ Aku menggigit  bibir. Tanpa bertanya terlebih dahulu untuk apa uang itu aku gunakan, bapak malah langsung bertanya jumlah yang aku butuhkan. ‘Tiga ratus ribu…’
            Tanganku bergetar memegang uang yang diberikan oleh bapak. Untuk pertama kali dalam hidup, aku membohongi bapak. Aku memang membutuhkan uang, tapi hanya seratus ribu. Selebihnya aku mengikuti ajakan teman-teman untuk membohongi orang tua kami masing-masing. Nantinya uang ini akan kami gunakan untuk membeli ‘sesuatu’, apa itu, aku sendiri belum tahu.
Aku menatap kertas di gengamanku, ada sesuatu seperti kupu-kupu besar terbang dalam perutku. Terlihat bapak menggantung seragam kerjanya. Deg! Rasanya, mulas. Teramat sangat. Dan, perih.

            Ternyata, cerita yang amat menyentuh dari mulut nenek beberapa tahun silam, tak dapat bertahan lama dalam hatiku. Lagi, untuk kesekian kalinya aku membohongi bapak. Kepercayaan penuh dari bapak, membuat kebohonganku leluasa bergerak. Dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat kebohongan yang tinggi. Bapak sampai harus menjual jam tangan kesayangannya demi memenuhi permintaanku.
 ‘Belajar saja yang rajin. Biar urusan biaya bapak yang pikir.’ Ucapnya sambil menepuk pundakku. Kupu-kupu besar dalam perutku masih saja bergerak, kepakannya terasa menyakitkan kala aku menatap raut lelah di wajah bapak. Namun, ‘sesuatu’ yang diperkenalkan teman-temanku di sekolah membuatku tak mengindahankan rasa mulas dan perih yang semakin menggila.

            Satu tahun. Dua tahun. Tiga tahun. Aku merasa hidup dalam kemunafikan yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Bapak tak penah tahu, anak kebanggaannya yang ia titipkan setangkai bunga harapan, telah membuat layu sebelum sempat ia nikmati keindahannya.
            ‘Kamu lulus juga itu udah bagus. Kamu bisa tunjukkan keberhasilanmu di jenjang kuliah. Semangat!’ bapak mengangkat tangannya yang terkepal, mencoba menguatkanku yang lulus dengan nilai terendah. Aku tersenyum, miris. "Bukan aku," Aku merasa tak pantas mendengar hal itu dari bapak. Meski samar, aku dapat melihat jelas garis-garis kekecewaan yang terlukis di wajah bapak. Kami pulang dengan kediaman yang tak terpecahkan. ‘Semangat itu lebih pantas untukmu, pak.’ batinku.


            ‘Apa yang kamu butuhkan?’ kata itu masih saja berdengung. Kepercayaan bapak sebesar harapan yang tersirat di matanya, ‘Surya, kamu tahukan arti dari namamu?’ tanya bapak di jeda makan malam. Aku memandang bapak, tak mengerti.
‘Matahari.’ kataku ragu. Bapak mengangguk.
            ‘Saat mengandung, ibumu pernah berkata: ‘Aku suka sekali dengan sang surya, salah satu ciptaan Tuhan yang melambangkan keikhlasan. Membagi sinarnya secara merata untuk makhluk di muka bumi. Tak peduli ia dicaci karena intensitas panasnya yang berlebihan maupun pujian karena kehangatannya yang ditunggu-tunggu, ia tetap bersinar tanpa pernah meminta balasan. Aku ingin memiliki sang surya’ perempuan itu, ibumu  selalu membicarakannya. Pagi, siang, malam. Setiap saat,  sampai-sampai aku menghafalnya,’ bapak tertawa kecil mengenang istri yang amat ia cintai.            ‘…ketika kamu lahir, ibumu menukar nafasnya untuk nafas baru yang akan menemani kehidupanku selanjutnya. Yaitu, kamu. Surya. Bapak minta padamu jadilah seperti apa yang ibumu impikan. Kamu mau kan?’ sorot mata bapak menembus genangan di matanya. Dengan rasa bersalah yang amat besar, aku mengiyakan.
Aku akan mencoba, pak. Janjiku.

