INANIMATE
Bercerita tentangnya sungguh kelu.
Apa yang bisa kuceritakan jika aku sendiri tak tahu. Apalagi semua kesukaannya
seperti yang ingin kau ketahui. Baiklah! Aku memang adiknya. Tapi masalahnya
dia lebih terlihat seperti anak tunggal. Tanpa aku. Membingungkan. Sungguh
jangan suruh aku cerita tentang dia.
*
“Kak, dipanggil
sama ibu.”
Dia menoleh dan
kembali menekuri kediamannya. Dia pergi atau tidak bukan urusanku, yang jelas
aku sudah menyampaikannya.
Aku melihat
panggilan masuk. Kamu lagi, kamu lagi. Aku menekan tombol ok.
“Kita sudah
sepakat. Kamu cari tahu sendiri.” Tanpa basa-basi aku menyemprot.
“Bantu aku Nada,
pliss…’
Kamu tuh… Ah,
berhentilah memasang suara memelas
layaknya tak makan satu minggu. Pertahananku selalu gamang mendengarnya.
“Aku sudah pernah
coba, lihat hasilnya…nihil. Apa lagi?” aku menyerah.
Dari seberang sana
semangatmu menggebu. “Minta padanya tuk bercerita!”
Aku tercekat. Apa?
Gila! Aku matikan panggilan. Kesinilah dan saksikan sendiri bagaimana dia
hidup. Jangan buta sebelum kamu lihat siapa yang kamu cintai. Benda mati.
Telepon genggamku di saku bergetar. I’m
Alive milik Celine Dion mengagetkanku. Membaca nama yang tertera seperti
sebuah musibah. Kamu. “Apa?”
“Sorry, bantu aku
untuk kali ini saja Nad. Kita akan bicarakan ini di rumahmu. Tunggu aku.”
Putus.
Hah, aku belum
mengiyakannya. Bagaimana bisa kamu setertarik itu padanya? Lihatlah! Dia
melintas seperti bayangan. Aku bergidik ngeri.
“Apa lagi?”
“Hobi, makanan
kesukaan, film favorit, cita-cita, nomor sepatu, nomor Hp, hal yang paling
tidak-”
“Hentikan!” mukamu kena sasaran timpukan
boneka Spongebob milikku. “Lama-lama aku bisa gila. Sekarang kamu keluar dan
lihat sendiri bagaimana kakakku. Jika nyalimu besar, tanyakanlah langsung
biodatanya.”
Kamu cemberut. Aku
melengos, capek. “Dia benar-benar tertutup. Aku hanya tahu nama dan tanggal
lahirnya. Itu saja yang bisa kuberikan.”
Kamu menatap tak
percaya. Tak peduli mau percaya atau tidak, itulah kebenarannya. “Kok bisa?”
tanyamu.
Aku mengangkat
bahu. Senyummu berbinar cerah, kerlingan matamu yang nakal menandakan ide gila
tengah memenuhi otakmu yang dipenuhi bayangan wajah kakakku. Cinta, cinta. Harus
ada yang bisa menafsirkannya lebih baik lagi dari kamu. Cinta sama dengan gila.
*
Dia memang tampan.
Postur tubuhnya tinggi. Dilihat dari arah mana saja, selalu nampak… yah,
tampan. Kamu mengucapkannya berulang kali. Jika saja, tampan itu berarti makhluk
hidup, tanpa segan aku akan mengakuinya sebagai kakakku. Tidak seperti ini,
bagai memandang benda tak bernyawa. Diam
memandang langit. Langit juga diam dipandangnya.
Aku menarik nafas
dalam-dalam. Demi kamu, seharusnya aku merekam moment ini dan memperlihatkannya
padamu. Idemu sungguh menakutkan. “Dekatilah dia. Kamu akan menemukan dua
keuntungan: kamu akan mempererat persaudaraanmu, tidakkah kamu ingin itu? Dan,
otomatis kamu tahu informasi tentang dia yang bisa kamu beri tahu padaku.
Bagaimana?”
Aku sedikit tertantang. Harga mahal
untuk melakukan ini.
“Kak,” Aku sampai
di sampingnya. Satu kursi kosong menjadi spasi.
Dia menoleh.
Datar. Tidak mempersilahkan duduk, tidak juga mengusirku. Aku mengumpulkan
keberanian. Duduk.
“Lagi lihat
langit?” Ah, tentu saja, anak umur tiga tahun juga tahu itu. Aku menyadari
kebodohanku sendiri. Aku meliriknya, tak berubah. Tentu saja.
Detik-detik
berlalu. Seperti inikah hidup dalam keheningan?
*
Dan ini, -____- cerpen 5 Juli 2011 Hahhh!
Hellloooooo, ngapain aja gue selama ini, padahal cerpen ini sudah ada endingnya di kepala. Brrr