Tuesday, June 23, 2015

Ya Allah...


3hari berpuasa, 3hari aku tak berdaya. Kalau boleh menangis, aku akan menangis sekencang-kencangnya. Kalau boleh mengeluh, aku ingin mengeluh lagi dan lagi. Mengapa setiap Ramadhan aku begini? Mengapa aku lemah sekali? Mengapa aku sakit-sakitan? :( Ya Allah...

Setiap hari demam, sambil menunggu buka aku hanya duduk di pojokan dengan menahan hawa panas-dingin bergantian. Kaki aku pegal semua, terpaksa diikat dengan kekuatan seadanya. Gigi aku sakitnya minta ampun, sisa patahan yang nanggung banget bercokol tanpa tahu harus diapain. Perut aku sakit, maag menyerang setiap waktu. Menyedihkan.

Lepas berbuka, aku mesti memberi jarak untuk 3 obat yang berbeda. Bodrek, Ponstan, dan Promaag. Sampai mual. Sampai eneg. Sampai aku gak berpikir lagi apa efek yang akan aku dapat beberapa tahun ke depan. :(

Kalau sudah tak bisa kutahan lagi, aku merengek seperti anak kecil, "Ya Allah, sakit banget ya Allah. Ya Allah iis ngantuk, ringankan penyakitku ya Allah, iis mau tidur. Sejam atau dua jam aja Ya Allah..." Air mataku mengalir tanpa henti. Dan ajaibnya, Allah selalu mengabulkan doaku, seperti tadi malam, sehabis berdoa tanpa terasa aku tertidur. Setelah berjam-jam tidak bisa tidur, aku diizinin tidur sampe dua jam seperti pintaku. Allah baik banget. makanya kalau ngeluh, jadi gak enak. 

Pengen rasanya nelpon mama, ngadu, ngeluh, tapi urung aku lakukan. Cuma bikin khawatir aja, yaudahlah jalanin aja sendiri. InsyaAllah, masih bisa diatasi. Walaupun, kadang suka iri lihat orang-orang menjalani puasa dengan mudahnya, tanpa khawatir dengan segala macam penyakit. Beribadah dengan khusyuk, bersama keluarga, teman, bukan sendirian dengan tubuh yang penyakitan.

Sekarang,  masih sama saja. Pulang dari kantor, rutinitas akan berulang. Tapi aku berharap tidak. Sejujurnya ini melelahkan. "Ya Allah, kalau sakit ini penghapus dosa, aku gak ngeluh lagi deh, hapusin dosa-dosaku yah... maafin iis."


Ckrg, 230615

Sunday, June 21, 2015

Tentang Orang-Orang Kehilangan dan Merasa Kehilangan


Selamat Jalan, Adik Imha. Surga tempatmu kembali. Aamiin.

"Tak akan pernah sama. Sampai kau merasakan setiap detail, detik-detik kepergian, udara yang kebas, sesak, dan menjelma dirinya: orang-orang kehilangan." (aim)

*

Orang-orang kehilangan, perlu ruang untuk mengekspresikan perasaannya. Sekejap ada menyampaikan luka, sekejap hilang masuk ke dalam dirinya paling diam. Beri ruang yang lapang, sejenak mereka riuhkan lepas itu hampa lagi. Kita tidak akan pernah paham, karena kehilangan adalah cerita seorang.
 
 
Orang-orang kehilangan, akan terus dihantui bayang yang hilang. Boleh jadi hari ini air mata sedu-sedan, besok-besok mampu ditahan. Bisa juga sebaliknya. Atau bahkan tidak keduanya. Apalah yang bisa kita terka, persoalan perasaan selalu menggiurkan untuk diselami, padahal lautan sendiri tak dikenali.


Orang-orang kehilangan, akan menjadi sok tegar padahal tidak, sok kuat mungkin ternyata lebih, tak menentu. Karena di luar mereka, kita hanya pembaca; mengeja kesedihan. Dan tak akan pernah sama. Tunggu perputaran waktu saja, untuk kemudian kita dibaca.