            Janji tinggallah janji. Kebohongan seakan tak bisa terhentikan dari diriku. Aku benci telah memulainya. Kini, aku berjalan dalam langkah palsu. Menjadi Sang surya. Memberikan sinar pada orang lain, hah, palsu. Justru, sekarang, aku menyerap sinar-sinar kebaikan orang lain dan paling utama bapakku. Memberdayakannya untuk kebutuhan nafsuku sendiri.
            Kuliahku, hancur. Hidupku berada dalam genggaman ‘sesuatu’ yang aku kenal sejak masuk SMA. Aku adalah budaknya. Aku juga pemujanya. Sesuatu yang nikmat. Dan kenikmatan itu amat mahal harganya. Kepercayaan bapak adalah bayarannya.
            ‘Ada yang ingin kamu katakan sama bapak, nak?’
            Banyak, pak.  
            Aku tak berani menyatakannya secara langsung. Hatiku menjerit-jerit murka. Sekali lagi, lidah benar-benar kaku oleh kebenaran. Terlalu banyak kebohongan yang dikecapnya.
            ‘Tidak ada, pak…’
            ‘Kalau ada apa-apa bilang sama bapak, jangan dipendam sendiri, nanti…’ aku menutup telingaku, jangan dimulai, pak. tak ada lagi kata-kata dari mulut bapak yang ingin kudengar ‘Hentikan, pak! Hentikan, berhentilah memberikan kepercayaanmu padaku. Berhentilah menawarkan bantuanmu. Berhentilah menaruh harapan besarmu padaku. Surya mohon, pak… hentikan semua ini. Sebab Surya tak pantas menerima semuanya. Aku mohon, pak…’ hatiku benar-benar murka. Menyayat sendiri daging-daging khianat yang tumbuh di sana.

*

            Uhuk, uhuk!
            Darah. Secepat mungkin ia mencuci tangannya dengan air. Tak ada yang boleh tahu mengenai hal ini. Terutama, sang buah hati. Lelaki itu mengambil seragam yang tergantung lalu mengenakannya. Seragam palsu yang menemani kebohongannya.
            ‘Maafkan bapak, Ya. Membohongimu sekian lama. Tapi, biarlah… semua ini bapak lakukan demi keberhasilanmu, nak.’

            Uhuk, uhuk, uhuk!
            ‘Bapak sakit?’ badan bapak terlihat semakin kurus. ‘bapak nggak usah kerja dulu, nanti Surya yang minta izinkan.’
            Bapak menggeleng cepat. ‘Tidak, nak. Bapak nggak apa-apa. Kamu ada kuliah pagi ini kan?’
            Aku mengangguk. Kupandang punggung bapak hingga hilang di tikungan. Aku menghela nafas. Ponselku berbunyi.
            ‘Halo. Oke, gue ke sana sekarang.’
Aku takkan bisa melepaskannya. Aku butuh itu.

*

            ‘Kenapa?’
            ‘Gue benci badut.’
            ‘Ha, ha, ha… nggak asyik lo! Nikmatin aja dulu. Nanti pas nge-fly, serasa sama badut deh. Ha, ha, ha…’
            Aku memandang jijik badut di seberang meja yang tengah dikerumuni anak-anak. Kenapa juga Hans ngajak ketemuan di tempat seperti ini?

            Uhuk, uhuk, uhuk!

            Aku tersentak. Mataku mencari asal suara batuk yang aku dengar. Suara itu, batuk itu… Di sana! Mataku tertumbuk pada badut yang terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya.
            Aku  bangkit dari duduk. ‘Mau kemana?’ pertanyaan Hans aku abaikan. Aku  terus berjalan mendekati badut yang kini hanya sendiri ditinggalkan oleh anak-anak yang merasa jijik dengan batuknya. Badut di hadapanku masih terus batuk, mulutnya tertutup oleh tangannya. Mataku beradu dengan mata sang badut. Nampak keterkejutan di mata si badut. Ia mencoba berdiri menjauh dariku, namun fisiknya tak kuat lagi menahan rasa sesak yang berdiam dalam tubuhnya.
            Dengan gugup aku membuka topi yang dikenakan si badut. Rambut yang memutih itu, mata itu, batuk itu, semua…
‘Ba, ba, bapak…’ ucapku tertatih. Si badut yang tak lain adalah bapak terdiam sesaat lalu batuk ganas itu menyerang lagi. Cairan merah keluar dari mulutnya. Banyak. Batuk itu terus mengguncang tubuh bapak.
            ‘Bapaaak…. Tolong, bapak saya.’ Aku memeluk tubuh bapak yang terkulai tak berdaya.
‘Maafkan bapak. Surya…’ terdengar suara bapak mengucapkan sesuatu dengan pelan. Seperti sebuah bisikan.

