Monday, April 6, 2015

Badut


BADUT

sumber gambar

Namaku Surya. Aku benci badut. Benci sekali. Mendandani diri sendiri dengan make up norak, memalukan. Berlagak konyol dengan pakaian yang aneh, semuanya terasa menjijikkan. Tak adakah pekerjaan yang lebih ‘terhormat’ selain membuat diri sendiri ditertawakan oleh orang-orang? Aku takkan pernah sudi melakoni hal itu.
            Apakah aku sudah memperkenalkan diriku? Betapa bencinya aku pada badut? Yah, Surya si pembenci badut. Itulah aku.
           
*

            ‘Surya, apalagi yang kamu butuhkan?’ berulang kali bapak menanyakan hal yang sama setiap bertemu denganku. Apa yang aku butuhkan? Bapak seakan-akan tak membiarkanku kekurangan satu apapun dalam hal menuntut ilmu. Yah, bapak memang tipe orang tua yang akan melakukan segala cara demi keberhasilan anaknya.
Bapak adalah seorang satpam di sebuah mall besar di Jakarta. Ia bekerja mulai pagi hingga malam. Meski sibuk dan pulang dalam keadaan lelah, bapak selalu menyempatkan diri menemaniku belajar. Membantu apa saja yang ia bisa lakukan, menurut pengamatanku selama ini, aku merasa tidak ada yang tidak bisa ia lakukan. Saat ada tugas pelajaran Tata Busana untuk membuat baju, aku merasa pusing karena tak tahu menjahit! Bapak kembali menjadi penyelamatku, ia mengajarkan padaku bagaimana cara membuat pola dengan terlebih dahulu mengukur berbagai ukuran. Menggunting. Lalu menjahit. Aku terpana dibuatnya. ‘Kok bapak bisa?’ tanyaku masih tak percaya. Kata bapak, nenekku yang mengajarinya saat masih muda. Saat kutanya mengapa tak jadi penjahit saja, bapak bilang tak ada modal tuk beli mesin jahit.

            Bapak adalah seorang ibu juga untukku. Ibu meninggal setelah melahirkanku. Meski merasa terpukul, bapak mengambilku yang kala itu masih bayi ke dalam dekapannya. ‘Surya, surya, surya… Bapakmu mengucapkan kata itu berulang kali dengan pancaran cinta yang tak terbilang. Baginya, kau adalah sang surya yang akan menyinari dunia.’ Cerita nenek cukup mengena di hatiku. Tak pernah sekalipun aku membantah perintah bapak. Sayangnya, aku tak menyimpan baik-baik di lubuk hatiku yang paling dalam. Waktu mengikis rasa itu.

            ‘Surya butuh uang, pak.’ Aku menggigit  bibir. Tanpa bertanya terlebih dahulu untuk apa uang itu aku gunakan, bapak malah langsung bertanya jumlah yang aku butuhkan. ‘Tiga ratus ribu…’
            Tanganku bergetar memegang uang yang diberikan oleh bapak. Untuk pertama kali dalam hidup, aku membohongi bapak. Aku memang membutuhkan uang, tapi hanya seratus ribu. Selebihnya aku mengikuti ajakan teman-teman untuk membohongi orang tua kami masing-masing. Nantinya uang ini akan kami gunakan untuk membeli ‘sesuatu’, apa itu, aku sendiri belum tahu.
Aku menatap kertas di gengamanku, ada sesuatu seperti kupu-kupu besar terbang dalam perutku. Terlihat bapak menggantung seragam kerjanya. Deg! Rasanya, mulas. Teramat sangat. Dan, perih.

            Ternyata, cerita yang amat menyentuh dari mulut nenek beberapa tahun silam, tak dapat bertahan lama dalam hatiku. Lagi, untuk kesekian kalinya aku membohongi bapak. Kepercayaan penuh dari bapak, membuat kebohonganku leluasa bergerak. Dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat kebohongan yang tinggi. Bapak sampai harus menjual jam tangan kesayangannya demi memenuhi permintaanku.
 ‘Belajar saja yang rajin. Biar urusan biaya bapak yang pikir.’ Ucapnya sambil menepuk pundakku. Kupu-kupu besar dalam perutku masih saja bergerak, kepakannya terasa menyakitkan kala aku menatap raut lelah di wajah bapak. Namun, ‘sesuatu’ yang diperkenalkan teman-temanku di sekolah membuatku tak mengindahankan rasa mulas dan perih yang semakin menggila.

