Tuesday, October 23, 2012

Nostalgila2an A.B.C


Saat harus pasrah tertular virus kejujuran tingkat Pluto. 


A menjadi A. 

B tetap B. 

C memang C.


ABC seperti sebuah prosa hidup. 

Membuka yang tertutup. Merekahkan kuncup-kuncup pertemanan. Menertawakan yang terlewatkan. 


ABC menggenapkan malam yang ganjil.

 Lalu kembali ganjil oleh tawa-tawa yang genap. Tawaku dan tawamu.


ABC bisa saja bagian dari batu keanehan.

Yang tak sanggup kita pecahkan, rupanya. Sebab batu itu bergulir dan mencipta rima. Indah sekali. Merdu.


Ah, ABC

Mengapa kutemukan banyak kata setelah membaca namamu?

 


Monday, October 22, 2012

Kita Akan Tenang?


Kita pecahkan saja batu keanehan ini

Selagi kekuatan kita masih tersisa, dan malam masih bisa memejamkan mata. Walau harus berbalik badan berulang-ulang.

Kita akan tenang.

Kita akan tenang. Mungkin.

Kita akan tenang. Aku menjadi tak yakin.

Kita akan tenang. Aku tak yakin.


Kita akan tenang?


Oh, sampai kapan batu keanehan itu bergulir mengikuti jalan kita. Turun-menanjak. Kita berpisah saja. Dan batu keanehan itu. Biarkan dia mengikuti yang dia mau.

Aku. Atau, kamu. Yang jelas bukan kita.


Kita akan tenang.

Kita akan tenang. Iya.

Kita akan tenang. Aku mulai yakin.

Kita akan tenang. Aku yakin itu.


(Friendship Never Dies)




Saturday, October 20, 2012

Losing


: Talita, apakah kamu menyesal sekarang?

: Iya, Andini. Banyak hal yang aku sesalkan.

: Termasuk membawa Andini masuk dalam lingkaran pertemanan kalian.

: Mungkin.

: Kamu marah sama Andini?

: Tidak juga. Aku marah pada diriku. Mengapa aku tak bisa membaca masa depan. Seharusnya aku bersiap dari dulu untuk menghadapi situasi sulit ini. Hanya saja aku tak berpikir sejauh itu, bahwa. . .

: Bahwa pada akhirnya, Andini menjadi perebut kebahagiaanmu.

: Kamu salah. Kamu tidak merebut. Karena aku tak pernah memilikinya.

: Kalau begitu, aku adalah pengganggu. Mungkin juga, perusak.

: Entahlah. Ini terlalu cepat. Sulit. Menyakitkan.

: Apa yang harus Andini lakukan?

: Jalani saja seperti biasa.

: Walau tawa kami menjadi pisau di hati Talita?

: Iya. Aku sudah terbiasa terluka. Lagipula dia sangat senang bisa tertawa bersamamu.

: Maafkan aku, Talita?

: Kamu tidak salah, Andini. Walau jujur, terkadang aku menyalahkanmu. Tapi itu pikiran sesaat saja. Sudahlah, sangat menyakitkan membicarakan hal ini.

: Talita,

: Ya.

: Tenanglah, dia akan kembali padamu. Andini yakin itu. Tawa kami saat ini takkan abadi, setelah dia juga merasakan hal yang sama seperti Talita rasakan, dia akan kembali. Kembali mencari hati tempatnya selama ini merasakan ketenangan. Dan, bukan pada Andini. Tapi, kamu Talita.

: Aku tak mengerti, Andini.

: Kalau begitu, cukuplah percaya Talita. Aku pergi.


 




Thursday, October 11, 2012

Pisau Kuning Keemasan

Aku sedang berbaring ketika seberkas sinar menerobos triplek bocor, menyorot lurus tepat ke arah mataku. Apa yang dibawa sinar itu? Mengapa aku menangis, hatiku bergetar, lalu sinar itu menjelma pisau kuning keemasan. Menusuk mataku. Kiri saja. Lalu darah mengucur deras sekali. Mata kananku juga mengalirkan banyak sekali air mata.

Sinar itu, ah bukan, pisau itu menusuk tanpa henti. Aku punya kekuatan untuk bangkit, tapi anehya aku tidak memiliki keinginan itu. Aku masih berbaring. Dengan dua sungai di pipiku. Kubiarkan saja.

Sakitkah? Sangat!

Tiba-tiba...

 Pisau kuning keemasan itu melebur menjadi sinar kembali. Tertarik pulang pada jalan kedatangannya, lurus menuju kembali lubang di triplek kamar. Perlahan-lahan. Dengan samar aku memperhatikannya hingga tidak ada lagi sinar tersisa.

