Tuesday, August 11, 2015

Penghuni Draft #6


OCAN, JANGAN MENYERAH! 


            Kecil. Hitam. Keriting. Ocan. Lengkapnya, Fauzan. Si kancil lampu merah. Tak ada yang istimewa dari pengamen cilik itu. Melirik sekilas, lempar pandangan. Semua orang melakukannya. Debu-debu jalan menjadi pemandangan yang menggiurkan dibandingkan wajah yang diliputi magma hijau di sekitar hidungnya.

            Ryan D’masiv. Ocan selalu menganggap dirinya bak vokalis band papan atas itu. Dari bibir keringnya, kerap keluar kata ‘jangan menyerah’ yang merupakan hits kesukaannya. Jangan tanya bagaimana ia menghayati lagu itu, setiap kata yang terucap ia resapi hingga matanya merem-melek dan tangannya bergoyang mengikuti gaya khas sang idola. Sayangnya, keadaan tak bersahabat, lantaran penghayatan jiwa yang mendalam harus bertolak belakang dengan suara yang diterima para pendengar. Cempreng. Pecah. Intinya, hancur.

            Selamat siang ibu-ibu yang cantik, bapak-bapak yang baik hati. Saya akan menyanyikan satu buah lagu dari D’masiv. Yaitu, jangan menyerah.

            Awal pertemuan.

            …Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Jangan kau sesali, segala yang telah terjadi. Jangan menyerah, jangan menyerah, jangan menyeraaaah. Oh…

            Bocah itu meniru aksi sang idola. Matanya terpejam. Bibirnya monyong tak karuan. Mengikuti alunan suara yang mampu mengalahkan deru mesin. Oh, lucu. Sungguh lucu. Meski, penumpang lainnya acuh tak acuh dan merasa terusik ketenangannya. Tapi, tidak denganku. Penampilannya bagai kutub magnet yang menarikku untuk mengenalnya lebih dalam.

Dia tak biasa. Hatiku bicara.

*

            Mengenal Ocan, mengenal pelangi. Kaki tanpa alas meloncat dari bus satu ke bus lainnya. Dari bahaya satu ke bahaya lainnya.

            “Ocan, udah lama ngamennya?”

            “Dari kecil, Kak.”

            “Emangnya gak sekolah?”

            “Pernah sih, tapi diusir sama bu guru. Abis nunggak terus alias gak bayar-bayar. Hahaha…” Dia tertawa sendiri. Aku turut tersenyum mendengarnya. Beberapa pertanyaan terlontar, Ocan menjawab tanpa beban.

 Ibu sudah tak ada. Ayah pengangguran. Tidur di emperan. Hidup dari hasil ngamen. Ada uang, makan. Tidak ada uang, puasa. Pernah kena razia. Demi menyambung hidup, kembali ke jalan.

Miris. Bocah sekecil ini harus menanggung cobaan yang begitu berat. Di saat bocah seusianya asyik merenda hidup. Pergi sekolah, bermain bersama teman, tidur di tempat yang layak. Tenang merajut masa kanak-kanak. Aman dalam dekapan orang tua. Ocan mendambakannya. Aku tahu itu, meski dia terlihat bahagia dan enjoy melakukan segalanya, tapi tidak dengan matanya. Matanya bercerita tentang kerinduan masa itu. Masa kanak-kanak.

“Ocan, kalau besar mau jadi apa?”

Dia tersenyum simpul.

“Guru! Supaya bisa ngajarin temen-temen Ocan, gratis loh.”

Apa? Guru?! Aku menatapnya. Kesungguhan terlukis disana. Hebat. Bocah ini benar-benar mulia. Aku piker akan mendengar dia menyebut kata penyanyi, tapi tidak, dia lebih memilih menjadi seorang guru. Padahal jelas, dia pernah memilki pengalaman pahit dengannya. Aku membuang pandangan. Siang ini, turun hujan dihatiku.

*
           
            Dia tak ada. Bocah itu. Hampir satu bulan lamanya, kami tak berjumpa. Jujur, aku merasa kehilangan. Suara cemprengnya, gayanya saat menyebutkan kata ‘jangan menyerah’ dimana kata jangan-nya tak terlalu jelas, hanya kata menyerah yang sampai di telinga (terlalu menghayati). Aku tertawa mengingatnya.

          Kemana perginya, Ocan? Si kancil lampu merah. Tanyaku tak pernah terjawab. Dia menghilang bak di telan bumi. Tak ada yang tahu. Tepatnya, tak ada yang peduli. Mataku liar mencari sosoknya di antara pengamen-pengamen cilik yang tersebar di jalan. Nihil.

            Waktu bergulir.

Aku tak tahu kemana lagi aku harus mencarinya.

                                                                              * 

Cerpen 08 Juni 2011, yang sudah lumutan tanpa ada penyelesaian. -_-

No comments:

Post a Comment