            Satu tahun. Dua tahun. Tiga tahun. Aku merasa hidup dalam kemunafikan yang menyenangkan sekaligus menyakitkan. Bapak tak penah tahu, anak kebanggaannya yang ia titipkan setangkai bunga harapan, telah membuat layu sebelum sempat ia nikmati keindahannya.
            ‘Kamu lulus juga itu udah bagus. Kamu bisa tunjukkan keberhasilanmu di jenjang kuliah. Semangat!’ bapak mengangkat tangannya yang terkepal, mencoba menguatkanku yang lulus dengan nilai terendah. Aku tersenyum, miris. "Bukan aku," Aku merasa tak pantas mendengar hal itu dari bapak. Meski samar, aku dapat melihat jelas garis-garis kekecewaan yang terlukis di wajah bapak. Kami pulang dengan kediaman yang tak terpecahkan. ‘Semangat itu lebih pantas untukmu, pak.’ batinku.


            ‘Apa yang kamu butuhkan?’ kata itu masih saja berdengung. Kepercayaan bapak sebesar harapan yang tersirat di matanya, ‘Surya, kamu tahukan arti dari namamu?’ tanya bapak di jeda makan malam. Aku memandang bapak, tak mengerti.
‘Matahari.’ kataku ragu. Bapak mengangguk.
            ‘Saat mengandung, ibumu pernah berkata: ‘Aku suka sekali dengan sang surya, salah satu ciptaan Tuhan yang melambangkan keikhlasan. Membagi sinarnya secara merata untuk makhluk di muka bumi. Tak peduli ia dicaci karena intensitas panasnya yang berlebihan maupun pujian karena kehangatannya yang ditunggu-tunggu, ia tetap bersinar tanpa pernah meminta balasan. Aku ingin memiliki sang surya’ perempuan itu, ibumu  selalu membicarakannya. Pagi, siang, malam. Setiap saat,  sampai-sampai aku menghafalnya,’ bapak tertawa kecil mengenang istri yang amat ia cintai.            ‘…ketika kamu lahir, ibumu menukar nafasnya untuk nafas baru yang akan menemani kehidupanku selanjutnya. Yaitu, kamu. Surya. Bapak minta padamu jadilah seperti apa yang ibumu impikan. Kamu mau kan?’ sorot mata bapak menembus genangan di matanya. Dengan rasa bersalah yang amat besar, aku mengiyakan.
Aku akan mencoba, pak. Janjiku.

            Janji tinggallah janji. Kebohongan seakan tak bisa terhentikan dari diriku. Aku benci telah memulainya. Kini, aku berjalan dalam langkah palsu. Menjadi Sang surya. Memberikan sinar pada orang lain, hah, palsu. Justru, sekarang, aku menyerap sinar-sinar kebaikan orang lain dan paling utama bapakku. Memberdayakannya untuk kebutuhan nafsuku sendiri.
            Kuliahku, hancur. Hidupku berada dalam genggaman ‘sesuatu’ yang aku kenal sejak masuk SMA. Aku adalah budaknya. Aku juga pemujanya. Sesuatu yang nikmat. Dan kenikmatan itu amat mahal harganya. Kepercayaan bapak adalah bayarannya.
            ‘Ada yang ingin kamu katakan sama bapak, nak?’
            Banyak, pak.  
            Aku tak berani menyatakannya secara langsung. Hatiku menjerit-jerit murka. Sekali lagi, lidah benar-benar kaku oleh kebenaran. Terlalu banyak kebohongan yang dikecapnya.
            ‘Tidak ada, pak…’
            ‘Kalau ada apa-apa bilang sama bapak, jangan dipendam sendiri, nanti…’ aku menutup telingaku, jangan dimulai, pak. tak ada lagi kata-kata dari mulut bapak yang ingin kudengar ‘Hentikan, pak! Hentikan, berhentilah memberikan kepercayaanmu padaku. Berhentilah menawarkan bantuanmu. Berhentilah menaruh harapan besarmu padaku. Surya mohon, pak… hentikan semua ini. Sebab Surya tak pantas menerima semuanya. Aku mohon, pak…’ hatiku benar-benar murka. Menyayat sendiri daging-daging khianat yang tumbuh di sana.

*

            Uhuk, uhuk!
            Darah. Secepat mungkin ia mencuci tangannya dengan air. Tak ada yang boleh tahu mengenai hal ini. Terutama, sang buah hati. Lelaki itu mengambil seragam yang tergantung lalu mengenakannya. Seragam palsu yang menemani kebohongannya.
            ‘Maafkan bapak, Ya. Membohongimu sekian lama. Tapi, biarlah… semua ini bapak lakukan demi keberhasilanmu, nak.’

            Uhuk, uhuk, uhuk!
            ‘Bapak sakit?’ badan bapak terlihat semakin kurus. ‘bapak nggak usah kerja dulu, nanti Surya yang minta izinkan.’
            Bapak menggeleng cepat. ‘Tidak, nak. Bapak nggak apa-apa. Kamu ada kuliah pagi ini kan?’
            Aku mengangguk. Kupandang punggung bapak hingga hilang di tikungan. Aku menghela nafas. Ponselku berbunyi.
            ‘Halo. Oke, gue ke sana sekarang.’
Aku takkan bisa melepaskannya. Aku butuh itu.