Yah, aku masih berbaring. Memegang mata kiriku, tidak ada darah. Mata kananku, kering tak ada air mata. Kini aku sangat berkeinginan untuk bangkit dan pergi. Entah kemana. Belum ada lima menit sinar itu pergi, aku merindunya.

Ada yang aku sesalkan tadi, mengapa tak kugunakan pisau kuning keemasan itu untuk menusuk jantungku. Menghentikan detakan yang merusak sepiku. Menghentikan detakan yang tidak beraturan, mengganggu kesunyianku.

Mungkin kematianku akan menjadi berita terhebat seantero jagad raya, wanita muda yang membunuh dirinya dengan pisau yang terbuat dari sinar.

Mungkin saja, darahku berwarna kuning keemasan. Jasadku akan bercahaya. Dan bintang-bintang malam mengajakku menjadi temannya. Atau lampu-lampu jalan, kunang-kunang, iri padaku yang lebih bercahaya.

Hahaha, ah...aku tak tidur. Tapi aku nekat bermimpi. Kematianku hanya akan menjadi seremoni lepasnya ruh dari raga. Tidak ada cahaya. Tidak ada sinar.

Dari sepi kembali sepi.

Aku tahu sekarang kemana aku harus pergi.

Di sebelah kamarku, adalah dapur tempat ibu menghabiskan hampir separuh waktunya di sana. Pernah aku melihat sebuah pisau. Meski berkarat, tak mengapa, toh apa bedanya jantung dengan daging sapi yang masih bisa terpotong kecil-kecil.

Pisau berkarat?

Aku lega tahu apa yang harus aku lakukan.

Aku sudah turun dari ranjang, di ambang pintu aku masih saja berharap, sinar itu datang kembali dan menjelma pisau kuning keemasan.

Tapi itu tak mungkin. Di luar sudah sangat gelap. Dan hanya ada pisau berkarat. Untuk mengembalikan sepi pada sepi. Gelap untuk gelap. Damai ke damai yang selalu kunantikan.

Saat pisau berkarat itu menembus jantungku, maka cerita ini tamat. Tanpa sinar.


Bahasa Jiwa

By: Maidany
 
 
Tidak semua manusia mengerti s'gala perasaan yang ada di hati kita
Tidak pula dapat selalu memahami gejolak jiwa yang ada di dalam diri kita

Janganlah selalu mengharapkan orang lain harus mengerti akan perasaanmu walaupun ia adalah sahabat karibmu sendiri

Kar'na perasaan adalah bahasa hati yang dapat berubah di setiap waktu
Hari ini ia adalah orang yang sangat mengerti akan perasaan hatimu
Mungkin esok ia adalah orang yang paling tidak memahamimu
Janganlah memaksa kar'na saudaramu juga hanyalah seorang manusia biasa

Cukuplah hanya Allah tempat mencurahkan segala isi yang ada di hati kita dan menumpahkan segala perasaan yang ada di jiwa

Tidak semua manusia mengerti s'gala perasaan yang ada di hati kita 
 
 

Tuesday, October 9, 2012

Emphera

Yang ditasbihkan waktu, belum diyakini kebenarannya
Yang diturunkan langit, bisa saja bukan gugusan air dimana tanah merindunya
Yang di benak kita, kadang kala timbul-tenggelam. Menguat-merapuh sesukanya

Sebelum ranting dipatah usia, mari kita patahkan saja
Sebelum cabang-cabang menumbuhkan daun-daun kerinduan dan meranggas dalam ketidakpedulian
Sebelum burung-burung menertawakan kematian tanpa nisan. Dan luruh buih-buih bak tangisan.

Agar di persimpangan, bulan menyabit dan menggenapkan hitam dengan cahaya kekuning-kuningan. Lalu tujuh kurcaci melompati bintang-bintang.
Agar di ujung jalan, matahari masih membiaskan cahaya selepas hujan. Dan pelangi adalah selasar bidadari bercengkrama tentang sepi.
Agar di perhentian, kita temukan dongeng tanpa ibu peri. Lonceng jam di angka dua belas. Atau, ciuman dari sang pangeran.

Karena, yang disadarkan oleh Tuhan

: adalah kita.



08/10/12, kena pelet sastra. Hahaha :) Puisi ini takperlu dipahami, karena hanya sebuah Emphera. Sementara saja.


Monday, October 1, 2012

Qui-Qui Sera

Aku belajar melihatmu. 
Setelah matahari tak memancarkan cahaya 
dan malam tak memancarkan hitam.
Garis-garis wajahmu pada pepohonan.
Dan hujan hanya bisa dipahami kalbu.

...

Ketika engkau menjelma sungai, 
bahkan laut pun kian jauh. 
Dan membiarkanmu mengalir sendiri.


*Kata-kata Sastrawan Perancis sblm menerima hukuman.