Friday, December 28, 2012

Super Trap


Ketika kamu mempercayai semua smsnya yang manis.
Padahal kamu tahu, dia memang manis ke semua wanita manis.
Jadi,

biasa sajalah. 



Thursday, December 20, 2012

"........."


"Kak, jangan main hujan-hujanan."

"Nggak apa-apa kok dek. Airji. Hanya membasahi tidak menyakiti."

"Nanti sakitki. Siapa rawatki?"

Glek. Speechless. Oalaaahhh...


***

Percakapan yang takkan pernah saya lupakan. Saya tidak tau nama adik kecil itu, dia dan teman-temannya sedang bercengkrama di tempat penjagaan sendal Masjid Al-Markaz Maros.

 Siapa rawatki?

Hahaha, pertanyaan polos dari seorang anak-anak. Spontan saya tertawa. 
Huh. Setelah itu saya hanya bisa terharu. :(

Perhatiannya itu adik...


Terima kasih yah. 


Insya Allah saya sendiri yang akan merawat diri saya dik. 
Tapi kalo parah yah saya serahkan ke dokter saja. hehe

.

Wednesday, December 12, 2012

Lagi-Lagi



Ada yang ingin menghancurkan keluarga saya. 
Ada yang ingin membuat saya bisu. 
Lakukan saja! 


Takkan kubiarkan jiwaku dikendalikan.


Semoga Tuhan menjawab kemarahan dia. 
Dengan kebijaksanaanNya.
Menolongku
juga keluarga nun di sana.


Aamiin.






Tuesday, December 4, 2012

Loving In Silence


For the wind


I love you in silence.
Because only empety space in there.
That is able to save laughing and tears of me,
because of you.


I love you in silence.
Even all of dreams is you.
That is alive and moving without word,
without voice.


I love you silently.
Then the silence that I feel.
Is it sick,
is it bitter,
is it difficult


unchanged.
 It's love.
Yours.


In silence, the love is voicing
and
sparkling.



diterjemahkan oleh teman saya The Stranger,  (Tararengkyu) ^.^
puisi aslinya lihat di Levitasium Aramiis blogku yang lain. 
Mampir yah..



Sunday, December 2, 2012

Baru Rilis




         Kelaparan adalah burung gagak. Yang licik dan hitam. Jutaan burung-burung gagak bagai awan yang hitam.*

            Bukk!! 

           “Berhenti ngoceh Item. Makanya kerja, cari uang biar gak kelaparan!” Mata emak yang melotot tajam, menyembul dari balik pintu. Dari mulut keringnya, keluar omelan panjang bak koakan gagak hitam yang menakutkan.
          Aku mengerang, mengusap kepalaku yang kena lemparan mangkok. Untung saja mangkok plastik, kalau terbuat dari kaca, bisa pecah nih kepala. Aku bergidik membayangkannya.
“Biarin, biar pecah sekalian batok kepalamu. Ngegombalin hidup tiap hari, kelaperan tiap saat, nyusahin ajha jadi anak.” Aku tercekat, lho kok emak tau isi pikiranku sih. “Gue kan emak lu item!”
Gue, lu?
Aku bersiap loncat dari bale-bale sebelum pertunjukan itu dimulai. Benar saja, tak lama setelah pantatku lepas dari bambu-bambu reot, jeritan panci yang beradu dengan ember terpantul-pantul di dapur. Keluar melewati dinding bocor. Aku mendengarkan orkestra pagi dari balik pohon mangga di belakang rumah. Dengan nafas memburu, aku menyesali keadaan yang sama tiap hari. Isyarat kemarahan emak adalah perubahan katanya yang halus nan puitis menjadi gaul anarkis. Berarti emak benar-benar mengamuk, kali ini. Lagi.
“Capek-capek gue nguliahin lu bertahun-tahun, nggak ada hasilnya. Empet gue. Asem dah. Kerja Item, kerja, berusaha sekuat tenaga atau siap-siap kita jadi gelandangan. Lu mau lihat emak lu mati kekeringan, diuber-uber Engkong Sanip gara-gara hutang kita udah kayak gunung Merapi mau meletus lagi. Item, Item…” 

