Monday, April 30, 2012

Menulis: Biarlah Tetap Pada Jalurnya

 Bismillahirrahmaanirrahiim.



Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. (Hadits Nabi)


Maka menjadi seorang penulis, apalagi jikalau bukan membuat tulisan yang bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Itulah paham saya yang kemudian menjadi alarm ketika tulisan saya keluar dari jalur.

Mengapa saya membuat jalur dalam menulis? Entah, apa karena background saya dari pesantren atau atas nama kesadaran diri jalur-jalur itu tercipta. Sebelumnya, 'jalur' yang saya maksud adalah semacam neraca yang menentukan apakah tulisan yang saya buat baik atau buruk. Bermanfaat atau tidak.

Suatu ketika, seorang teman meminta saya untuk membuat cerpen bertema remaja. Pikir saya itu mudah saja, toh kehidupan remaja beserta atributnya teramat jelas digambarkan mulai dari serial televisi, teenlit, bahkan di depan mata kita sehari-hari.

Jauh panggang dari api. Jari-jari saya tertahan di tombol keyboard, sedang halaman Word masih saja kosong. Loh, blockwriter kah ini? Apakah saya kehabisan ide? Tidak, seperti yang saya katakan sebelumnya, menulis tentang remaja itu mudah. Tentang cinta monyet, rebutan pacar, hura-hura di mall, putus cinta, bla bla bla.

Lalu yang menjadi persoalan bagi saya adalah di sini, di hati. Pertarungan batin itu terjadi selama proses menulis, benarkah saya ingin menulis tentang semua itu. Bisa jadi tulisan saya memuaskan teman saya, tapi apakah bermanfaat baginya? Mungkin saja tulisan saya bagus, namun sudah baik dan benarkah?

Dilema.

#

Ulama Sayyid Qutb pernah berkata, satu peluru hanya dapat menembus satu kepala namun satu tulisan dapat menembus ribuan bahkan jutaan kepala.

Disadari atau tidak efek dari sebuah tulisan sangatlah dahsyat, pernah dengar bahwasanya negeri kita dijajah selama berabad-abad karena sebuah buku?

Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien, yang ditulis Jan Huygen van Linshoten di tahun 1595. Sebuah buku yang menggambarkan keadaan satu wilayah di selatan bola dunia yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yang tidak terdapat di belahan dunia manapun. Negeri itu penuh dengan karet, lada, dan rempah-rempah lainnya, juga adanya emas dan batu permata yang tersimpan di perutnya. Tanah tersebut iklimnya sangat bersahabat, dan alamnya sangat indah. Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Nusantara. Datanglah pasukan Belanda untuk kemudian menjajah selama 3,5 abad lamanya.

#

Kembali kepada diri saya, menulis adalah sebuah keputusan. Menyampaikan yang benar atau menuntun kepada yang salah. Karena, selalu ada yang bicara ketika kita menulis. Nurani. Ia membisiki kita, bahwa apa yang kita buat belumlah benar. Menyortir tiap kata yang tertulis.

Akhirnya saya menulis sesuai prinsip yang saya pegang. Melupakan sisi komersial, apatah lagi pujian. "Yah, kok begini?" keluh teman selesai membaca cerpen buatan saya yang jauh dari harapannya. Tidak ada romantisme, kaku, kuno.

Saya tersenyum, saya tak ingin sekedar pintar memainkan kata dan menghadirkan roman-roman picisan tanpa peduli esensi dari tulisan yang saya buat.

"Garing banget!" pungkasnya.

Tak apalah... asal tetap dalam jalurnya, ucap saya dalam hati. Kritikan di atas justru memacu saya untuk membuat tulisan yang tetap menarik tanpa harus melanggar prinsip. Jalur. Terutama, alasan saya untuk menulis: berdakwah!

#

Kita menulis bukan untuk menjajah, atau memancing 'pasukan' untuk menjajah pemikiran pembaca dengan hal-hal negatif. Kita menulis karena kita peduli. Membangun peradaban dengan hati.

Marilah menulis yang baik-baik walau hanya sekedar cerpen, puisi, atau bahkan status di FB. Karena tulisan akan selalu abadi, maka yang mana kita inginkan: abadi dalam kebaikan atau abadi menyesatkan?


By: Aisyah Istiqomah Marsyah
Silahkan kunjungi note FB tentang tulisan ini, terima kasih.


*Tulisan ini MENANG dalam lomba 'Keshalehan Jalan Pena: Komitmen di Jalur Kepenulisan Agar Semakin Dekat Dengan-Nya dan Semakin Bermanfaat Bagi Sesama' yang diadakan oleh Pesantren Penulis.

Monday, April 23, 2012

Bagaimana jika Dia adalah Saya?

Bissmillahirrahmaanirrahiim.

Teman, entah berapa minggu yang lalu...saya tidak ingat, saya disuruh oleh ustad Mujawwid Arif untuk menuliskan kisah yang sangat sarat makna. Saya harus menahan air mata dan rasa ngeri yang sangat, selama tangan saya mengetik selama itu pula rasa syukur menggunung di relung hati.

Tulisan itu adalah sejumput kisah tentang Ridwan Sahabat, teman kita dari Bitung yang mengidap Tumor Mata. Sekelumit perjalanannya menuju kesembuhan, sungguh menggetarkan ketidaksyukuran saya atas nikmat hidup yang kadang timbul-tenggelam.

