Friday, April 3, 2015

Rahasia Rista


picture taken here

RAHASIA RISTA

R-I-S-T-A

Rista. Dia tak butuh formulir untuk mengantri mencalonkan diri jadi Artis-Papan-Atas. Sudah banyak sutradara, mulai dari profesional sampai yang gadungan, kerap kali menawarkan dirinya tuk syuting iklan, sinetron, maupun layar lebar. Menakjubkan. Berita buruknya, kartu nama mereka yang wangi nan luks dilemparkannya  begitu saja ke tempat sampah bersama kartu nama lainnya, seperti slogan ‘buanglah sampah pada tempatnya’. Lamaran ditolakSepertinya, Jaya Suprana perlu mencantumkan nama perempuan itu di Rekor MURI sebagai perempuan biasa yang terbanyak menolak rejeki.

Takkan ada yang percaya dia melakukan itu semua. Kecuali, seseorang. Perempuan lain yang selalu berada di dekat Rista. Saksi hidup yang bernafas, menyaksikan kejadian itu langsung di depan matanya. Ditelanlah bulat-bulat ludah yang menyangkut di tenggorokannya, tatkala satu per satu orang penting itu pulang dengan tangan kosong dan kepala geleng-geleng.

Mereka pasti tak habis pikir dengan perempuan ajaib ini, ribuan orang berusaha mempoles, mengutak-atik, me-reparasi wajah dan penampilan demi mewujudkan impian jadi artis, tapi, makhluk satu ini: Rista, yang hanya perlu menerima fakta bahwa dia cantik, bukan, teramat cantik tanpa polesan bedak dan gincu sekalipun justru melepaskan kesempatan besar itu. Mempersilahkan terbang burung langka yang terjerat di genggamannya. Bukan terlepas. Dilepas!

‘Kamu udah gak waras, yah?’

Jangan salahkan Perempuan itu bertanya sakartis. Karena Rista baru saja memulangkan Pak Shindu, sutradara kawakan keturunan India yang datang untuk kelima kalinya lantaran capek menungu telepon dari Rista yang tak kunjung berdengung. Maklum, Rista sudah diincarnya berbulan-bulan yang lalu takut kalau ada saingannya yang berhasil mendapatkan ‘tambang emasnya’.

Sutradara itu seharusnya tahu, teleponnya memang tak akan berdering, sebab Rista memutuskan untuk melupakan orang-orang yang datang macam Pak Shindu, setelah mereka melangkahkan kaki keluar dari rumah, maka mereka adalah angin yang berlalu. Akhirnya, lagi, lelaki itu pulang dengan gelengan aca-acanya. Impossible. Apakah si India itu akan menyerah?

Jika bujukan satu ‘M’ saja ditolaknya, berapa sebenarnya harga yang dipatok Rista. Atau, rumah produksi mana yang ditunggunya datang melamar. Atau, jangan-jangan dia benar-benar tak waras. Atau… Ah, terlalu banyak ‘atau’ yang akan membuat ‘kemungkinan’ bermutasi dan semakin memusingkan perempuan itu.

Sayangnya, Rista  tak peduli. Tutup pintu, lupakan semua.

Sulit menggambarkan jalan pikiran Rista. Apa yang dipikirkannya, hanyalah konsumsinya sendiri, bacalah jika kamu menemukan celah di sana. Yang jelas, perempuan itu yang dua puluh tahun bersamanya saja tak cukup mengerti, terbuat dari apa orbit pikiran Rista sehingga yang beredar di kepalanya hanyalah tidak, tidak, dan tidak.
‘Cobalah dulu, Ta. Kamu tidak akan rugi meski hanya mencoba.’
‘Seperti mencoba obat?’
‘Bukan seperti itu. Berhentilah bersikap apatis, kamu tahu sendiri berapa kesempatan yang telah kamu buang sia-sia. Sia-sia!’
‘Kalau menurutmu sia-sia, mengapa tak kamu pungut saja?’

