Wednesday, May 21, 2014

Hati yang Lelah





"Karena hati yang lelah dekat dengan menyerah."

*

Apakah kau tahu apa yang lebih menakutkan dari rasa marah? Lelah! Beberapa orang meluapkan kemarahan dengan cara yang berbeda-beda; ada sebentuk emosi yang membuncah, ada kebisuan yang merayap diam-diam, ada pecahan, ada pukulan, ada teriakan, semua ada. Rupa-rupa. Meski kemarahan mengikutkan banyak hal negatif, tak sedikit pula menimbulkan kelegaan. Kemarahan itu menakutkan. Bagi hati yang terlalu peka, menyimpan banyak kantung maaf: meski tak (selamanya) bersalah, mereka meminta -juga memberi- maaf dengan sukarela. Klasik memang, namun tak bisa kau pungkiri, ada hati seperti ini di lingkaran hidupmu. Kemarahan memang tak selalu berakhir pada maaf-memaafkan. Tapi, itulah yang dibutuhkan. Bahkan ada hari di mana maaf-memaafkan terjadwalkan. Bukankah seperti itu? Kemarahan membuat orang bergerak; untuk meluapkan; mengalirkan; melepas. Tapi tidak dengan rasa lelah.

Lalu, bagaimana jika yang lelah adalah hati yang mencintaimu?

Duniamu akan terbalik. Kekosongan akan memenuhi tiap detik yang tak lagi sama seperti dulu. Hati yang lelah lebih buruk dari kemarahan; tak bergerak; tiada daya; pasrah; abai; menyerah

Hati yang lelah adalah hati yang telah melakukan perjalanan panjang dan dipaksa berhenti oleh banyak hal. Untuk apa? Saat pertanyaan itu muncul, maka berakhirlah perjalanan. Seperti seseorang yang menujumu tak lagi memiliki alasan kuat untuk terus berjalan, karena kau tak memberikannya. Sehingga semuanya nampak seperti buih di lautan. Banyak namun tak berarti. 

Karena lelah: tak ada lagi senyuman yang lebar di bawah mentari pagi, tak ada sapaan selamat malam, tak ada lagi jejak kaki di sampingmu. Tak lagi bisa -mau- mengejar, mencari kebenaran, membicarakan impian, membangun harapan, menangis, tertawa, dan lebih menyakitkan saat hati lelah untuk marah sekalipun.

Kau bisa membayangkan itu semua? Kau akan berpikir lebih baik dimarahi seribu kali dibandingkan menatap seseorang yang balik menatapmu dengan kekosongan. Kau rela menjadi kaki untuknya berlari daripada melihatnya diam di tempat membiarkanmu berlalu. Kau siap menerima tuduhannya sesakit apapun itu daripada dibiarkan melakukan apapun tanpa pedulinya. Sungguh terbalik duniamu. Sebab hati yang lelah adalah hati yang kehilangan alasan untuk berjuang. 

Jika kamu -sedang- saling mencinta, saling menguatkanlah! Karena hati yang lelah dekat dengan menyerah. Bukankah sangat menyakitkan saat seseorang menyerah atasmu?

Maros, 21/05/14


Monday, May 19, 2014

Anggap Resensi: Perempuan, Bacalah Buku Ini!



Judul Buku: The Palace Of Illusions
Penulis: Chitra Banarjee Divakaruni
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

*

Siapa saudara perempuanmu? Akulah dia.
Siapa ibumu? Akulah dia.
Fajar merekah bagimu seperti juga bagiku.


Prolog yang indah, bukan? Baiklah, saya tidak terlalu mahir membuat resensi buku. Saya hanya akan bercerita -seperti biasanya- dengan sebebas-bebasnya tanpa aturan yang saya tahu. kalau ada yang merasa kurang, saya ucapkan terima kasih. #eh hahaha...The Palace of Illusions milik Divakaruni sukses membuat saya menutup buku dengan hati puas. Puas sekali rasanya mengikuti jalan cerita yang penuh lika-liku namun bermakna. 

