Tuesday, June 26, 2012

Uff!

Tuhan, tolong saya. 

Saya mohon dengan sangat
Saya mohon dengan sangat
Saya mohon dengan sangat

Tuhan, tolong saya.

Sunday, June 24, 2012

Signal

Saya tidak bodoh,
Saya tahu semua tanda yang kamu kirimkan lewat bahasa mata, Cinta.

Saya bodoh,
Saya tidak tahu cara menerima atau menolak kiriman itu.

Saturday, June 23, 2012

Beli TV

Jika tak ada HP ber-TV malam ini,

saya beli saja TV ber-HP kalau begitu!

Untuk Spanyol, kawan. . .


Friday, June 22, 2012

Di Sebuah Masjid

Ada halaqah, di petak-petak hijau muda. Si jilbab ungu menyusuri patah-patah, seperti menakar tempat strategis untuk memulai usaha. Telinganya awas, jilbabnya tipis dan menembus bayang hingga telinga.

Dihadapnya satu lingkaran, didapatnya satu senyuman, diturunkannya setengah badan. Macam setan kesetanan, Si jilbab ungu malah menarik diri dan menghilang. 

Di anak tangga masih saja terbayang, "Neraka! Tempatnya di neraka. Api berkobar-kobar, daging-daging meleleh, tulang-tulang dilumat jadi abu. Begitulah akhir para pendosa." 

Dikenangnya tadi malam, kali sekian menjaja badan. Ujung jilbab ungu basah tak terperikan. Telinganya masih membayang, ditutup kuat-rapat tangan gemetar.

Magnet

Terletak dimanakah benda itu?
Pada mataku hingga tanpa jenuh memasung gerakmu

atau

Pada matamu lalu menaut senyum kali bertemu diriku.

Thursday, June 21, 2012

Saat Membaca Ini. . .

Yang saya tahu, mama dan bapak, juga keluarga yang lain tidak pernah membaca isi blog saya. Terkecuali Ica dan Asiah, saudara saya yang aktif di dunia maya. Ini tak jadi soal.

Setelah ini saya akan menulis banyak kalimat, tanpa tedensi apapun. Hanya menulis seperti yang selalu saya lakukan jika memang ingin saya lakukan.

#

Hal pertama, saya pernah berpikir untuk menghilang. Dorongan kuat ini entah darimana, fantasi liar berputar mengganggu pikiran saya. Naasnya, pikiran aneh ini sudah berlangsung lama sekali. Menjadi alam bawah sadar, menjelma bisikan ketika pikiran kosong dan lengah mengingatNya. Sungguh menakutkan saat saya berada dalam satu perjalanan, sendiri pula, tidak ada ketakutan untuk tersesat, malah berdoa lebih baik lagi jika menghilang. Raib. Saya tak ada. Itulah menghilang yang saya dambakan.

Hal kedua, saya mendamba hilang ingatan. New person! Bukan Iis, bukan semua pribadi yang ada sekarang. Benar-benar seperti dilahirkan kembali, lebih nature dibanding menghilang. Bagaimana dengan keluarga saya? Hal itu pun pernah saya tanyakan, surprise, jawaban saya tak ada masalah. Untuk menjadi baru, konsekwensinya adalah kehidupan baru. Sangat parah, bukan?

Hal ketiga, semoga ini yang terakhir. Saya harap tak pernah ada. Tidak dicipta. Tidak dilahirkan. Tidak segalanya yang menjadikan saya ada. Sungguh sangat-sangat-sangat parah, baiknya saya masih menyadari ini. Bagaimana kehidupan tanpa saya, itulah yang memancing rasa penasaran. Ide gila, atau tepatnya pikiran gila dari s******n berkuasa menjamah kepala pening saya. Tapi lucunya, saya berharap seseorang menceritakan kehidupan tanpa saya kepada saya sedang apa yang dapat dibicarakan jika saya itu Tak ada. Rancu. Bodoh. Gila.

#

Tidak ada hal keempat. Saya tidak mau lebih jauh merusak takdir Tuhan. karena dari ketiga pikiran di atas, tak ada satu pun yang benar-benar datang dari pikiran sehat saya. Semuanya racun. Semuanya virus. Yang Alhamdulillah tak ada satu pun terjadi. 

Sekali lagi, saya menulis hanya saat ini saya mau menulis. Saya berharap pembaca nanti, entah siapa anda, adalah orang bijak yang mampu mengikat makna dari Tiga Rahasia yang setelah tulisan ini diposting tak lagi menjadi sebuah rahasia.