Pembicaraan berakhir. Rista menyumbangkan waktu sepuluh menit untuk sekedar minum air dingin, pipis dan mengobrol singkat dengan perempuan itu yang hanya kebagian satu menit, itu pun tak cukup. Dia mengunci kamar seperti mengunci dirinya dari dunia luar.
Sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya sejak kelulusan SMA, di acara penamatan Rista adalah cerita di antara lelaki yang diam-diam maupun terang-terangan menyukainya, teman-temannya, juga sutradara yang sempat melihatnya di acara besar itu (Pak Kepsek mengundangnya sebagai kawan lama). Rista yang berperan sebagai Juliet adalah ratu malam itu.
Betapa cantiknya Rista, pindah dari satu mulut ke mulut lainnya. Daru satu lelaki ke lelaki lainnya. Dari satu sutradara ke sutradara lainnya.
Namun, ada yang aneh pada Rista, justru di saat namanya mulai berkembang bak jamur di musim hujan, dia malah masuk dalam sebuah kotak, lalu menguncinya rapat-rapat. Tak ingin keluar. Atau, mungkin tak akan keluar.
Kotak itu adalah dirinya sendiri. Dan kuncinya, juga dirinya sendiri.


*

            J-U-N-I
           
            Perempuan itu kehabisan akal, berbagai cara ia lakukan untuk membujuk Rista menerima tawaran-tawaran menggiurkan yang datang silih berganti. Tapi, ia gagal.
            Juni berandai-andai, kalau saja ia adalah Rista, semuanya akan terlihat lebih mudah. Tak ada rutinitas pergi ke salon untuk ‘mempercatik wajah’ karena memang tak ada yang perlu dipercantik. Tidak ada kartu nama yang terbuang. Tidak ada yang harus kecewa dan pulang dengan tangan hampa, karena ia takkan menolak tawaran-tawaran itu. Ia akan menandatangani kertas kontrak, lalu memulai hidup baru sebagai artis yang dikenal banyak orang.
            Uff!
Juni menghela nafas. Sayangnya, aku bukan Rista. Ucapnya pelan. ‘Aku adalah Juni, sampai kapan pun akan seperti ini. Wajah yang tak cantik, tubuh yang pendek, juga suara sengau seperti orang flu yang keluar dari mulutku. Semuanya, seperti langit dan bumi.’
            Perempuan itu memandang gelas di tangannya. Dan menggumam.
            ‘Satu-satunya yang membuatku lebih adalah sesuatu yang tak terlihat, tersimpan di dalam batok kepalaku. Pintar. Tapi apa untungnya?’

*
           
            Rista memohon dan memelas, matanya penuh ketakutan menatap puluhan burung gagak yang hitam menyerbu ke arahnya. Koakan makhluk hitam itu bagai gemuruh badai yang menusuk telinga.
Tolong… Rista masih mencobanya. Namun, tak ada yang keluar dari mulutnya selain gerakan yang tak berarti apa-apa. Dia pasrah ketika gerombolan burung gagak itu mencabik-cabik tubuhnya. Ada merah di antara hitam. Lalu, putih. Kembali, hitam.

Arghhh…!
Rista berteriak, nafasnya terengah-engah, butiran keringat sebesar biji jagung bergulir di sekujur tubuhnya.
Matanya mengerjap memperhatikan sekitar. Tak ada panggung, tak ada jejeran kursi, tak ada koakan yang menyeramkan, dan terpenting… tak ada gerombolan burung gagak yang mencabik-cabik tubuhnya.
Semua hanya mimpi. Mimpi buruk.
Mimpi itu, kembali hadir dalam tidurnya. Mimpi yang sama, yang selama tiga tahun menghantuinya. Mimpi yang telah merebut kedamaian tidur dan hidupnya.
Rista mengatur nafas. Matanya yang merah, kini dipenuhi genangan yang memanas. Dia tak kuat lagi menahan perasaan ini lebih lama lagi. Air mata mulai berjatuhan, dia terisak sendiri, menangis sendiri. Menanggung semua deritanya sendiri. Dia ingin membaginya, dia ingin menceritakannya, dia ingin melepasnya. Dia ingin melakukan itu semua.
Tapi, dia tak bisa. Dia takkan pernah bisa. Mimpi buruk itu hanya untuk dirinya saja. Sendiri.
Ibu… tolong aku.