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh, Hidup adalah untuk mengolah hidup.* 

Aku menggumamkan syair bang Rendra untuk kesekian kali. Suara emak mulai samar terdengar, mungkin ia kehabisan tenaga, atau sedang membereskan kekacauan yang dibuatnya sendiri. Tapi aku yakin, emak sedang berpuisi dalam hati. Berapa kali pun ia menyatakan kebosanannya mendengar syair-syair yang keluar dari mulutku, binar matanya berkata lain, ia akan berbalik dan lirih menyambung puisi yang tak khatam.
Bapak adalah keturunan pujangga yang mahsyur di tanah Jawa, bahkan sebelum mengenal bapak emak tak tahu apa-apa tentang puisi, namun mereka disatukan oleh syair-syair dan menelurkan cinta puisi padaku. Rendra. Begitulah mereka menamakanku. Berharap aku seperti si burung merak yang mengembangkan sayap sastra. Aku suka harapan itu. Kerena aku mulai mencintai puisi. Seperti emak.
Mengolah hidup, beritahu aku caranya bang Rendra. 

###

        Menjadi pengangguran adalah tekanan mental yang tak terdeskripsikan. Apalagi gelar bercokol di belakang nama. Desakan emak juga jeritan panci-panci menghantui. Sapaan menyakitkan tiga kali sehari, “Kerja dimana sekarang, Ren?” Oh Tuhan, ada sembilan puluh sembilan pintu rejeki. Tak ada satu pun yang terbuka untuk hamba sahaya ini. Atau, belum jodohku?
         Aku menatap diriku di cermin. Dasi yang sama. Kemeja yang lalu. Ikat pinggang peninggalan bapak. Ah, mengenakan pakaian terbaik untuk melamar pekerjaan yang angkuh bak putri raja. Lagi. “Semoga saja hasilnya tak sama seperti dulu-dulu.” Aku merapal doa. Sekilas mataku tertubruk pada mata yang penuh kelegaan, kebebasan, memegang toga, menggenggam tangan emak. Aku tertunduk. Malu pada diriku sendiri. Tiga tahun yang lalu, tak kusangka, kiranya gerbang kesuksesan telah terbuka untuk pemuda bertitel ini. Tapi tidak. Oh, belum. . .
         “Emak,” panggilku dari balik pintu kamar yang tertutup rapat. “Rendra, mau berjuang lagi. Doakan yah mak, mungkin sekarang rejekiku.” Tak ada sahutan. Aku melenggang pergi penuh harap. Pagi buta. 

             Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan, anakku. . .*
     Wanita bermukena putih bersimpuh di atas sajadah, menyisipkan syair di antara rentetan doa. Melinangkan air mata dan mengusapnya. “Bukan emak tak tahu perjuanganmu mencari pekerjaan, hanya emak tak ingin kamu berputus asa dan berlindung pada syair di pagi, malam, siang hari. Seharusnya syair-syair itu membangkitkanmu, bukan menina-bobokanmu.”
         Fajar menyingsing. Emak membereskan panci-panci di dapur yang tak sempat ia bereskan tadi malam. Bersajak dalam keremangan. 

###

         Aku tak pernah lagi memakai syair untuk menggombal wanita, karena kutemukan sekarang mereka tak menoleh biar secuil pada sajak romantis. Tanpa embel-embel yang lain. Makan tuh puisi! Begitulah hasilnya ketika aku bermodal nekat membawakan sejumput puisi dari Khalil Gibran.