Orang-orang kehilangan, yang kita tahu selalu tentang pengurangan. Dari sepuluh jadi sembilan, dari delapan jadi tiga, dari banyak menjadi sedikit. Yang kita kasihani seputar angka padahal kenangan tak terhingga. Yang kita tidak tahu, ada kelipatan kekuatan untuk bertahan. Seperti satu kuat, untuk menguatkan yang lainnya. Hasilnya mungkin nanti, saat mereka bisa tersenyum kembali.


Perasaan tidak memiliki barometer, atau neraca untuk menimbangnya dan disimpulkan: lebih besar, lebih banyak, lebih sedikit, lebih dalam, dari apa/sesiapa. Tapi sejatinya, tak akan (pernah) sama antara yang kehilangan dan merasa kehilangan. Seperti beda antara merasakan langsung terik matahari dengan terkena biasnya. Tapi satu yang sama, kehilangan adalah hilang. Entah bagaimana lagi menjelaskannya.


*Tulisan dari orang yang merasa kehilangan.
 

Ckrg, 210615
 

Wednesday, June 3, 2015

Ngarep -_-'


Andai kamu bilang,

"Aku membacanya dan aku suka,"

Aku pasti terbang. Tapi, kamu tidak bilang.


Tuesday, June 2, 2015

Ada yang Lebih Tabah Dari Hujan Bulan Juni


source: google

Di bulan Juni, kutemukan jejak Sapardi dari awal pagi hingga malam kini. Orang-orang tersihir, tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, begitu kalimat yang didengungkan. Purna percaya, meski kelak hujan bulan Juni turun sesekali. Tak ada yang disimpannya selain rindu, bunga-bunga melayu di bunuh waktu. Tak tahu.

Apakah benar tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni?

Di bulan selain Juni, hujan pernah begitu setia jatuh merajut sapa langit pada bumi. Musim penghujan, di tiap tahun selalu sama saja, memulai taji di awal-awal November. Saat almanak membuka hari di tahun yang baru, hujan bagai peluru membalas letusan kembang api. Januari. Lepas itu, kata ibuku, tunggu di bulan Februari puncaknya menderas. Lantai rumah mulai meninggi, bapak-bapak pulang dengan sepatu boot baru, payung berupa ukuran menggantung di dinding, jas hujan dibersihkan dari debu, dan masih banyak laku bak menjemput tamu. Selebihnya hujan jatuh sesuka waktu.

Apakah hujan selain bulan Juni begitu terburu-buru?

Tidak tabah? Tidak mampu menyimpan rindu, kepada putik bunga? Kepada apa saja yang dirindukannya? Setahun yang lalu, tepat pada hari ini di jam yang berbeda, telah kutuliskan tentang keinginan mengalahkan hujan bulan Juni. Harus ada yang tabah selain hujan bulan Juni milik Sapardi, meski padanya takzimku tak ada habis-habisnya. Kalau boleh bertemu dengan beliau sekali lagi, akan kukatakan padanya,

"Ada hujan yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, disimpannya rindu dan lebih dari itu kepada putik bunga juga kehidupan yang tak lelahnya memaksa untuk mengaku. Pilu.

Ada hujan yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, turun di musim penghujan berlindung dari kesepian dalam genangan. Turun di musim kemarau, membasahi jalan menguarkan bau debu kenangan.

Ada hujan yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, yang tak mengenal waktu. Orang-orang perlu tahu, agar kelak di bulan-bulan mendatang -selain bulan Juni- mereka sama bijaknya menjamu. Sama tersihirnya. Sama percaya, bahwa ada hujan yang juga tabah seperti hujan bulan Juni bahkan lebih.
"

Hari ini kutuliskan kembali tentang hujan, Juni, dan ketabahan. Agar ada yang mengingat lagi, ratusan hari sebelumnya sebuah pilihan telah diputuskan. Masihkah meyakininya?

Ckrng, 020615/08.20pm


*memelukSapardidalamdoa :')