*

Pintu kulkas tertutup.
Rista meminum segelas air dingin dalam tiga kali tegukan. Rambutnya kusut, wajahnya pucat, dan lingkaran hitam di matanya terlihat semakin jelas. Mengapa penampilannya sangat berantakan? Juni tak bisa mengalihkan matanya dari sosok Rista.
Rista menaruh gelas di meja. Dia pasti langsung kembali menuju kamarnya. Tebak Juni. Tapi, tebakannya salah, Rista berjalan menuju ke arahnya yang berkutat dengan kumpulan buku-buku tebal. Juni tengah mengerjakan tugas kuliahnya. Dia duduk di sofa.
Sepi.
Ada tugas?’
Juni mengangguk tanpa bisa menutupi keheranannya. Sejak kapan Rista memulai pembicaraan. Tiga tahun mengurung diri. Bicara sesekali, itupun jika ditanya lebih dulu.
            ‘Kamu sakit?’
            Rista menggeleng pelan.
            ‘Tunggu,  aku beliin obat.’
            Juni memaksa. Perempuan itu baru saja ingin bangkit. Tapi, tangan Rista menahannya. ‘Nggak perlu. Kamu lanjutin saja tugasmu.’
            Juni urung, dia kembali melanjutkan kesibukannya. Membiarkan Rista dalam dunianya sendiri. Diliriknya Rista yang menatap kosong ke depan. Selalu seperti itu. Juni tak ingin mengganggunya.

            Juni tak menyadari, mata Rista tak lagi kosong, melainkan tengah memperhatikannya. Sambil memeluk kakinya yang ditekuk, pandangannya lekat pada kesibukan Juni yang duduk di lantai berjibaku dengan buku-buku.
            Seharusnya aku seperti itu sekarang. Hati Rista menggumamkan sesuatu. ‘Bagaimana rasanya menjadi anak kuliahan, Jun? Bertemu teman baru, suasana baru, pelajaran baru. Kita tak lagi memanggil pak guru tapi ‘pak dosen’, tak harus memakai seragam juga sepatu hitam yang sama dengan teman-teman. Sangat menyenangkan pasti.’
            Juni tak menjawabnya. Karena pertanyaan Rista hanya ada dalam hatinya. Dia hanya ingin bicara pada dirinya sendiri.
            Juni menoleh ingin melihat keadaan Rista sekali lagi. Tak disangka, yang ia dapati adalah air mata yang mengalir di pipi Rista, lalu buru-buru menghapusnya dan  bangkit meninggalkan Juni yang diam tak mengerti.
Bagaimana ia bisa mengerti jika Rista tak pernah mengatakan apa yang dirasakannya?  Alasan apa yang membuat dia memutuskan untuk tak melanjutkan kuliah? Mengapa dia menjadi seperti ini?
Juni benar-benar tak mengerti.

*

            ‘Aku mohon, Ta. Terimalah tawaran Pak Shindu. Kalau tidak kita akan diusir dari rumah ini. Aku capek bekerja siang-malam, toh, tak juga menutupi semuanya. Aku tak sanggup lagi. Kuliahku terancam, Ta. Aku mohon.’
            Rista diam.
            ‘Aku nggak mengerti sama kamu, Ta. Kalau ibu masih ada, dia juga pasti tak mengerti dengan anak kesayangannya yang tiba-tiba menutup diri, melebihi rasa bingungnya terhadap ayah yang meninggalkan kita. Kamu kenapa sih, Ta. Sebagai seorang kakak seharusnya kamu membimbingku. Bukan seperti ini.’
            Rista masih diam.
            Haruskah aku menjelaskannya pada Juni sekarang? Ibu, mengapa pergi secepat ini. Aku hanya ingin menceritakan semuanya padamu. Maafkan aku ibu, aku tak bisa menjadi kakak yang baik untuk Juni. Ibu…
            Rista mulai terisak. Beban itu sungguh berat, ditambah lagi semua perkataan Juni. Adiknya selama ini sudah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Karena tak ada yang bisa dilakukannya. Bahkan untuk sekedar selangkah keluar dari pintu rumah dia tak sanggup.
            ‘Ta, ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi sama kamu?’ Juni terhenyak melihat Rista sesenggukan sambil menahan getaran tubuhnya. Rista menangis lagi. Harus ada alasan mengapa tangis itu begitu memilukan.
            ‘Apa karena kata-kataku tadi. Aku minta maaf, Ta. Seharusnya aku menahan diriku untuk tak berbicara seperti itu.’ Juni merasa bersalah.
            ‘Tidak, Juni. Aku yang salah. Aku yang seharusnya minta maaf, aku tak menceritakannya padamu malah memilih menyimpan semuanya sendiri. Tapi sekarang aku benar-benar tak sanggup. Aku tak bisa menahannya lagi sendiri.dan, hanya kamu yang ada di sisiku, seharusnya aku cerita padamu…’
            Juni tak mengerti apa yang terjadi, dari tadi Rista mengucapkan kata ‘cerita- cerita’ Rista menyimpan sesuatu, dan tak ada yang tahu selain dirinya sendiri. Tapi cerita apa?
            ‘Ada apa, kak? Ceritakan semuanya pada Juni.’
            Rista membuka kembali cerita yang telah dikuburnya dalam-dalam selama tiga tahun. Cerita yang berubah menjadi mimpi buruk, bayang-bayang yang menghantui setiap gerak-geriknya. Bayangan yang membuat luka teramat dalam sampai dia sendiri lupa bahwa dia masih bisa melanjutkan hidup setelah apa yang terjadi padanya.
            Juni menutup mulutnya. Cerita yang mengalir dari mulut Rista menjawab segalanya.
            Apa yang telah aku lakukan, memintanya untuk menjadi artis, menampilkan kecantikan yang justru telah merenggut kehidupannya. Juni memeluk Rista.
            ‘Mengapa kamu memendamnya sendiri, kak?’