      Aku mulai berpuisi untuk hidupku. Hidup yang mencari-cari arah, seperti sekarang ini terjebak di kerumunan pasar tanpa tujuan. Aku lelah mengetuk pintu-pintu lembaga, tidak ada lowongan mas, bosan aku mendengarnya. Aku tak ingin pulang dengan tangan hampa, tak ingin mengecewakan emak lagi. Aku akan ke rumah Bang Ijul menerima tawarannya untuk menjadi kernet, menggantikan anak buahnya yang terjatuh kemarin. Entah, apakah ini dapat menghapus rasa kecewa emak. 

Berpuisilah di jalan, pujangga. Ujar Bang Ijul mantap sambil tertawa kecil.

###

         Suasana dapur sunyi. Emak tak mengatakan apa-apa mengenai pekerjaan baruku. Susah payah aku menelan nasi, takut-takut ada panci nyasar terlempar tepat di jidatku. Aku menunggu-nunggu. Tapi, tak ada yang terjadi hingga suapan terakhir.
          Apakah emak berpuisi dalam kebisuannya?

###

      “Emak, apa emak nggak keberatan aku cuma jadi kernet.” Aku membuka suara. Emak menoleh, menaruh baju yang sedang dijahitnya. Lalu, menggeleng. Dahiku mengernyit, tak percaya.
        “Aku masih mencoba mencari pekerjaan lain. Menjadi kernet bukan pilihan terakhirku, mak. Pekerjaan ini lumayan sulit dan sangat melelahkan.”
      “Semuanya akan beres. Pasti beres. Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya. Kesukaran selalu ada-” Emak membaca penggalan puisi, Sajak Potret Keluarga, digantung dengan senyuman.
      “Itulah yang namanya kehidupan.” Sambungku. Emak mengangguk. Malam itu, rasa lelah dari segala kepenatan di jalan terlupakan. Hanya ada senyum emak yang menggantung di langit-langit kamar. Kami berpuisi.

###

          Kehidupan seperti pecahan huruf, sang pujangga akan merangkai kata, kata dipilin menjadi kalimat. Berbuah bait. Menggabungkan bait-bait dan memformatnya menjadi bab. Bab kehidupan baru Si Item.
Orang-orang terpukau. Mengelu-elukan namaku. Menyimpan baik-baik kata per kata dari sang pujangga yang berorasi dengan diksi manis semanis madu. Dipayungi bendera perpaduan tiga warna, aku menatap ribuan pasang mata yang menanti kelanjutan ucapanku.

         “Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan.*” 

        Semua mengacungkan tangan meneriakkan ‘Merdeka’ berkali-kali. Entah siapa yang menyuruh mereka. Bang Ijul tersenyum jumawa di baris depan, mungkin bangga melihat mantan anak buahnya menjadi calon orang nomor satu di ibu kota. Namun, tidak dengan emak.

             “Kelak, kehidupan kita akan menjadi lebih baik. Merdeka!” tutupku. 

###

        “Item, lu berpuisilah di bale-bale reot itu. Emak rela. Kalo lu masih nganggap gue emak, jadilah pujangga kedelapan setelah bapakmu. Pujangga yang menjadikan syair untuk membangkitkan, bukan menina-bobokan. Berhentilah berpuisi, berhentilah nak. . . ”

           Jeritan panci kembali terdengar dari dapur yang sempat sunyi 20 tahun lamanya.



Dimuat di Harian Fajar 18 Maret 2012.
*puisi-puisi yang tercantum diambil dari kumpulan karya WS. Rendra




Saturday, December 1, 2012

Bye


Terjaga lagi. Sengaja. Bukan inshomnia. Ada hal yang sedikit mengganggu. Di sela-sela mengerjakan tugas, saya lari ke sini. Ke rumah kedua saya dalam dunia maya. Saya terkadang lebih betah di sini, daripada dunia nyata. 

Sebab saya hadir dalam kata. Dan kekuatan kata itu, membuat saya merasa lebih istimewa. Saya bisa menjadi A, saya bisa serupa B, saya boleh jadi C, saya bisa menjadi apa yang saya inginkan. Dan tak ada yang bisa melarang saya. Saya bebas berekspresi. :)



Malam ini, saya baru saja melepas sesuatu. Hal yang tanpa saya sadari menggerogoti kemandirian diri ini. Saya terlalu bergantung pada seseorang. Saya menopang diri saya di bahunya. Hingga kaki saya terlalu santai, tak bekerja, berdiam saja. 