The Palace of Illusions (Istana Khayalan) menceritakan tentang kisah Mahabrata (tau kan?) dengan sudut pandang Dropadi, seorang perempuan. Kata pemilik buku, kebanyakan kisah Mahabrata ditulis dengan sudut pandang lain dan sama saja. Ini berbeda. Siapakah Dropadi?

Dropadi adalah titisan Dewi Agni, yang diramalkan akan mengubah sejarah. Dro diramalkan bahwa dia akan menikah dengan lima pahlawan besar pada zamannya, akan menjadi ratu dari segala ratu, dicemburui para dewi. Akan menyebabkan perang terbesar, kematian kakak dan anak-anaknya, akan menyebabkan sejuta perempuan menjanda. Dan ramalan tersebut menjadi kenyataan. (wow)

Perjalanan Dro menuju dan menjalani ramalan-ramalan itu lah yang membuat kisah ini mengagumkan. Jadi, mari kita letakkan diri kita sebagai Dro? Menikah dengan 5 pahlawan (drrrr)? Lalu menjadi ratu di atas ratu? Dicemburui para dewi? Menyebabkan perang besar dan yang lainnya?!! Seorang perempuan yang dihadapkan pada takdir baik-buruk bergantian, dengan hati sekuat apa kita bisa menjalaninya? Yah, Dro menghadapi itu semua dengan segala kekuatan yang dia punya, emosi, cinta, serta pemikiran yang terkadang meledak-ledak dan bijak.

Divakaruni memang menjadikan Dro tokoh utama dari cerita ini, namun yang menarik adalah dia tidak memihak kepada Dro maupun tokoh lainnya. Semua berjalan seimbang. Pemikiran-pemikiran filosofis berserakan di tiap halaman, membuat saya diam sejenak untuk mengiyakan kadang menggeleng menolak. 

Ini kisah cinta? Tentu. Dro adalah putri yang sangat cantik dari kerajaan Panchali. Untuk menikahinya pun perlu diadakan sayembara besar, walau ternyata sebenarnya sang Ayah sudah memilih siapa calonnya. Dro, perempuan yang keras, penuh rasa ingin tahu, namun tetaplah mendambakan cinta yang agung. Tak dinyana, takdir membawanya pada cinta serumit jaring laba-laba. Penuh dengan intrik, bahkan darah perang mewarnai. Kepada siapa cinta Dro berlabuh? Yudistira|Dewa Keadilan, Bima|Dewa Angin, Arjuna|Raja Para Dewa, Nakula dan Sadewa|Dewa Kembar Penyembuhan? Atau Karna? Khrisna? Atau ada lelaki lain yang berhasil merebut hati Putri Panchali ini? Rahasiaaaa.... pokoknya baca deh. Dijamin bukan roman picisan.

Haruskah saya menulis kekurangan buku ini? Ehm, kalau menurut saya yang pelupa ini, banyaknya tokoh membuat saya sedikit pusing. Tokoh manusia dan dewa terputar-putar. Sampai-sampai saya harus kembali ke halaman depan untuk melihat nama-nama tokoh dengan penjelasannya, siapa dia dan dia dan dia... uff. Tapi, ini bukan masalah kok. Iya, kan? :D

Terakhir, saya akan menuliskan potongan-potongan kutipan yang saya temukan di buku ini. Dengan membacanya, saya harap kalian tergugah untuk mencari dan membaca buku ini. Recomended for you gals. Why? Just read! :P

*

"Cinta datang seperti halilintar, dan hilangnya pun demikian. Kalau kau beruntung, cinta yang tepat akan menemukanmu. Kalau tidak, kau akan menghabiskan seumur hidupmu merindukan laki-laki yang tidak bisa kau miliki."

"Kalau ada yang meraih tanganku melawan kehendakku, bagaimana mungkin itu menjadikan aku miliknya?"