*

            Aku berlari. Terus berlari. Tak kuhiraukan ganasnya guyuran hujan malam ini. Aku tak peduli kilat-kilat yang menyambar. Guntur yang mengamuk. Angin yang mendengus. Bahkan, badai sekalipun terjadi malam ini, aku takkan berhenti tuk terus berlari. Air hujan bagaikan tusukan jarum, menyakitkan. Menembus tulangku. Ngilu. Bibirku membiru. Aku kedinginan.
            ‘Ah, peduli setan! Biarlah hujan ini mencuci semua kotoran-kotoran yang melekat pada tubuhku.’
            Sosok itu muncul kembali. Badut. Bapak. Arghhh…
            ‘Kenapa, pak. Kenapa? Kenapa bapak membiarkan diri bapak ditertawakan demi aku yang tak tahu diri ini. Bertahun-tahun, pak. Aku membenci badut. Dan, bapakku sendiri rela menjadi seorang badut untuk kehidupan anak durhaka ini. Kenapa pak?! Engkau bertingkah konyol di balik seragam badut itu, demi mengumpulkan pundi-pundi uang atas namaku, sementara itu aku terbang melayang melupakan bunga harapan yang engkau titipkan padaku. Engkau berbohong demi diriku dan aku berbohong demi diriku sendiri. Hanya demi aku, mengapa? Mengapa? Hukum aku Tuhan!’

            Teriakanku beradu dengan derasnya suara hujan. Aku jatuh bersimpuh di tengah jalan yang sepi. Meski ada kendaraan yang lewat pun, aku tak peduli. Nyawaku lebih pantas dicabut dibandingkan nyawa bapak. Lelaki itu, bapak, kenapa…?

*

            Namaku Surya. Aku benci badut. Benci sekali. Bukan karena make up yang sebelumnya membuatku jijik. Badut mengingatkanku pada pengkhianatan yang aku lakukan pada kepercayaan bapak, cinta bapak yang ternodai kepalsuan, juga pengorbanan bapak selama bertahun-tahun di balik kostum besar itu demi mewujudkan harapan yang tersemat di dadaku. Menyinari dunia dengan kebaikan. Aku mengubur harapannya. Aku benci badut. Dan Tuhan menghukumku.
            Apakah aku sudah memperkenalkan diriku, betapa aku membenci badut? Yah, Surya sang badut sekarang. Itulah aku.


Cerpen 06 Agustus 2011, 
aku membuatnya setelah menyelesaikan cerpen Rahasia Rista.
Kedua cerpen ini masuk dalam buku antologi FBS UI Tahun 2011
yang bertema "Merajut Kisah Hidup Dalam Kata"

"Aku sedang bertanyatanya, 4tahun berlalu adakah peningkatan dalam kualitas menulisku?"
:(
  

Kepada Seorang Perempuan Muda yang Kuat


Untuk UA,

Benarlah kita tak sedarah, berjumpa sesekali, bukan pula teman yang akrab mengisi harihari. Kalau aku datang begitu saja dan menggenggam tanganmu, pastilah kamu kaget dan tak mengerti. Kalau aku mengirim pesan atau meneleponmu saat ini, pastilah kamu terkejut dan tak percaya. Kenapa aku tetiba ada mengantri di pintu hatimu untuk masuk, sebagai seorang kakak mungkin.

Di suatu malam setelah membaca buku The Palace of Illusions, aku menemukan banyak pertanyaan berserakan tentang hidup, --terutama mengenai perempuan. Salah satunya adalah, mengapa perempuan selalu diidentikkan dengan kelemahan? Bahkan dalam buku itu disebutkan, perempuan tidak akan pernah bisa menghabiskan semua air mata dalam hidupnya. Apakah akan selalu ada peristiwa yang membuat mata perempuan menangis?

Sebagai seorang anak, maka ibu adalah teman perempuan pertama yang kutemukan. Selama beberapa tahun bersamanya, aku tak pernah melihat ia menangis di hadapanku. Mungkin saja pernah, tetapi tak sesering ia tersenyum hingga dengan mudah aku melupakannya. Mungkin pernah, saat tak ada orang di sekitarnya dan hanya di hadapan Tuhannya. Jadi kupikir, di mana letak kelemahannya? 