Saya percaya dia akan menjaga saya, dari segala penjuru. Seperti janjinya. Begitulah ucapnya banyak kali. Hei, hei, saya percaya itu. Bukankah kepercayaan teman itu harta paling berharga? Baiklah, untuk beberapa waktu janji itu masih setia di titiknya. Banyak tekanan, aku, kami melewatinya. 

Tapi hari itu.

Hari dimana ada yang bergeser dari titik. Ada bahu yang berpindah. Mungkin terlalu tiba-tiba, mungkin kenyamanan yang melena, mungkin ketidaksiapan adalah masalahnya... ah, banyak kemungkinan memang. Namun satu hal yang pasti, dia pergi. Teman yang pernah berjanji dan saya mempercayainya, pergi membawa janjinya. 

Seketika saya limbung. Saya bingung. Saya hampir terjatuh. Kedua kaki saya keram, tapi saya paksa berdiri, karena hanya itu yang harus saya lakukan. Berdiri dengan kaki sendiri. Menepuk-nepuk wajah, menyorot ke depan tentang satu kenyataan. 

"Kini kamu sendiri. Kini kamu sendiri. Dia telah pergi."






Saya marah. Saya benci. 

Mengapa dia pernah berjanji? Mengapa saya menyambut janjinya?
Mengapa dia pergi? Mengapa saya merasa dikhianati?
Mengapa dia membuat saya percaya? Dan mengapa saya percaya?
Mengapa semua harus saling menyambut? Mengapa harus terkoneksi?
Mengapa tidak timpang saja salah satunya? Mengapa tidak ada yang berkata 'tidak'?

Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban itu menguap. Bersama hembusan nafas lelah saya. Saya hampir merubuhkan pertahanan yang saya buat. Tapi itu tak terjadi. Bukankah selalu ada kesadaran di saat ketidaksadaran hampir melenyapkan? Di detik-detik itulah, saya sadar.

Tidak ada yang salah dan perlu dipersalahkan. 

Saya dan dia seperti memainkan zona kenyamanan. Kami terjebak. Dan ketika ada magnet yang menarik saya dan dirinya untuk berpisah, keluar dari zona itu, terciptalah rasa keterasingan. Dulu kami saling membantu. Kini dipaksa menjadi satu-satu. 

Pada waktu... saya memulihkan diri. Menghargai kedua kaki sendiri. Mempercayai kata hati. Menjalankan hari-hari dengan kekuatan yang terlahir sedikit demi sedikit. Banyak tekanan, saya lewati. Banyak cobaan, saya hadapi. Tidak mudah, memang. Tapi semua bisa teratasi.

Tanpa dia. Tanpa janji siapa pun. 

Saya kembali. Saya menjadi lebih mandiri. Saya tersenyum lagi. Saya merasakan kembali zona nyaman itu, namun di atas kaki saya sendiri. Tanpa kutub yang akan menarik saya terpisah dari apapun. Kecuali pada optimisme di kepala saya. 

Malam ini, saya melepasnya. Melepas diri dari bayang-bayang janji. Dia memang tetap menjadi teman saya. Tapi tak lagi dalam satu zona. Aku-aku. Dia-dia. Aku bertahan dengan kedua kakiku. Dan dia dengan pilihannya, dimanapun sekarang dia berada. 

Mungkin, suatu saat nanti, aku akan berpikir dua kali tuk menyambut janji. Untuk sementara ini, aku sedang tak ingin menerima janji. Juga terlalu banyak mengumbar janji. Banyak ketidaksiapan dan yang terjadi kadang lebih menyakitkan dari yang kita sadari.