"Apalah artinya sumpah yang sudah mati, dibandingkan kehancuran seorang perempuan?"

"Ingat itu adikku: tunggu seorang laki-laki membalaskan dendam untukmu, dan kau akan menunggu selamanya."

"Kekuatan keyakinan seseorang merembes kepada orang-orang di sekitarnya -ke dalam tanah, udara, dan air- sampai tidak ada yang lainnya"

"Takdir itu kuat dan cepat. Kau tidak bisa memperdayanya dengan mudah. Meskipun kau tidak mencarinya hari ini, pada waktunya takdir yang akan menemukanmu."


"Kebenaran mempunyai banyak segi, seperti berlian."

"Bukankah kita semua bidak di dalam tangan waktu, pemain terbesar itu?" 

"Perempuan ikut andil dalam masalah-masalah dunia, dengan ratusan cara tersembunyi dan membahayakan."

"Memang sudah seperti itu sejak dulu. Kapan mereka yang tidak bersalah tidak menderita? 

"Bukankah imajinasi selalu melebihkan -atau mengurangi- kebenaran?"

"Ketakutan membuat orang jadi mementingkan diri sendiri."

"Seorang pahlawan tetap pahlawan, tidak peduli apa kastanya. Kemampuan lebih penting daripada kelahiran yang kebetulan."

"Tidak ada yang lebih kuasa atas diri kita daripada kebenaran." 

 "Perempuan tidak akan pernah bisa menghabiskan semua air mata dalam hidupnya."

"Harapan adalah seperti batu-batu tersembunyi di jalanmu-hanya membuatmu tersandung."

"Agar kemenangan bisa terjadi, seseorang harus kalah." 

"Waktu akan mengajarimu apa yang tidak mau kau pelajari dari orang-orang yang bermaksud baik padamu."

"Aku ingin percaya bahwa kadang-kadang hal baik mungkin terjadi tanpa keburukan langsung menyusulnya."

(sumber: di sini )

*

Demikianlah, (bukan) resensi buku ini. Mengapa saya menyarankan para perempuan membacanya? Karena saya perempuan! :) Terima kasih kakak puisi telah meminjamkan buku ini pada saya. :)


Maros, 20/05/14

Orang-orang Hilang


Tadi, sebelum pucuk-pucuk daun larut dalam senja, kudengar derit pintu berat menutup. Aku masih sibuk dengan satu perkara -tak kulihat siapa yang datang- mengganggu pikiranku yang memang kacau serupa rusaknya rajutan.

Mengapa mereka selalu minta ditemukan? Sementara, tak asing kulihat wajah mereka berseliweran di bawah Matahari. Mengerjap disapu hujan. Dan anehnya begitu indah disirami cahaya rembulan. Mengapa mereka merasa hilang? Mereka terlihat nyata bahkan dari bayangan pun aku kenal.

Mereka lalu lalang mencari diri mereka sendiri, kadang nampak anggun dengan kebingungan, kadang aku menertawakan kebodohan menggaris tegas -kulihat jelas- di mata-mata yang liar.

Pintu berderit kembali -entah datang atau pergi- aku mendengar satu teriakan, lagi, minta ditemukan. Lalu, di hadapku seseorang yang entah sejak kapan berada di sana, tersenyum senang. Dia berujar, "Terima kasih telah menemukanku."

Ah, aku tak mengenalnya. Tapi tetap mengangguk, sopan.

Mksr, 19/05/14 

Thursday, May 15, 2014

Pernahkah Kau Melihat Hantu?


"Hantu berkeliaran setiap saat, 
saling bertabrakan tanpa meminta maaf."