Bagaimana jika DIA adalah SAYA?

Mampukah saya bertahan, mampukah saya menjalani semuanya, masih bisakah saya tersenyum, masih kuatkah saya menyongsong kehidupan, tetapkah saya percaya Tuhan, rentetan pertanyaan silih berganti memenuhi kepala saya.

Sakit sedikit saja kita banyak mengeluh. Wah, saya takut membayangkan. 

Sungguh, buka jendela mata-hati kita...buang keluh di tempat sampah sekarang juga. Banyakkkkkkkk yang harus kita syukuri. (dr hati yg paling)

Yah, diujung tulisan ini saya ingin berterima kasih kepada Ridwan Sahabat atas perjalanan hidupnya yang penuh makna. Bahagia bisa menjejaki kisahmu walau hanya dalam kata. Semoga Allah memberkahi engkau juga seluruh keluargamu. Salam.


#

Teman, yang mau baca kisah Ridwan Sahabat bisa klik di sini. Selamat membaca....



Saturday, April 21, 2012

Catatan Asyik

Bismillahirrahmaanirrahiim.


Lately, saya kebingungan...banyak orang yang tiba-tiba menjadi 'tidak asyik' di mata saya. Saya mulai menjauhi mereka, semua yang mereka lakukan benar-benar nggak asyik, saya pun lebih memilih asyik dengan kehidupan dan aktivitas saya yang bagi saya asyik.

Lama kelamaan, kok jadi nggak asyik yah. Kebingungan saya bertambah, apa yang saya lakukan terasa nggak asyik seperti orang-orang yang nggak asyik dulu. Lalu anehnya mereka yang nggak asyik dulu kok jadi nampak asyik yah? Waduh, suer banget saya mulai nggak asyik nih.

???

Baiklah saya tahu, apa yang saya anggap asyik belum tentu nggak asyik, sebaliknya apa yang saya anggap asyik boleh jadi haqqul nggak asyik. 

Nah loh, mulai bingung yah... Kalau begitu, tujuan tulisan saya tercapai dong. Membuat orang bingung untuk menemani saya yang sedang bingung abissss

:D :D ;D


Rindu Blogku, Rumah Ke-sekian blablabla....*peluk-cium-cubit

Thursday, April 5, 2012

Edisi Salah

Bismillahirrahmaanirrahiim.


Ya Allah, mohon benarkan yang salah. Cukup Engkau dan diri ini yang tau kesalahan ini. Amiin.

Wednesday, April 4, 2012

Foto dan Makna

Bismillahirrahmaanirrahiim.


Jum'at, 30 Maret 2012



#Lomba Cipta Puisi untuk Palestina, Al-Markaz Makassar#

Mendengar ada lomba membuat puisi, saya langsung yakin bahwa Ufayanti akan menjadi sang juara. Dan ternyata benar, dia juara 1.

Bincang-bincang di mobil dalam perjalanan pulang, Ulfayanti mengaku bahwa sebelumnya dia sudah yakin bahwa dia akan menyabet juara satu.

Subhanallah.....Ternyata, kami memulai perjalanan ini dengan sebuah KEYAKINAN. Oh, Allah sungguh menyayangi orang-orang yakin dalam tujuan hidupnya.


***

Sabtu, 31 Maret 2012.

#Blogshop Kompasiana dan Roadshow Negeri 5 Menara di Bank Indonesia Makassar#

Kata A. Fuadi: Menulis membuat AWET MUDA, dalam pengertian bahwasanya memang jasad kita kelak akan dikubur. Namun tulisan kita akan selalu hidup. Maka menulislah yang baik-baik, meski hanya sekedar STATUS di FB yang hanya beberapa baris kalimat saja. 
*** 
Ahad, 1 April 2012

#Book Fair, Oki Setiana Dewi, di Makassar Town Squere (Mtoz)#

"Kepada segenap muslimah yang konsisten berjilbab, mari kita tunjukkan bahwa dengan jilbab kita bisa menjadi 'apa-apa'!"

Itulah ajakan Oki Setiana Dewi, sekaligus menjawab tantangan dari produser yang pernah mengatakan bahwa dirinya tidak akan menjadi 'apa-apa' dengan jilbab yang dikenakannya.

Sunday, April 1, 2012

WS. Rendra: Kalelawar

Bismillahirrahmaanirrahiim.


Saya dedikasikan untuk mama saya tercinta; Melihatmu dari segenap jurusan.

###


Silau oleh sinar lampu lalulintas
Aku menunduk memandang sepatuku.
Aku gentayangan bagai kelelawar.
Tidak gembira, tidak sedih.
Terapung dalam waktu.

Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan.
Sungguh tidak menyangka
Begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku.

Sekarang aku kembali berjalan.


Apakah aku akan menelefon teman?
Apakah aku akan makan udang gapit di restoran?
Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi.
Masalah sosial dipoles gincu menjadi fizika.
Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja.
Hanya kamu yang enak diajak bicara.

Kakiku melangkah melewati sampah-sampah.

Akan menulis sajak-sajak lagi.
Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja.
Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku.
Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan.


 
~ W.S. Rendra ~