***


2.12.12/02.20




Wednesday, November 28, 2012

Autumn's Opinion


Mungkin saja dengan membencimu, lebih mudah untuk hati mencintaimu. 






Aku suka permainan ini. Sebab menjadi curang tak mengapa. Ada aturan. Tapi tak terpakai. Membolak-balikkan aturan dan membingungkan para pemain ilegal. 

Tidak harus ada cinta yang dinyatakan dengan denotatif. Aku suka bermajas ria. Aku suka berkonotatif. Lalu ambigu tercipta. Aku akan memainkan polisemi. Lalu ada yang mengambil kesimpulan, dari remis. Permainan ini semakin menyenangkan. Karena tidak ada yang kalah dan menang. 



Karena benci dan cinta mulai menyatu. 
Ada aturan untuk [tidak] memisahkannya?




Di rumahnya Ikha, 29.11.12/15.58




Wednesday, November 21, 2012

Aisyah ra


Aisyah ra adalah seorang wanita berparas cantik berkulit putih, sebab itulah ia sering dipanggil dengan “Humaira”. Selain cantik, ia juga dikenal sebagai seorang wanita cerdas yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkannya untuk menjadi pendamping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengemban amanah risalah yang akan menjadi penyejuk mata dan pelipur lara bagi diri beliau. Suatu hari Jibril memperlihatkan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) gambar Aisyah pada secarik kain sutra berwarna hijau sembari mengatakan, “Ia adalah calon istrimu kelak, di dunia dan di akhirat.” (HR. At-Tirmidzi (3880), lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3041))


***

Semoga. Amiin.




Tuesday, November 20, 2012

Kisah Mereka Yang Belum Aku Tuntaskan


Kemudian ia berkisah padaku tentang pengembaraanmu.*



"Lalu apa yang ia dapatkan? Maksudku, selain kesendirian." Aku bertanya padanya. Ada harapan tak baik tentangmu yang ingin aku dengar. Aku masih marah padamu.

Ia menggeleng, katanya kamu tak pernah sendiri. 

Aku limbung. 

Alasanmu mengembara adalah karena kamu ingin hidup dalam kesendirian, pamit padaku. Tapi kamu tak pernah sendiri?! 

Jangan berkisah lagi, seruku. Ia mengatupkan kembali mulutnya.

Aku beranjak. Menutup kisah.  


*

"Katakan padanya, aku tak pernah sendiri. Karena kemanapun aku pergi, dia hidup dalam ingatan. Ceritakan kisahku, usaikan secepatnya, pengembaraan ini berakhir. Aku akan pulang."



*Kisah, Sapardi Djoko Damono



Monday, November 19, 2012

Question Mark


Hati yang terbolak-balik. Perasaan yang jungkir balik. Pikiran yang lari-lari. 

Apa yang terjadi?




Huaaaaaaaaaaaaaaaaaah... :( Aku dijebak malam.

Menunggu pagi. Menunggu mentari. Menunggu bergantinya hari.

Menunggu kekacauan ini berhenti.

Menunggu mati.


Sunday, November 18, 2012

SDD


Sapardi Djoko Damono


Sejak membaca 'Aku Ingin', mendengar, dan mengucapkannya.

Maka,

Sejak itulah, Aku ingin berjumpa denganmu.

Menelusuri urat-urat tanganmu, dimana pena pernah menyatu,
lalu lahirlah

...

Karya-karyamu. Entah yang saya ketahui atau tidak.



***


Insya Allah, aku akan menemui, pak. SDD. Memelukmu dalam kebaktian.


^_^


Friday, November 16, 2012

Bunga Di Atas Makam




Pernah dalam sujud,
aku berdoa 
saat itu sepertiga malam


Dan pada pagi buta
kudapati doaku terkabul


Aku menjadi bunga di atas makam, entah milik siapa.




17 November 2012, 01.53.


*Insomnia lagi. Mencoba memproduktifkannya.



Wednesday, November 14, 2012

Ma,


Ma, I need you now.