Kamu mungkin bertanyatanya apa maksud ceritaku yang sepenggal saja, entahlah... aku hanya ingin mengajakmu melihat bersama sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Tanpa menggurui, --tanpa tedensi apapun selain aku memang ingin bercerita.

Ada yang salah kumaknai, kupikir menangis adalah tanda kelemahan. Perempuan yang menangis adalah perempuan yang lemah. Aku mengaku salah. Namun, sudut pandang lain yang kucoba percayai adalah: perempuan ditakdirkan untuk kuat. Tak peduli seberapa banyak persedian kantung air mata yang dimiliki, perempuan harus kuat. Tak peduli berapa masalah datang dan pergi, perempuan harus kuat. Tapi kenapa? Mengurai jawabannya sama saja menceritakan kehidupan seluruhnya. Bukankah perempuan madrasatul ula, sekolah pertama bagi anak manusia? Bukankah perempuan tempat bermukimnya syurga untuk anak manusia? Seperti kekuatan Khadijah untuk menjadi tempat bersandar Rasulullah, kekuatan Maryam untuk menjaga kehormatannya, kekuatan Asiyah menyelamatkan imannya, seperti kekuatan Aisyah atas fitnah yang menerpa dirinya, serta masih banyak lagi perempuanperempuan kuat yang dijamin syurga.

Hari ini, hati perempuanku mengetuk-ngetuk minta bertemu denganmu. Minimal seperti ini, menulis dan menjumpai dalam rangkaian kata. Sebab terbentangnya jarak, pula ketidaksanggupanku untuk menjadi kakak meski dalam dunia maya. Bahwa, aku kini bercermin dalam kisah hidupmu: tentang seorang perempuan muda yang kuat. Refleksi hidup yang tengah kamu jalani, pecah berurai menjadi potonganpotongan hikmah yang aku, --para perempuan lain mestilah memungut dan mempelajarinya.

Aku tahu ini tak berarti apaapa, sebab aku hanya melihat kulit luar dari ujian yang menimpamu, selebihnya hanya kamu, orang terdekat dan Tuhan yang tahu. Oleh itu, sudah kukatakan sebelumnya, kutulis ini sebagai jalan untuk menjumpa. Tak ada tedensi apapun. Kalau pun (boleh) ada, aku ingin kamu menerima rasa terima kasihku untuk ketegaran, kekuatan, dan senyum yang selalu kamu tampakkan. Semoga.

Salam untuk si kecil, dia akan baikbaik saja, Insya Allah. Bukankah dia dikelilingi perempuanperempuan kuat? Allahumma aamiin. :')


Jakarta, 060415

Sunday, April 5, 2015

Kata Mama (Sebuah Catatan untuk Diri Sendiri)


sumber gambar


Kata mama, "Jangan menghakimi seseorang sesuka hati, kita tidak pernah tahu perjuangan berat seperti apa yang telah dia lalui dalam hidupnya." 

* 

Jika kita tak melihat orang yang tergeletak tak bernyawa di pinggir jalan karena mati kelaparan, itu bukan berarti tak ada. 

Jika kita tak mendengar rintihan seorang anak kesakitan di dekapan ibunya yang tak tahu berbuat apa-apa karena tak punya uang sepeser pun, itu bukan berarti tak ada. 

Jika kita tak merasakan kesusahan dan penderitaan hidup sejak membuka mata di pagi hari hingga menutup mata di malam hari, itu bukan berarti tak ada. 

Jika kita berpikir hidup baikbaik saja, luruslurus saja, bahagiabahagia saja, itu sebuah kabar baik yang menakutkan. Apabila pikiran itu menyeragam dan membuat kita hanya melihat satu warna sesuai kacamata yang dipakai. Apabila kita menjadi risih terhadap teriakan orangorang yang meminta keadilan. Apabila kita merasa terganggu dengan orangorang yang mempersoalkan uang recehan serta hal yang dipandang remeh. Apabila kita malu melihat orangorang yang sibuk memperebutkan kemurahan hati para dermawan. Apabila di suatu kesempatan kita berbincang dengan teman dan menertawakan kehidupan, "Hidup itu dibawa enjoy aja. Ngapain sih dibikin ribet." 

