Thursday, January 29, 2015

Penghuni Draft #2


INANIMATE

Bercerita tentangnya sungguh kelu. Apa yang bisa kuceritakan jika aku sendiri tak tahu. Apalagi semua kesukaannya seperti yang ingin kau ketahui. Baiklah! Aku memang adiknya. Tapi masalahnya dia lebih terlihat seperti anak tunggal. Tanpa aku. Membingungkan. Sungguh jangan suruh aku cerita tentang dia.

*

            “Kak, dipanggil sama ibu.”
            Dia menoleh dan kembali menekuri kediamannya. Dia pergi atau tidak bukan urusanku, yang jelas aku sudah menyampaikannya.
            Aku melihat panggilan masuk. Kamu lagi, kamu lagi. Aku menekan tombol ok.
            “Kita sudah sepakat. Kamu cari tahu sendiri.” Tanpa basa-basi aku menyemprot.
            “Bantu aku Nada, pliss…’
            Kamu tuh… Ah, berhentilah  memasang suara memelas layaknya tak makan satu minggu. Pertahananku selalu gamang mendengarnya.
            “Aku sudah pernah coba, lihat hasilnya…nihil. Apa lagi?” aku menyerah.
            Dari seberang sana semangatmu menggebu. “Minta padanya tuk bercerita!”
            Aku tercekat. Apa? Gila! Aku matikan panggilan. Kesinilah dan saksikan sendiri bagaimana dia hidup. Jangan buta sebelum kamu lihat siapa yang kamu cintai. Benda mati.
Telepon genggamku di saku bergetar. I’m Alive milik Celine Dion mengagetkanku. Membaca nama yang tertera seperti sebuah musibah. Kamu. “Apa?”
            “Sorry, bantu aku untuk kali ini saja Nad. Kita akan bicarakan ini di rumahmu. Tunggu aku.”
            Putus.
            Hah, aku belum mengiyakannya. Bagaimana bisa kamu setertarik itu padanya? Lihatlah! Dia melintas seperti bayangan. Aku bergidik ngeri.

            “Apa lagi?”
            “Hobi, makanan kesukaan, film favorit, cita-cita, nomor sepatu, nomor Hp, hal yang paling tidak-”
             “Hentikan!” mukamu kena sasaran timpukan boneka Spongebob milikku. “Lama-lama aku bisa gila. Sekarang kamu keluar dan lihat sendiri bagaimana kakakku. Jika nyalimu besar, tanyakanlah langsung biodatanya.”
            Kamu cemberut. Aku melengos, capek. “Dia benar-benar tertutup. Aku hanya tahu nama dan tanggal lahirnya. Itu saja yang bisa kuberikan.”
            Kamu menatap tak percaya. Tak peduli mau percaya atau tidak, itulah kebenarannya. “Kok bisa?” tanyamu.
            Aku mengangkat bahu. Senyummu berbinar cerah, kerlingan matamu yang nakal menandakan ide gila tengah memenuhi otakmu yang dipenuhi bayangan wajah kakakku. Cinta, cinta. Harus ada yang bisa menafsirkannya lebih baik lagi dari kamu. Cinta sama dengan gila.

*

            Dia memang tampan. Postur tubuhnya tinggi. Dilihat dari arah mana saja, selalu nampak… yah, tampan. Kamu mengucapkannya berulang kali. Jika saja, tampan itu berarti makhluk hidup, tanpa segan aku akan mengakuinya sebagai kakakku. Tidak seperti ini, bagai  memandang benda tak bernyawa. Diam memandang langit. Langit juga diam dipandangnya.
            Aku menarik nafas dalam-dalam. Demi kamu, seharusnya aku merekam moment ini dan memperlihatkannya padamu. Idemu sungguh menakutkan. “Dekatilah dia. Kamu akan menemukan dua keuntungan: kamu akan mempererat persaudaraanmu, tidakkah kamu ingin itu? Dan, otomatis kamu tahu informasi tentang dia yang bisa kamu beri tahu padaku. Bagaimana?”
Aku sedikit tertantang. Harga mahal untuk melakukan ini.
            “Kak,” Aku sampai di sampingnya. Satu kursi kosong menjadi spasi.
         Dia menoleh. Datar. Tidak mempersilahkan duduk, tidak juga mengusirku. Aku mengumpulkan keberanian. Duduk.
            “Lagi lihat langit?” Ah, tentu saja, anak umur tiga tahun juga tahu itu. Aku menyadari kebodohanku sendiri. Aku meliriknya, tak berubah. Tentu saja.
            Detik-detik berlalu. Seperti inikah hidup dalam keheningan?


*

Dan ini, -____- cerpen 5 Juli 2011 Hahhh!
Hellloooooo, ngapain aja gue selama ini, padahal cerpen ini sudah ada endingnya di kepala. Brrr
            

No comments:

Post a Comment