*

Pernahkah kau melihat hantu? Adikku pernah. Subuh hari, dia yang memang agak sedikit pemberani, keluar dari kamar dan duduk asik menonton. Menunggu pagi. Namun, dia melihat seorang nenek berjalan tanpa menyentuh lantai, menuju ruang tamu, dan hilang menembus tembok. Sontak dia berlari kembali ke dalam kamar, menyusup diantara kedua orang tuaku yang sedang tidur. Dengan badan gemetar dia mencoba tidur kembali. Menunggu pagi, lagi. Lalu menceritakan semuanya ke mama dengan rasa takut yang belum juga reda. Dia tak berbohong, dia pernah.

Aku?

Bagi seorang aku -siapa aku?- hantu yang menakutkan bukanlah kuntilanak, pocong, vampir, atau apalah sejenisnya. Pikiran liar yang tak terkendalikan, adalah HANTU sesungguhnya bagiku. Menimbulkan keresahan, ketakutan, dan rasa ketidaknyamanan. Hantu ini tak menunggu malam dan keluar menakutiku, dia berkeliaran tiap waktu dan menggangguku tanpa ampun.

Dan malam ini, aku tahu, ada banyak hantu di kepalaku. Mereka sangat liar, sampai rasanya ingin pecah saja kepala ini. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Bagaimana mendamaikan mereka, menenangkan mereka, sehingga aku bisa berpikir lebih jernih. Tapi sungguh, aku bukan pawang hantu yang baik. Aku ketakutan. Aku resah. Aku membiarkan mereka mempermainkan diriku. Semakin aku berusaha menaklukkannya, semakin bertambahlah hantu-hantu itu.

Kadang, aku mencoba masuk jauh ke dalam diriku. Aku mencoba mengumpulkan keberanian -aku yakin itu ada- namun aku belum menemukannya. Ah, ini menyakitkan sekali. Kepalaku terasa mau pecah. Hantu-hantu itu, sepertinya mereka marah. Aku ingin tidur saja. Semoga bisa.

maros, 16/05/14


Tuesday, May 13, 2014

Random List


"Playing Now"

*

Not Me Not I - Delta Goodrem

Like We Used To - A Rocket To The Moon (Accoustic Version)

Say Something - A Great Big World

Dont Wanna Miss A Thing - Aerosmith

Decode - Paramore (Accoustic Version)

Burn - Ellie Goulding

Your Call - Secondhand Serenade

Zxp9Cf21Hqd - Unknown


-_-

Friday, May 9, 2014

(D)ingin


 "Keinginan yang dingin." 

 *

Aku juga ingin. Disapa olehmu. Dikuatkan. Diberi semangat. Diberikan senyum terbalik. Dikritisi. Ditinggalkan emo tertawa. Dibantah. Diiyakan. Lalu kita saling berbalas. Sampai panjang percakapan.

tapi

Kau bilang, 'rumah'ku terlalu ramai. Kau hanya datang dan memberikan itu semua pada 'rumah' yang sepi dan membuat kegaduhan. Sudah kuungkapkan aku ingin. Malu rasanya mengatakan itu dan memintanya.

tapi

Kau tetap tak datang. Pernah sekali dan cepat pergi. Aku selalu menemukan ceriamu, tapi tidak untukku. Aku tak tahu lagi. Aku ingin apa? Aku kesepian rasanya. Aku tak tahu apa yang ada di pikiranmu. Kadang aku ingin tahu. Kadang tak mau.

tapi

Benarkah kau melihat keramaian? Bisakah kau melihatnya lebih dalam... Aku sudah tak tahu lagi apa yang aku inginkan. Aku hanya merasa... sendiri dan sepi. 

lupa tanggal, 02.28

Tuesday, May 6, 2014

Menjadi dan Mencari Pendengar


"Tangan saya tersiram air panas."