#

Biarlah mama dan bapak saya sibuk di dunia nyata, lantas jika mereka menengok 'Rumah Kedua' sang anak di dunia maya, alangkah kagetnya saat membaca ini.... Tiga Rahasia Saya.


Maaf Bu Ketua!

Bagaimana saya memaafkan kalian, jika yang selalu saya persalahkan adalah kebodohan, kepengecutan, ketidaktegasan diri saya sendiri?


Tuesday, June 19, 2012

Sebab

"Ma," Saya langsung memanggilnya, segera setelah sambungan telepon tersambung. Jangan tanyakan maag, pinta saya gusar. "Assalamualaikum, iya Is kenapa?" Suara mama saya resapi sejenak, mendinginkan sepasang telinga yang akhir-akhir ini panas perintah. "Waalaikumsalam," Saya melewati salam rupanya.

Lengang sesaat. Saya biarkan mama memulai.

"Bagaimana kabarnya? Maagnya masih suka kambuh?" cemas merayap. Desahan kecil menguap, berhentilah mengkhawatirkan maag saya ma. "Iya, baik."

"Kok suaranya lemes banget?"

Itulah alasan saya menelpon mama

"Is, kenapa?"

Saya capek, ma.

"Tunggu dulu, Azka nanti yah, mama lagi bicara sama kak Iis. Nanti yah Abbah, gantian.... aduh, Asiah tolong ambil dulu adik-adiknya." 

Dua kurcaci cilik itu lagi, Azka dan Abbah, mereka pasti berebut mengambil handphone. Saya tertawa, tak lama. Kesibukan, keributan kecil di seberang sana mengganggu hati saya yang lama ditata untuk tak runtuh dalam kerinduan. Saya jauhkan handphone.

"Is, halo... Iis?" Saya menangkap suara mama. "Iya, ma."

"Kenapa? Bagaimana kegiatannya di sana?" Masih dengan gangguan di sekitarnya, mama lanjut bicara. "Is, kamu harus bersyukur kalau banyak kegiatan. Berarti itu masih ada yang bisa dikerja, jalani dengan ikhlas, paling nggak enak itu kalau nggak ada kerjaan sama sekali."

Itu dia! Ah, inikah yang dinamakan ikatan batin? Dahsyat sekali rupanya, memahami tanpa bicara.  Mengerti hanya lewat getaran suara. Sebab kami pernah satu ragakah, satu darah, satu hembusan nafas?

"Iya, ma." Kata itu yang lancar keluar. Mama melanjut lagi. Saya mendengar saja, seksama. "Ma, sudah dulu yah. TM-nya udah mau abis, salam untuk semua. Assalamualaikum."

Saya tutup setelah jawaban salam. Sibuk mengelap pipi yang basah, menyingkirkan handphone, menatap tugas-tugas yang lama saya abaikan. Bersyukurlah, masih ada kerjaan. Saya mengangguk, sampai saat ini mama selalu benar.

Lelah menguap.

Sebab inikah kita pernah dalam satu raga, satu darah, juga satu hembusan nafas?


Makassar, di perantauan.




Monday, June 18, 2012

Ayah

Menemuimu di selubung malam, berjingkat-jingkat olah ketukan
Dalam papa, kita tertawa
Miskin sajalah...

Membisiki di telinga, bersisian tidur menghitung dengkur
Dalam jaya, kita terlena

Ayah, 
Sehadapan bertegur laku
Nasihatmu kala bisu, saya dengarlah.
Marahmu kala pilu, saya terimalah
Tawamu kala lelah, saya kenanglah

Ayah,
Pulanglah di siang hari. Agar saya tahu berapa kerut di wajahmu.


Sebelum Adzan

Saya mendoakan dia kebaikan.

Sunday, June 17, 2012

Sebuah Buku

Untuk anakku,

Akan ada sebuah buku untukmu. 
Di dalamnya tertulis pesan-pesan:
dari sepanjang perjalanan hidupku.

Pintaku, bacalah! Dengan nama TuhanMu.

Wednesday, June 13, 2012

Serdadu Angin


Rapi menampar kegelapan malam
Daun-daun bambu hilang akal dalam gemerisik,
bersinggungan pada keheningan
Angin-angin  nakal, menerbangkan sepucuk kertas
Dari buku tua sepuh. Membekukan setetes peluh. 


Makassar, 24 April 2012