*

            ‘Kenapa?’
            ‘Gue benci badut.’
            ‘Ha, ha, ha… nggak asyik lo! Nikmatin aja dulu. Nanti pas nge-fly, serasa sama badut deh. Ha, ha, ha…’
            Aku memandang jijik badut di seberang meja yang tengah dikerumuni anak-anak. Kenapa juga Hans ngajak ketemuan di tempat seperti ini?

            Uhuk, uhuk, uhuk!

            Aku tersentak. Mataku mencari asal suara batuk yang aku dengar. Suara itu, batuk itu… Di sana! Mataku tertumbuk pada badut yang terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya.
            Aku  bangkit dari duduk. ‘Mau kemana?’ pertanyaan Hans aku abaikan. Aku  terus berjalan mendekati badut yang kini hanya sendiri ditinggalkan oleh anak-anak yang merasa jijik dengan batuknya. Badut di hadapanku masih terus batuk, mulutnya tertutup oleh tangannya. Mataku beradu dengan mata sang badut. Nampak keterkejutan di mata si badut. Ia mencoba berdiri menjauh dariku, namun fisiknya tak kuat lagi menahan rasa sesak yang berdiam dalam tubuhnya.
            Dengan gugup aku membuka topi yang dikenakan si badut. Rambut yang memutih itu, mata itu, batuk itu, semua…
‘Ba, ba, bapak…’ ucapku tertatih. Si badut yang tak lain adalah bapak terdiam sesaat lalu batuk ganas itu menyerang lagi. Cairan merah keluar dari mulutnya. Banyak. Batuk itu terus mengguncang tubuh bapak.
            ‘Bapaaak…. Tolong, bapak saya.’ Aku memeluk tubuh bapak yang terkulai tak berdaya.
‘Maafkan bapak. Surya…’ terdengar suara bapak mengucapkan sesuatu dengan pelan. Seperti sebuah bisikan.

*

            Aku berlari. Terus berlari. Tak kuhiraukan ganasnya guyuran hujan malam ini. Aku tak peduli kilat-kilat yang menyambar. Guntur yang mengamuk. Angin yang mendengus. Bahkan, badai sekalipun terjadi malam ini, aku takkan berhenti tuk terus berlari. Air hujan bagaikan tusukan jarum, menyakitkan. Menembus tulangku. Ngilu. Bibirku membiru. Aku kedinginan.
            ‘Ah, peduli setan! Biarlah hujan ini mencuci semua kotoran-kotoran yang melekat pada tubuhku.’
            Sosok itu muncul kembali. Badut. Bapak. Arghhh…
            ‘Kenapa, pak. Kenapa? Kenapa bapak membiarkan diri bapak ditertawakan demi aku yang tak tahu diri ini. Bertahun-tahun, pak. Aku membenci badut. Dan, bapakku sendiri rela menjadi seorang badut untuk kehidupan anak durhaka ini. Kenapa pak?! Engkau bertingkah konyol di balik seragam badut itu, demi mengumpulkan pundi-pundi uang atas namaku, sementara itu aku terbang melayang melupakan bunga harapan yang engkau titipkan padaku. Engkau berbohong demi diriku dan aku berbohong demi diriku sendiri. Hanya demi aku, mengapa? Mengapa? Hukum aku Tuhan!’

            Teriakanku beradu dengan derasnya suara hujan. Aku jatuh bersimpuh di tengah jalan yang sepi. Meski ada kendaraan yang lewat pun, aku tak peduli. Nyawaku lebih pantas dicabut dibandingkan nyawa bapak. Lelaki itu, bapak, kenapa…?

*

            Namaku Surya. Aku benci badut. Benci sekali. Bukan karena make up yang sebelumnya membuatku jijik. Badut mengingatkanku pada pengkhianatan yang aku lakukan pada kepercayaan bapak, cinta bapak yang ternodai kepalsuan, juga pengorbanan bapak selama bertahun-tahun di balik kostum besar itu demi mewujudkan harapan yang tersemat di dadaku. Menyinari dunia dengan kebaikan. Aku mengubur harapannya. Aku benci badut. Dan Tuhan menghukumku.
            Apakah aku sudah memperkenalkan diriku, betapa aku membenci badut? Yah, Surya sang badut sekarang. Itulah aku.


Cerpen 06 Agustus 2011, 
aku membuatnya setelah menyelesaikan cerpen Rahasia Rista.
Kedua cerpen ini masuk dalam buku antologi FBS UI Tahun 2011
yang bertema "Merajut Kisah Hidup Dalam Kata"

"Aku sedang bertanyatanya, 4tahun berlalu adakah peningkatan dalam kualitas menulisku?"
:(
  

No comments:

Post a Comment