*

Tadi saya ingin bercerita tentang hal itu. Tapi tak ada kesempatan. Saya menunggu waktu yang tepat untuk bercerita, ternyata yang tepat saat ini adalah mendengar. Saya tak marah. Saya suka mendengar cerita apapun darimu. Tapi sepertinya, kondisimu sedang tak baik, saya mengerti. Hanya saja, seharian ini, ah bukan...beberapa hari ini saya tak banyak bicara. Saya pikir mulut saya bisa kaku nanti, terlalu banyak diam. Saya ingin mencari orang lain untuk menjadi pendengar, saya punya banyak cerita untuk disampaikan. Saya yakin banyak yang dengan sukarela jika saya meminta. hahaha... Tapi, saya tak menemukan siapa-siapa, karena memang saya tak pernah mencarinya. 

Kalau kamu sudah baikan, kamu maukan jadi pendengar untuk sementara? 

mksr, 06/05/14


Sedetik Setelah


Di senyum anak-anak
aku berseluncur dan berlari
menuju telinga mereka, satu-satu
kubisiki,

"Bahagialah!"

Sedetik setelah, bahagiaku terlimpah.

mksr, 060514

Monday, May 5, 2014

Saya Suka Saya Hari Ini


"Ini seperti Lailatul Qadr, tapi bukan. Ini hari dimana saya merasa sedikit menjadi lebih baik dari sekian banyak hari yang telah terlewati."

*

Alhamdulillah. Hari ini, saya merasa sedikit lebih baik dari biasanya. Saya banyak melakukan perenungan. Apa kekurangan saya, apa yang seharusnya saya lakukan, segala-gala tentang apa yang telah terjadi dan perlu dimuhasabahkan. Saya menemukan banyak kekurangan di sana-sini. Saya sedih, tapi bersyukur Allah masih mau membukakan hati saya untuk melihat semuanya. Saya sedih, tapi saya bahagia Allah masih memberikan waktu untuk berubah.


 Saya adalah orang yang...

Sombong, Tukang Pamer, Lebay.

Sudah satu bulan lebih saya jarang update status sejak saya melihat thread status-status lama yang pernah saya buat. Saya menemukan keluhan, sindiran, pamer (riya), kelebayan, mesti banyak juga status bijak yang saya buat dan penuh like dan comment, tapi saya menemukan jejak kesombongan di sana. Saya manusia biasa yang tak terlepas dari penyakit hati. Saya kuat untuk menahan amarah, tapi saya juga lemah pujian. Saya senang memiliki banyak teman, tapi saya juga kadang iri, egois, apatis. Dan masih banyak lagi tentunya, siapa-bagaimana diri saya. Atas penilaian inilah, saya harus lebih bijak memanfaatkan medsos yang ada. Oleh itu, saya perlu berfikir dua kali sebelum update apapun dan dimanapun. Saya harap hanya kebaikanlah yang saya tinggalkan sebagai jejak hidup saya nanti. 


 Lemah, Tidak Tegas, Apatis.

Saya kesulitan mengatasi permasalahan, dengan ketidaktegasan yang saya miliki. Saya sulit memutuskan apa-apa, dengan kelemahan diri ini. Saya membuat kekecewaan, dengan ke-apatis-an yang saya tunjukkan. Sedangkan saat ini saya berada di posisi ketua dalam organisasi. Saya tahu, mereka kadang jengkel dan jengah melihat prilaku saya. Waktu kepemimpinan saya akan habis, dan saya tak memberikan banyak kontribusi selama ini. Saya menyadari kesalahan saya ini, saya ingin meminta maaf kepada mereka. Saya ingin memberikan yang terbaik di waktu tersisa, tapi mengapa sampai saat ini pun saya belum tahu dalam bentuk apa itu? Saya selalu berdoa untuk diberikan sedikit saja kekuatan untuk memimpin sesuatu, namun sebelum itu, saya belajar lebih dulu untuk memimpin diri saya sendiri.

Menyalahkan Diri Sendiri. Menyalahkan Orang Lain.