Jika memang semudah itu, semoga jutaan orang di muka bumi ini yang tengah memikirkan cara bertahan untuk hidup sampai lupa tertawa, mendapatkan kesempatan yang sama. 

Mungkin bisa dimulai dari diri sendiri untuk berbagi; mencipta kebahagiaan untuk lingkungan sekitar. 

*Note to myself. 

Jkt, 030415

Cerita Tentang Pejalan, dari Kau. [1]


sumber gambar



Angin mendesau. Kerajaan lebah pekerja di batang pohon kayu. Kau dan Aku bersandar di bawahnya, kelelahan. 

"Anak-anak manusia adalah para pejalan, di jalan berkelok menuju langit biru." Kau buka suara. Aku tajamkan pendengaran. "Kalau lelah yah istirahat, seperti ini." ada hembusan berat di ujung kalimat. Kau duduk di bagian yang terkena cahaya matahari, keringatmu berkilau. 

"Kata Ibuku, tak baik berjalan sendirian. Jalanan yang terlihat sepi dan biasa saja bisa menjelma menakutkan saat purnama menggantung. Di setiap kelokan banyak hantu bergentayangan. Hiihh-" Aku bergidik membayangkan. "-katanya aku harus hatihati, kalau tak salah ini nasihat pertamanya setelah aku datang bulan. Aneh yah?" 

Kau tergelak. Tertawa jangan terlalu, nanti ratu lebah marah. Aku mengingati. 

"Ibumu cuma mau bilang, carilah pasangan hidup." Lalu Kau terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu, menimbang dalam pikiran. "Apa kau mau mendengar ceritaku?" katamu sedikit ragu. Tentu saja! Aku terkejut sendiri saat berseru. Ada dengung lebah entah dari arah mana. Kudekap mulutku yang menyengir. Angin berdesir. 

"Suatu hari," Kau mengenang. "seorang anak manusia -ditakdirkan sebagai pejalan- berjalan sendirian. Tangga waktu dilalui. Hari demi hari. Awalnya mudah dan dia menikmati. Kau tahu bunga sepatu yang kau kagumi itu? Seperti itu perjalanan membentuknya. Memetik kesendirian dan lupa sejalan waktu akan layu. Pada akhirnya, di jalan yang tak luruslurus saja, dia jatuh berkalikali. Bahkan ada lubang besar menjebloskannya, dalam, dalam sekali. Sampai-" 

Cerita terputus. Gambar yang kubuat dalam imajiku ikut buyar. Sekawanan burung melintas, Aku ingat ibuku tetiba. Perintahnya yang kadang kuabaikan justru kali ini sangat Aku rindukan. Tapi cerita dari Kau lebih membuatku penasaran. 

"Sampai?" 

"Sampai detik dia berputus asa, seorang pejalan lain menemukannya. Di kegelapan lubang dia melihat wajah seseorang di atas sana. Dibuangnya kembang keangkuhan. Lalu dia berteriak minta tolong. 'Siapapun di atas sana, tolong aku.' Seingatnya itulah kalimat mengiba pertama yang diucapkannya selama perjalanan hidupnya. Dia merasa air matanya akan menetes setelah itu." 

Kalimatnya akan terus menggema, bahkan setelah si pejalan itu bisa keluar dari lubang. Dan air matanya tidak hanya akan menetes, tapi mengalir tanpa henti di sepertiga malam jika dia adalah Aku. Aku memposisikan diri. Terbawa emosi. 

"Apa yang dilakukan pejalan lain di atas sana?" 

"Kalau itu kau, apa yang akan kau lakukan?" 

"Yah, aku akan melakukan apapun untuk membantunya keluar." 

Kau menatapku. "Anak baik. Seharusnya kau yang ada di sana." Keringat sebesar biji jagung menetes dari pelipismu. "Sayangnya, pejalan lain hanya menatapnya iba tanpa berbuat apaapa. Beberapa mencemoh. Sebagian yang lain bahkan menyumpahinya tetap berada di lubang itu. 

Maka di sisa kekuatan yang dimiliki, si pejalan menggunakannya untuk mengingat. Sebelum mati -dia sudah sampai puncak putus asa- dia mencari halhal membahagiakan untuk dikenang. Setiap dia mencoba mengingat, dia malah tak menemukan apaapa. Dia mulai berpikir bahwa selama ini dirinya tak pernah bahagia. Lubang terasa semakin dalam. Dan si pejalan kian pasrah, dia akan terkubur entah di hitungan detik yang keberapa." 