Saya takut, Ma. Ada yang berubah dalam diri saya. Dan saya tak tahu itu apa.



Ma, I need you now.

Saya takut, Ma. Saya tak lagi percaya bahkan pada diri saya sendiri.



Ma, I need you now.

Saya takut, Ma. Ada yang hilang dari perasaan saya. Dan itu menjadi lubang besar nan hampa.



Ma, ini menakutkan. 



Monday, November 12, 2012

Ada Melati Tadi Malam

Ada Melati tadi malam, Mewangikan malamku…





Tadi malam, saya bernafas dalam kekacauan. Berondong masalah menghantam. Saya pusing. Ingin rasanya meledakkan kepala saya dan tidur tanpa kepala. Haha, silly me!

Saya mencoba bertahan untuk menyimpannya sendiri. Untuk masalah pribadi saya terlalu yakin bisa mengatasinya. Tapi, hei, saya manusia. Saya makhluk zoon politicon yang sewajarnya tak bisa hidup sendiri. Sekuat apapun. Toh, pada akhirnya saya membutuhkan seseorang untuk menyandarkan kepala saya yang tanpa daya. Lemah. -sepertinya saya harus mengakui hal itu sekarang- Biarlah. Stop untuk bersandiwara. Saya bukan artis yang baik.

Saya mulai bertanya-tanya, berapa banyak teman yang saya miliki? Mengapa tak ada tenaga yang tersisa untuk memanggil mereka, satu saja, membangunkannya di tengah malam dan meminta dia untuk mendengar, hanya mendengarkan saya bercerita,,, itu saja. Tidak lebih. Tidak juga solusi, karena ketika kamu bercerita dan seseorang mau mendengarkannya itu sudah menjadi bagian dari solusi tanpa basa-basi.

Saya tidak memanggil siapapun. Saya tidak menghubungi siapapun. Saya berpikir, semua orang punya masalah. Siapa saya datang meminta mereka menyediakan ruang untuk masalah saya, ah, egois sekali. Masalahmu, telan sendiri! Begitulah saya mengulang-ulang kalimat pahit dan menunggu pagi saja dengan kepala yang berdenyut ingin pecah.

Tapi Allah Maha baik, walau saya sempat melupakanNya...karena tak langsung menghadap padaNya yang sudah jelas sebaik-baik tempat kembali. Allah mengirimkan pada saya seseorang yang mampu membalikkan keadaan. Dan menyadarkan saya arti kehidupan saya yang perlu disyukuri. Banyak. Banyak sekali.

Namanya Melati,

Mengenalnya belum sampai pada angka 1 bulan. Tapi kekuatan cinta dalam ukhuwah seakan-akan membuat saya merasa dekat dengannya, melebihi teman yang saya kenal bertahun-tahun lamanya.

Tadi malam Melati datang. Dalam ruang sms dia menanyakan keadaan saya dan meminta saya untuk berbagi. Hah?! Hei, are you kidding?! Bukankah di status saya sudah katakan…saya tak mau berbagi kesedihan (walau sebenarnya sangat ingin), tapi dia seperti…ah, dia membaca saya. Dia tahu bahwa saya membutuhkan seorang teman. Dia siap mendengarkan. Dia selalu sotta tapi benar. Hihihi

Namanya Melati,

Tadi malam Melati datang. Dia sms saya, “Mw nlp ke tlkmsel for 5mnit tdk? Bs tdk? *bisik2. Oeee.. z blm mw tdr, ada yg lg z pikir juga.. ayo saling menenangkan :-/” Right, tentu. Ah, saya terlampau senang dan menghiraukan waktu yang sudah larut. Sepi. Semuanya saya terobos dan saya menelponnya. Untuk pertama kali kami berbincang. Bertukar suara. Dan itu sangat lucu. Huaaahhhh, saya terlalu banyak tertawa… saya tak bisa menahannyaaaaaaa :D. Apalagi ketika Melati berbicara ala tegal…hahahaha, God, she was funny!