Menyalahkan diri sendiri terlalu dalam, kemudian melimpahkan kepada orang lain atas kegagalan yang ada. Ini buruk sekali. Saya ada di situasi seperti ini berkali-kali. Saya bahkan bisa melihat ke dalam diri sendiri siapa-siapa orang yang kini bertengger di sudut kemarahan hati saya. Saya malu mengakui, tapi inilah saya. Dan malam ini, saya berjanji saat membuka mata pagi ini, saya sudah memaafkan diri saya dan melepaskan kemarahan atas orang lain.


Cepat Merasa Puas.

"Tetaplah lapar, tetaplah bodoh." Pidato Bill Gates di sebuah acara wisuda yang pernah saya baca dulu, kini saya ingat kembali. Maksudnya, beliau mengingatkan untuk kita tetap merasa lapar sehingga kita tak berhenti bekerja dan berusaha. Tetaplah bodoh, agar kita tak merasa puas dengan ilmu yang didapat, untuk kemudian terus menimba ilmu dimanapun dan kapanpun.  Mengapa saya bisa melupakan nasehat baik ini? Ah, tak apa, yang penting saya mengingatnya lagi. Ust. Mujawwid juga pernah memperingatkan tentang sifat yang perlu saya jauhi, yaitu jangan cepat merasa puas. Inshaa Allah, saya sedang berusaha untuk mengamalkannya. Semoga lautan hikmah di bumi ini, Allah berikan pemahaman yang baik untuk saya memahaminya.

Egois.

Malam ini saya berbincang dengan adik saya, Asiah. Kami saling sharing betapa kami harus bersyukur atas anugerah yang Allah berikan. Kesempatan kuliah yang tidak dimiliki ketiga saudara kami yang telah lulus. Juga kemampuan yang kami punya. Kami saling menguatkan untuk melepas egoisme. Kami harus bersungguh-sungguh dengan apa yang kami miliki sekarang, berusaha untuk tidak mengandalkan orang tua lagi (dalam hal materi). Dan mulai memikirkan bagaimana masa depan adik-adik kami. 

Penakut.

Mungkin, lebih kepada terlalu berlebihan dalam kekhawatiran. Takut kehilangan atas sesuatu. Dan kepada seseorang, saya sudah melepas rasa takut berlebihan ini. Saya tenang sekali, saya percaya bahwa rencana Allah adalah sungguh terbaik adanya.


*

Masih banyak kekurangan saya, namun biarlah selebihnya saya pahami sendiri dan Allah tutupkan atasnya. Tulisan ini, bukanlah ajang mengumbar aib. Setiap orang punya kekurangan, saya juga, dan kita punya cara masing-masing untuk mengatasinya. Saya harap tulisan ini bisa abadi menjadi pemberi peringatan, kala saya tersesat dan menjadi pribadi yang buruk lagi. Dan mengingatkan saya bahwa saya hanyalah manusia biasa, maka tak boleh ada kesombongan sebiji zarrah pun.

Semoga muhasabah ini tak hanya sekedar perenungan kosong. 

Allah bantu saya. Allah saya ingin jadi pribadi yang lebih baik lagi. Allah terima saya. Allah maafkan atas kesalahan yang saya perbuat. Allah saya ingin dituntun. Allah ridhoi segala perbuatan saya. Allah hilangkan segala penyakit hati ini. Allah beri saya waktu untuk menjadi sebaik-baik manusia, sebaik-baik khalifah di bumi-Mu. Allahumma aamiin.


mksr, 05/05/14

Thursday, May 1, 2014

Tangisan Tersembunyi





TANGISAN TERSEMBUNYI



                  Hiks, hiks, hiks…
            Naura tersentak, “Arghhh…” Keringat membanjiri tubuhnya yang terbungkus seragam sekolah lengkap. Teriakannya berhenti, pelan terdengar nafasnya yang memburu, kedua bola mata perempuan itu liar mencari sumber tangisan yang baru saja dia dengar. Menoleh sembarang lalu menekuk lututnya yang bergetar hebat.
        Tenang Naura, tangisan itu hanya mimpi. Tapi mengapa, mengapa tangisan itu selalu mendatangiku…?