Kasihan sekali. Aku ingin masuk ke dalam cerita dan menolongnya. Tak boleh ada yang mati dalam keadaan tak bahagia, kukatakan itu pada Kau. Seperti itu pula yang kukatakan pada Ayah, maka Aku terus berusaha membuatnya bahagia. Kematian terkadang mengejutkan, Aku tak ingin lengah. 

"Apakah dia mati?" tanyaku pelan. Wajahku muram. 

Kau menarik nafas dan membuangnya. Awan tebal yang tadi jauh dari matahari kini telah sampai menutupi. Kau merenggangkan badan. Terdengar bunyi 'krekk' berapa kali seperti tulang patah. Kau tertawa. Aku juga. 

"Aku akan melanjutkan ceritanya nanti. Sebelum malam datang, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan." Kau berdiri memandang ujung jalan. "Akan ada beberapa kelokan lagi, curam, juga jalanan penuh lubang dan krikil tajam. Aku tahu dari pejalan yang berbalik pulang. Apa kau siap?" 

Aku mengangguk. "Cerita itu, kapan akan kau selesaikan? Apakah dia mati sebelum bahagia?" 

Kau dan Aku mulai melanjutkan perjalanan. Lebah pekerja pulang mengumpulkan nektar. Matahari terlihat lagi, -di barat mulai setengah tenggelam. Pikiranku terlempar jauh, membayangkan diri mengulurkan tangan ke dalam lubang meski tak sampai. Kau berjanji akan menyelesaikan cerita nanti, katanya perjalanan sangat panjang, sayang jika satu cerita harus cepat berakhir. 

Kau dan Aku di ujung jalan, menjumpa kelokan. "Ingat pesan ibumu, banyak hantu bergentayangan. Hiih..." Kau tertawa riang. Aku mengeratkan genggaman. 


(bersambung, gak yakin bisa disambung kembali) :D 


Jakarta, 290315 

Tentang Perempuan yang Membuat Lajur Kata



source: dok pribadi

"Mencintainya harus menjadi langit, biru. Dia akan membagi senyum selengkung sabit, semerah senja, dan --aku tak bisa membayangkan lagi." 

(Gadis Langit, AIM) 


Setelah 'Ibu' satu kata yang hidup serupa tumbuhan hijau di kepalaku adalah 'Langit'. Abu-abu adalah duka. Hitam bertabur kelipkelip cahaya adalah gaun pengantin. Merah adalah raja yang kuat untuk bertahan saat fajar dan senja. Lalu biru, akan sampai dimana biru itu?


Selain 'apa kabar' dua kata yang menjadi favoritku adalah 'suatu saat', --semacam pintu yang kuketuk pelan dan kulit dunia nyata terkelupas, menampakkan penghuni dengan wajah beragam harapan dan menyapaku sopan. Kalau sudah diberi senyuman, mereka mulai mengigaukan halhal aneh. Katanya, aku bisa ke langit, melampaui bulan, mengukur sendiri tepinya (di bagian ini aku tertawa) dan masih banyak lagi. Jika aku menggelengkan kepala -tak percaya- mataku menangkap matahari itu jauh sekali dan sendiri, --seperti biasa. Pintu tertutup. Dunia memakai kembali jubah kebesarannya, pongah. 


Seperti 'Aku benci dingin' tiga kata yang sepadan negatifnya adalah 'Aku benci kamu'. Dengan tanda seru di ujung, seharusnya sudah cukup untuk membuatku berjalan mundur dan seimbang. Bukankah seperti itu, karena merasa tak sanggup... hati mengemas kebalikannya, --keterlaluan bodoh. Bila saja aku pandai menyimpan rahasia, meski di sisinya, tiga kata yang melompat-lompat seperti anak kecil akan tetap diam sebeku es krim di tangan. Tapi, 'aku cinta kamu'; Es krim meleleh; hatiku; hatinya. 


Begitulah, sekata, dua kata, tiga kata atau kekata yang kalau dibuatkan lajur, akan kewalahan nantinya. Hidup yang dilewatkan dengan diam adalah persembunyian, kalau kita menemukan hati yang baik, kita akan mulai berani keluar dan berbicara. Bukan bergunjing. Dari semut apa yang telah menggigit lenganmu sampai perihal peristiwa terluka yang disimpan menahun. Sepasang hati terus menumpahkan kata, --tanpa lajur. Panjang lebar. Penuh debardebar. 


