~Bismillahirahmaanirrahiim~
“Kepada kau, Perempuan yang sejak
mula kutemui dalam kebetulan—yang sesungguhnya bukan kebetulan—telah sangat
memesona. Coba terus tawan kami di sana. Buat sangkar yang lebih besar, masih
banyak cinta yang perlu kau tangkap, bahkan –semisal—keindahanmu sendiri.” [Kepada Seorang Perempuan, Azure Azalea]
“Seseorang kemudian mengambil
sebuah peran dalam kebekuanku pada pena. Ia menulis, dan aku membacanya. Ia
menulis lagi dan aku membacanya lagi. Ia menulis kalimat-kalimatnya, lalu aku
mengaguminya. Ia menulis sajaknya, kemudian aku mencintainya. Ia terus menulis,
dan…aku hidup!” [Menemukan Diriku Pada Seseorang, Rafiah Hafidz]
*
Sebuah pena memilih mati di malam
buta. Sebelum ayam berkokok, sebelum sinar mentari membias di kaca jendela,
sebelum Sang Pemilik –pikirnya— membuangnya karena kehabisan tinta. Namun, Kata
berhamburan dari buku di atas meja, dari Diary yang terselip di bawah bantal,
juga dari note-note kecil yang tertempel di dinding yang dingin. Mereka
bersatu, menekan dalam-dalam rasa takut kehilangan, dan lirih berkata:
“Haruskah engkau mati ketika
darimulah kami dilahirkan? Tegakah engkau menjadikan kami yatim-piatu dalam
waktu yang bersamaan? Sesuatu yang tak ada dalam dirimu bukan berarti izin
untuk meniadakanmu. Tunggulah sejenak, Sang Pemilik akan mengisi tinta baru
untukmu, sedikit bersabar adalah jalan untuk kesegaran jiwamu. Engkau tak boleh
mati, karena kita, Engkau-Kata-kata bersatu untuk menghidupkan banyak elemen
kehidupan. Maukah engkau?”
*
Menganalogikan diriku seperti
Pena di atas adalah keseriusan yang lucu, juga sedikit perih, aku –pernah,
hampir selalu—ingin berhenti menulis. Merasa tak adalagi ‘tinta’ dalam diriku
untuk melahirkan kata yang pantas dilahirkan, dibesarkan, lalu kuakui inilah
anakku: karyaku!
Sumpah, aku gemetar ketika
seseorang memanggilku ‘Penulis’, memujiku, meminta saranku, bagaimana bisa
begini-begitu, seperti diserbu ribuan orang yang meminta resep kesembuhan
sedang aku hanyalah dukun gadungan yang sedang sakit juga. Kuberi saja mereka
mantra, kumohon pergilah! Hei, kalian perlu tahu, di situlah titik aku selalu ingin
‘mati’, sebelum mentari bersinar dan menegaskan wajah asli diriku –yang
katanya— penulis itu. Sebelum kokokan ayam menjadi cibiran yang mematuk-matuk
rasa maluku. Aku ingin hilang dalam kesunyian. Aku ingin hilang sebelum terang.
Karena aku, bukanlah siapa-siapa!
Tapi, di usiaku yang dua kuadrat
–tertawa—, aku tak mati. Tepatnya, memilih untuk tetap hidup. Aku memang
bukanlah siapa-siapa, selain aku adalah aku, namun aku merasa aku adalah
‘seseorang’ ketika 2 orang perempuan menulis tentang diriku. Mengapa kini? Ah,
hebat sangat cara kerja Tuhan tanpa kita campur tangan. Dua perempuan itu –tak
lagi kulihat perempuan— mereka selaksa anugerah, serupa dua cahaya lurus menembus dinding hatiku yang berlubang
dan dengan sempurnanya memadat, menutup, serta meneranginya. Aku menjadi
seseorang dengan hati yang bersinar. Aku rasa, mereka berdua ‘agen penyelamat’
Tuhan di muka bumi.
Dua Perempuan, sepasang
perempuan, ah, manisnya kuucap…
P e r e m p u a n 1 |
Perempuan pertama, Azure Azalea,
kalian lihat sebait tulisan pembuka di atas? Yah … Kepada Seorang Perempuan
adalah kado –bila boleh aku anggap— yang Azure berikan padaku. Siapa dia
bagiku? Siapa aku baginya? Tidak, sungguh bukan kami sahabat lama yang
segula-segaram kehidupan. Kami hanyalah dua perempuan yang bertemu dalam
beberapa kesempatan –bisa dihitung jari— yang tak juga banyak smsan maupun
telponan. Namun mengapa dia mau menuliskanku dengan sebegitu mengharukannya?