            Naura merintih, keremangan cahaya kamar menyamarkan gurat lelah di wajah pias miliknya. Tangisan itu hadir dalam hidupnya sejak dua bulan lalu, dimana pun dia berada tangisan itu seakan-akan membuntutinya tak peduli betapa ingin dirinya tidur dalam ketenangan atau sejenak menutup mata. Banyak perubahan terjadi seiring kehadiran tangisan yang entah dari mana asalnya. Rasa sakit bertambah lantaran hanya dia yang mendengarnya, julukan pembohong pun dicapkan padanya. Tak ada yang peduli, tidak juga ayahnya yang datang dan pergi tanpa sapa. Sepi.
            Naura mengusap dahi, perlahan menarik selimut sebatas leher dan membiarkan kakinya yang masih memakai sepatu terjulur pasrah. Ibu… Naura berbisik pada dirinya sendiri, kemudian mencoba kembali tidur. Matanya terpejam.
Naura masih terjaga.

*

            Ketika keluar dari kantor kepala sekolah matanya bertemu dengan mata Naura yang memelas, menunggunya sejak tadi.
            “Bisakah kamu tak mempermalukan ayah.” Ucap Haris dingin.  
“Maaf. Saya tak bermaksud untuk bolos Yah, tangis itu-”
            “Tidak ada tangis-tangisan Naura. Hentikanlah imajinasimu! Ayah lelah mendengar ocehanmu tentang suara tangis aneh itu.” Naura ingin mengucapkan sesuatu, namun tertahan desisan sang ayah. “Aku terlalu sibuk untuk datang lagi esok, kamu telah mengganggu pekerjaan ayah.” Haris melewati Naura yang menggigil dingin, sayup-sayup suara tangis itu datang lagi. Naura berlari tanpa tujuan.

*

            “Mengapa kalian menjauhiku?”
Dian, Renata, dan Sandy saling melirik, di hadapan mereka berdiri Naura dengan tatapan tajam. “Kami tak pernah menjauhimu Naura, justru kamu yang menutup diri dari lingkungan sekitarmu.” Kata Dian. Renata mengangguk setuju.
“Kami tahu kamu merasa kehilangan dengan kepergian ibumu, tapi dua bulan telah berlalu Ra, kamu malah semakin aneh.” Sandy menambahkan.
“Jangan bawa-bawa ibuku! Bilang saja bahwa kalian tak ingin berteman lagi denganku. Aku pikir kalian sahabat sejati, tapi tak kusangka kalian hanyalah sekelompok penjilat yang mendepakku begitu saja. Aku benci kalian.”
Naura mendengar kembali tangis itu, entahlah kepada siapa dia dapat membagi rasa takutnya jika keempat teman yang dipercayainya justru meninggalkan dirinya sendiri.

*

            Sudah tiga hari ini Naura kurang istirahat, matanya sayu dikelilingi warna hitam, tubuhnya juga terasa lemas. Tak ada daya.
           