Look, saya belum dan tidak menceritakan masalah saya..tapi tawanya membuat saya melupakan itu semua. Look, seperti yang saya katakan…saya hanya perlu 'suara lain' selain bisikan gila yang menggilakan. Bahkan sapaan selamat malam saja bisa menjadi obat sakit kepala, ah… aneh. Tapi tidak semua dapat mengerti hal kecil ini. :(

Namanya Melati,

Tadi malam Melati datang. Dia menceritakan kisah hidupnya. Dan saya bersyukur dia percaya pada saya, saya bersyukur dapat mendengar ceritanya, saya bersyukur mengenalnya, saya banyak bersyukur tadi malam.

Oh, Melati. Saya memeluknya tadi malam. Dengan doa-doa yang luruh bersama air mata. Dan dia memeluk saya dengan kisah hidupnya yang benar-benar menjadi pelajaran untuk saya. Dia menyadarkan saya. Dia membawa saya kembali dari ketidaksadaran. Dia menarik saya dari kejatuhan. Ah, dia … saya tidak tahu berkata-kata. Malam  itu milik Melati untuk bercerita, saya hanya ingin mendengarkan. Melati membuka mata saya. Dan saya tahu, itulah seharusnya seorang teman.

Satu jam kami melewati  malam. Tahukah kamu betapa berharganya waktu yang singkat itu. Saya masih ingin mendengar ceritanya, tapi tangisan saya lebih hebat. Memaksa saya tergugu. Bahkan untuk memberi salam pada Melati saja saya tak sanggup. Oh, maafkan saya.

Malam tadi, masalah-masalah saya yang terasa besar dan memenuhi kepala lantas  menjelma buih. Kecil. Tak ada apa-apanya. Saya malu. Pada diri saya yang terpuruk tanpa menyadari bahwa di atas langit masih ada langit. :(


Namanya Melati,

Tadi malam Melati datang. Begitu pula pagi ini. Smsnya menenangkan. Saya tak membalasnya. Masalah pulsa. :D Tapi saya tahu, semua yang Melati lakukan untuk saya tak memerlukan balasan. Hanya kebaikan pada diri saya lah yang dia harapakan.

Agar kamu bisa lebih siap mental menghadapi hidup. Bersyukurlah dengan lingkunganmu yang baik, perasaan yang mengujimu, keluargamu dan cerita hidupku ini. Semoga kamu tambah kuat.”

Oh, I see. Melati, saya pernah membaca sebuah tulisan, katanya kelak lingkaran pertemanan yang kita miliki bukan menjadi lebar dan besar. Tapi sesungguhnya, lingkaran itu akan menjadi sempit. Bukan pada banyaknya teman yang membuat kita bahagia, tapi semakin dalamnya ukhuwah kita, itulah yang nantinya membuat lingkaran itu berharga.

Saya berharap, kelak ketika lingkaran pertemanan saya ‘menyempit’ dia ada di dalam sana. Begitu pula diri saya di lingkaran pertemanannya.


Namanya Melati,

Tadi malam dia datang. Walau dalam telepon saja. Saya sudah cukup senang. Dan saya berharap Tuhan menganugerahkan waktuNya untuk saya datang kepadanya. Atau sebaliknya. Dalam keadaan yang nyata, diberkahi, dan diridhoi.

Terima kasih Melati. Terima kasih, teman.

Aku mencintaimu karena Allah. Tetaplah mewangikan hari-hari saya. Semoga saya bisa menjadi teman yang baik pula untuk dirimu. #Hug


Ini Melati, Wanita yang tegar. She is my inspiration now.  :)



Kawaiiii >_<"





Belum seberapa ini.. Wait, saya mau curi fotonya yang lebih ekspresif lagi...



Yahhhhhhhh....ini dia! Hahahahha... funny face!


Oia, inilah wajah asli dari...


>_<"


Melati Khan Dini


^_^v"


Pisssssss mamen.....