Sunday, August 26, 2012

(Pro)maag

Ketika maag melanda, sejak saya masih di bangku SD, mama dan bapak adalah pasangan dokter-suster paling hebat. Paling kompak. Kompak menasehati juga memarahi. :) Bersahabat dengan maag, saya pun tak menginginkannya. Tapi, tidak jua ada usaha saya untuk memperbaiki pola makan.

Saat SD, mungkin kelas 4 atau 5 (sudah lama sekali) untuk pertama kali saya kena maag. Bukan karena makan yang pedis-pedis, tapi saya hanya enggan makan jika memang tidak lapar. Kalau seharian saya tidak merasa lapar maka seharian full saya tidak menyentuh nasi. Hanya jajanan dan air minum. Malah, minum pun saya sedikit sekali. Ckckck

Jika boleh saya mengenang, banyak kali kebersamaan saya tercatat bersama mama dan bapak karena urusan penyakit ini.

Awalnya, mama mengingatkan untuk makan. Jawaban saya, "Nanti, ma. Belum lapar." Mama membalas, "Kalo masuk waktu makan, biar tidak lapar yah makan saja. Sedikit juga tidak apa-apa yang penting ada makanan masuk." But, saya suka ngeyel dan mengindahkan pesan mama. Akhirnya, di malam-malam sepi saya mengeluh kesakitan, menekan perut, memanggil mama, dan menangis sejadi-jadinya. 
Selanjutnya cerita beralih ke mama, beliau akan datang menghampiri, menekan perut dengan lembut, bertanya bagian mana yang sakit, mengambil promaag dan air minum serta menyediakan air hangat dalam botol untuk menghangatkan perut saya. 
Berikutnya, cerita disambung oleh bapak. Bapak gantian menekan perut saya sambil membacakan ayat-ayat suci dalam hati, meminta saya beristighfar, sedang mama memijat telapak kaki saya yang katanya di situlah pusatnya dalam ilmu refleksi. 
Sayangnya, saya terlalu rewel untuk mencoba menahan rasa sakit ini. Maka mama yang merasa kasihan melihat saya menderita, meminta bapak untuk mengantar saya ke dokter praktek, namanya Pak Sunu, penyakit ini otomatis mendekatkan kami. Di malam buta, kami mengetuk pintu yang sama untuk kesekian kalinya dan Pak Sunu seakan sudah mengerti banyak, tanpa banyak tanya dia langsung meelakukan apa yang seharusnya dilakukan. Uff, semua berujung pada satu suntikan.

"Besok-besok malas makan lagi ajha. Kalau kambuh maagnya, jangan panggil mama atau bapak." Pungkas bapak. Saya diam merenungi diri. Sayangnya, saya belum jua sadar. hehe

Bayangkan saja, berapa banyak dosa saya perbuat, mengindahkan nasihatnya bertahun-tahun! Baiklah, Tuhan menegur saya. 'Maag' bersanding dengan kata 'akut'. :( Oalah, penyakit ini bermutasi menjadi sangat menakutkan. Jika satu waktu makan saja saya tinggalkan, maka tunggulah dia akan datang menyerang hingga ke punggung belakang dan itulah saat-saat paling menyakitkan. Setiap bulan puasa saya kantongi satu pak promaag sampai-sampai perut saya menolaknya.

#

Sebenarnya, saya tidak suka maag. Hanya saja, saya sangat sangat suka ketika mama-bapak merawat saya. Mereka seakan-akan memusatkan perhatiannya hanya pada saya, ibarat kata saya curi waktu mereka untuk berada di sisi saya. 

Bukan, saya bukan anak yang kekurangan kasih-sayang untuk kemudian saya sengaja memiliki 'maag' berharap mama dan bapak lebih care. Semuanya berjalan alami. Jikalau saya tak dipedulikan, tak apa juga, karena memang semuanya berawal dari 'keapatisan' saya terhadap kesehatan diri sendiri.

#

Hari ini, maag saya kambuh lagi. Sakit. Sangat menyakitkan. Keadaan memaksa saya untuk menahannya, bersikap sewajarnya, mengatur  hembusan nafas yang berantakan, dan menyelesaikan tugas rapat.

Mama, bapak, saya puas menangis tadi. Sedikit air mata untuk rasa sakit ini, selebihnya kenangan bersama kalian melewati penyakit ini lah yang membuat hati saya sesak. Kesakitan ini saya lewati sendiri. Tidak pada siapa-siapa saya membaginya. 

#

Saya  akan benar-benar pro dengan maag, jika mama dan bapak ada di sisi saya. Saat ini, sangat tidak pro-maag. :(




2 comments:

  1. kontra-maag lbh enak


    ededeh...ini blog ada verfikasi kata-nya utk komentar. merepotkan saja

    ReplyDelete