Hiks, hiks, hiks…
            “TIDAAAAK…” Naura tersentak, matanya yang baru saja terpejam membelalak ngeri.
            “Ada apa Naura?” Tanya Ibu Yasmine.
“Suara tangisan itu datang lagi bu…” Lirihnya.
            Ibu Yasmine mengangkat bahu, seolah berkata ‘tak ada tangisan, tak ada suara’
       “Oh, ternyata putri tidur kita terbangun karena tangisan lagi… hahaha. ” Timpal teman lelakinya. Tawa-tawa pecah.
            Naura mematung, tak tahu dengan cara apalagi dia menjelaskan tentang tangisan pilu yang didengarnya. “Tangisan itu, tidakkah kalian dengar. Hanum, suara itu sangat jelas seharusnya kau dapat mendengarnya!” desak Naura. Hanum teman sebangkunya menggeleng lemah.
            “Tidak ada suara apapun Naura.” Kata Ibu Yasmine cemas.
          “Jangan bohong bu. Anda pasti mendengar suara itu kan?  Kalian semua diamlah, tolong dengarkan baik-baik seseorang sedang menangis, tangisan yang sangat menyayat hati, tidak ada tangisan yang lebih memilukan… ah, kalian harus mendengarnya.” Kelas menjadi gaduh, Naura semakin histeria.  Ibu Yasmine dibantu teman yang lain mencoba menenangkannya. “Tidak bu, aku tidak bermimpi atau menghayal. Suara tangis itu benar-benar ada dan sangat jelas bu, aku mohon, teman-teman bantulah aku mencari asal suara itu. AKU MOHON!”
Jendela kelas dipenuhi mata-mata yang mengintip pertunjukkan aneh gadis cantik yang berlari kesana-kemari, memeriksa semua laci meja, tas-tas, juga lemari buku. Apalagi kalau bukan untuk mencari sumber tangis itu.
Naura sudah gila… Bisik-bisik pun didengungkan juga ungkapan belas kasihan dari segelintir siswa yang ketakutan melihat teman mereka layaknya orang kesurupan. Kasihan, cantik-cantik kok nggak waras…
Pertunjukkan Naura belum selesai, tak lama…

Hiks, hiks, hiks, ibu…
Kali ini tangisan pilu yang sering dibicarakan Naura memang terdengar jelas di sana, semua yang hadir mendengarnya tapi suara itu tidak tersembunyi seperti apa yang dicari Naura melainkan keluar dari mulutnya sendiri.
Dia menangis sejadi-jadinya, tangisan itu teramat memilukan bagi para penonton yang mendengarnya tidak terkecuali Haris, Sang Ayah yang baru saja datang setelah mendapat panggilan dari Kepala Sekolah. Haris selama ini tak percaya dengan keluhan guru-guru mengenai keadaan Naura yang berprilaku ‘aneh’. Memang sejak dua bulan lalu selepas kematian Fiona istrinya yang merupakan ibu Naura, Haris bermasa bodoh dengan keadaan Naura. Dia terlalu egois hingga yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana melupakan kepedihan itu dan lari dari kenyataan. Dia lupa bahwa Noura sang buah hati juga terluka dan perlu perhatiannya.
“Maafkan Ayah, nak..” Kenang Haris sambil berjalan mendekati Noura yang bersimpuh di lantai.
Noura berkata dalam tangisnya, “Ayah dengar kan tangisan itu? Ayah dengar kan…” Haris memeluk Noura dengan erat. Iya anakku, ayah mendengarnya. Tangisan itu adalah tangismu, kau menyimpan dukamu sendiri.
“Jangan menangis lagi, nak. Ayah sayang padamu.”
“A.. a.. ayah tidak marah padaku? Ayah tidak membenciku kan? Kau tak pernah menyapaku seperti dulu, kau selalu pergi meninggalkanku. Aku takut tangisan itu selalu memenuhi kepalaku.”


“Tidak Naura, ayah mencintaimu. Ayah menyesal telah mengabaikanmu. Izinkan ayah membayar  semua ini…”
Haris tertikam sesal. Bagaimana bisa dia melupakan Naura yang juga terluka kehilangan ibu yang sangat dicintainya, lihatlah yang terjadi sekarang gadis kecilnya tertawa dan menangis sendiri. Haris ikut mengurai air mata kepedihan.
“Hahaha, kalian dengar kan tangisan itu? Kalian semua sekarang percaya padaku, aku tak berbohong… tangisan itu, tangisan yang sangat memilukan. Hiks, hiks, hiks…”
Semua mata digenangi air.
Tapi hanya tangisan Nauralah yang dapat memilin sesal di hati-hati mereka.
Ibu…

***

Cerpen 4 tahun silam, wkwkwk alayy ronggg :D