Satu-satunya jawaban yang aku tahu, karena aku-dia mencintai kata, dan tuhan
mempersaudarakan hati kami. Dengan ikatan yang ramah, aku membaca blognya-dia
membaca blogku. Aku membacanya-dia membacaku. Lalu, bagaimana aku bisa memilih
‘mati’ saat perempuan ini telah aku ‘tawan’, tak mungkin aku mengajaknya mati
bersama. Memperbanyak alasan untuk 'hidup' dan menulis, kini aku jalani sekuat
hati. Dia pasti akan menguatkan aku –berharap dan tertawa— lagi.
P e r e m p u a n 2 |
Perempuan kedua, Rafiah Hafidz, sebagaimana
aku yang hampir ‘mati’, perempuan ini pun pernah sekarat jiwanya. Katanya, dalam 'Menemukan Diriku Pada Seseorang', dia bercermin padaku dan dia hidup! Ah, super sekali kehidupan membawa kami pada
permainan ‘Petak-Umpet’. Lihatlah, dia menuliskan bagaimana diriku telah
menyelamatkan hidupnya sedang saat ini aku menuliskannya bagaimana dia
menyelamatkan hidupku. Mungkin benar, aku bukanlah siapa-siapa, bagi diriku.
Tapi bagi orang lain? Aku mana tahu. Sampai perempuan ini bertestimoni, cukup
aku melihat dirinya, kemudian aku mengenali diriku. Oh Tuhan, Maka nikmatMu
yang manakah yang aku dustakan? Seperti pintanya, aku bahagia. Aku bahagia,
kak… Aku bisa menjadi alasan bagi seseorang untuk hidup sedang aku di ujung
tanduk. Tapi, sungguh…aku bahagia.
*
Begini, aku tak pernah minta
untuk dituliskan, diabadikan dalam kata dan dijamu dengan kemulian di rumah
(blog) siapapun. Tidak pada perempuan pertama dan kedua. Pula, tanpa aku minta
izin, kadang tanpa disyiarkan, aku menuliskan tentang orang-orang, beberapa
yang padanya hatiku menggerakkan tangan untuk bercerita.
Mengapa demikian?
Tahukah kalian? Mengertilah aku
sekarang…menemukan dirimu dituliskan dengan kesantunan kata paling santun oleh
seseorang adalah hal yang paling membahagiakan setelah melihat senyum ibumu.
Yah, itulah yang aku rasakan. Meski itu sepotong, sepotong saja dalam baitnya
tertulis namamu, lekas terbit senyummu. Dengan itulah, aku yakin, kedua
perempuan yang sedang membaca tulisan –yang membicarakan dirinya— kini tengah
tersenyum. Manis. Manis sekali… sepertinya mereka tertawa sekarang. Hahaha…
Lalu, tidakkah tergerak hati
kalian untuk menulis tentang seseorang. Mulailah dengan seseorang yang
terbersit –kini— di pikiran kalian. Dan setelah itu, kalian hanya perlu
memilih…memberitahukan ‘dia’ atau biarkan ‘dia’ menemukannya sendiri.
Persilahkan hatimu memilih.
Terakhir dan penting untukku, bisa
saja, tidak hanya dua perempuan ini yang menuliskan tentang diriku. Masih ada
perempuan lain lagi yang berikhlas ria mem-frame diriku dalam kata-katanya.
Atau mungkin dari kaum Pria? Demi menjaga nama baikku, dengan kemurahan hatinya
diam-diam memberikan singgasana kata-nya untukku. Hahaha, mana tahulah aku! Aku
takkan mencari tahu. Cukuplah aku berterima kasih, setulus ketulusan yang aku
punya, pada kedua perempuan cahaya –mari amiinkan—juga pada orang-orang yang
menulis tentang diriku. Sekalipun aku hanya dukun gadungan yang ternyata masih
sakit –non kronis—, aku akan tetap bertahan. Tetap memilih hidup. Tetap
menulis. Sampai…
Pada suatu hari nanti
Jasadku tak akan ada lagi
Tapi dalam bait-bait sajak ini
Kau takkan kurelakan sendiri.
(Pada Suatu Hari Nanti, Sapardi
Djoko Damono)
di BTN, 01 September 2013
No comments:
Post a Comment