*

            Hari itu, malam setelah acara perpisahan di sekolah. Kamu ingat kan, Ni. Di panggung itu, di sanalah semuanya bermula. Mereka mengajakku ke sana, aku ikut saja tanpa menaruh curiga sedikit pun, bagiku itu hanya sebuah kejutan kecil sebelum akhirnya kita berpisah.
            Tapi aku salah, Ni. Mereka merencanakan sesuatu, aku tak mengerti mengapa hanya ada aku perempuan sendiri. Kemana yang lainnya? Pertanyaanku dijawab dengan tawa mereka. Tawa yang berubah menjadi seringai yang menjijikkan. Juga kata ‘cantik’ yang mereka ucapkan berkali-kali.
            Mereka tak memberiku kesempatan untuk memohon, aula yang sunyi menjadi saksi bisu kejadiaan naas itu.
            Mereka yang kuanggap sebagai teman baik, memperlakukanku sebagai barang. Merenggut kehormatanku secara bergiliran. Mereka. Yah, mereka, aku sendiri tak tahu seberapa banyak jumlah ‘mereka’. Yang aku tahu, mereka meninggalkanku seperti seonggok daging yang tak berdaya di atas ‘meja besar’ hingga pagi menjelang.
            Aku tak menangis. Karena aku tak tahu apakah air mata bisa mengembalikan segalanya seperti sedia kala. Aku berharap aku mati saja. Menyusul ibu. Agar mimpi buruk ini hilang. Tapi lihatlah, aku mencoba bertahan.
            Terkadang aku berpikir, apakah jika aku tak memiliki wajah seperti ini, semuanya takkan terjadi padaku?

            Jangan pernah berharap menjadi diriku, Ni.

*

Cerpen 06 Agustus 2011. 
Salah satu cerpen yang bisa diselesaikan. 
Dimuat dlm buku antologi FBS UI tahun 2011 dengan judul 'Jika Aku Tak Cantik'
Ahahaha masih banyak yang perlu diperbaiki, masih abal-abal dan jauh dari bagus. -_- 


4 comments:

  1. Rahasia Rista. Jika Aku Tak Cantik. Tp yg muncul di ingatanku malah Dua Wanita Dua Cerita. Ckckck. .. Ini De Javu, fatamorgana, atau pemikunan dini. -,- Hahaha :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ohiya amm... kamu benar! -_- Berarti yang saya ingat judul pertama kali dibuatnya... judulx Jika Aku Tak Cantik. Di antologi kuganti jadi Dua Wanita Dua Cerita. Di blog kuganti jd Rahasia Rista karena judul pertamanya kuingak...dan nda catchy sama sekali. -__-

      Terima kasih sdh mengingatkan, dek. Dan alhamdulillah adaji yang ingat pae wkkwkwk Maklum udah berumur *eh :D

      Delete
  2. Terima kasih, Wa. I know what you mean :))

    ReplyDelete