Ah, sepertinya aku terlalu banyak berkata-kata. Selamat siang. :) 


Jkt, 18032015

Dear, An...


selalu suka dengan foto ini :D

Dear, An...

Menulis surat adalah hal yang menyenangkan bagiku, membuka dengan kata 'Dear...' sambil membayangkan yang dituju ada di hadapan. Hanya saja surat tak lagi berbentuk selembar kertas dengan tinta warna, dimasukkan ke dalam amplop, ditempelkan perangko dan mesti dibawa ke kantor pos untuk mengirimnya. Kini, aku hanya perlu memainkan jari di atas keyboard dan mengisi layar putih dengan katakata. Tak perlu beranjak pergi untuk mengirimkannya, dengan bantuan internet; email; blog; sosmed maka surat elektronik ini akan sampai padamu: yang kutuju. Mesti sejujurnya, aku merindukan cara kuno --entah siapa yang berpikir sama denganku.

Hari ini, aku baru tahu bahwa tanggal cantik ini adalah hari bahagiamu. Kapan pertama kali kita saling mengenal? Untuk urusan yang berkaitan tanggal atau angka, aku sering lupa. Tapi tidak untuk sebuah cerita atau kejadian yang pernah aku lewatkan, yah aku suka mengingat kenangan. Dan hari ini, kucerita sedikit tentang awal kita jumpa.

Mungkin ini bagian cerita yang tak kamu tahu, bahwa --di waktu yang tak kuingat aku masuk dalam sebuah group menulis. Detik itu aku sedang giatgiatnya belajar menulis, mengikuti lombalomba, berkenalan dengan dunia sastra dan para pelakunya yang terlihat memesona. Aku melihat namamu, dengan foto profil kartun muslimah. Dari banyaknya member hanya dirimu yang ku-add, tanya kenapa? Ahahaha entahlah, padahal aku belum melihat kronologimu untuk memastikan sesuatu sebagaimana jika aku ingin meng-add seseorang. Singkat cerita, aku mulai mengkepoi notenotemu, dan coba tengok kembali, di sana adalah mula aku mengagumimu. Sampai-sampai aku mengabadikan beberapa puisimu di sini. Lalu bagaimana kita selanjutnya, aku menuliskan tentangmu penuh suka cita. Kamu sudah baca, tentunya.

Bagaimana sebenarnya takdir menemukan jalannya? 

Sering kali aku menanyakan hal itu, bukan tak memercayai, hanya sungguh hebat saja pikirku. Mengapa kita bisa dekat padahal hanya sebatas teman dunia maya, kalau aku membaca lagi setiap tulisan di blog rahasiamu ---dulu, aku merasa punya kesamaan yang terlalu banyak. Tentang segala hal dan beberapa masalah hati. Atau mungkin bukan hanya kita saja, pribadipribadi seperti aku dan kamu, sungguh diuji dengan ujian yang tak beda jauh. Kalau kita mau mencari, bisa saja kita menjadi lingkaran yang besar dan saling mengiyakan ini-itu. Ah, apa yang aku bicarakan.

Surat ini aneh yah, seharusnya aku menanyakan kabarmu lebih dahulu. Tapi aku tak melakukan itu. Karena jawabannya sudah kujawab sendiri, di pikiranku. Aku selalu membaca isi hatimu di blog, statusmu, twitanmu, dan aku simpulkan kau akan selalu menjadi baikbaik saja untuk orang lain. Sedang untuk dirimu sendiri, kau lebih tahu dari sesiapa. Apakah aku terlalu mengada-ada?

Ini akan menjadi penutup surat yang menyebalkan, jadi tolong dimaafkan. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa semoga kita tidak bertemu di dunia nyata jika pada akhirnya akan saling lupa. Seperti ini saja, persaudaraan yang biasa saja, yang jauh di mata namun dekat di hati. (hahaha) Karena mereka yang di sekitarmu, jauh sebelum kita bertemu, adalah orangorang terbaik untukmu.

*

Selamat berbahagia.

Apapun yang terjadi. Apapun yang dimiliki. Apapun yang hilang dan pergi. Apapun itu, semoga engkau bahagia. Di mana pun berada, semoga Allah merahmatimu. Aamiin. Miss you, An. Tetap berceloteh yah... :)


Jkt, 040415.