SIGNAL
Oleh:
Aisyah Istiqomah M*
Saya tidak bodoh. Saya tahu semua tanda yang
kamu kirimkan lewat bahasa mata, cinta.
Saya bodoh. Saya tidak tahu cara menerima
atau menolak kiriman itu.
“Tiap kita adalah
pembaca.” Ayah memulai petuah. Kunci untuk menjadi pembaca yang baik adalah
kerendahan hati, nak. Delapan tahun silam, Ayah banyak cerita tentang
kegiatan ‘membaca’ kehidupan. Gunung, sawah, jalan raya, gempa, hujan, sinar
matahari, bau basah tanah, dan segala yang ada di alam ini (menurutnya) adalah
objek baca yang terhebat. Kala itu, Ulfa hanyalah anak SMP yang gerah ingin
segera melepas mukenah dan menghambur ke depan televisi. Baginya,
membaca adalah mengeja kalimat-kalimat yang tertulis di buku. Itu saja.
Hari ini datang.
Ulfa bersikeras menerobos petak-petak memori untuk menemukan kembali sejumput
nasihat Ayah. Selain kopiah hitam, sarung kotak-kotak hijau, sinetron
favoritnya, juga dengungan nyamuk, tidak ada yang mampu diingatnya lagi. Dia
meraba dalam kesamaran, pernahkah Ayah membahas tentang aplikasi setelah
‘membaca’? Adakah di antara kumandang adzan Ayah menjelaskan kepadanya
menghadapi situasi ini? Ah! Ulfa menahan dadanya yang terasa sesak. Dia ingin
bertemu Ayah sekali lagi dan bertanya, “Aku
membaca tanda dalam bahasa matanya, Ayah. Apa yang harus aku lakukan kemudian?”
Ini bukan tentang luapan
banjir yang mengisyaratkan kemarahan alam, ini tentang sebuah perasaan. Ketika
engkau mampu membaca bahasa mata seseorang, lalu engkau menemukan cinta, lantas
apa yang harus diperbuat selanjutnya?
#
“Aku tak memiliki
jawabannya, Wa."
Beberapa detik
berlalu sunyi.
“Apa yang harus
dijawab, Fa. Bukankah tidak pernah ada pertanyaan?” Memecah sepi yang
membekukan, membuat Wawa hati-hati berkata.
Tidak ada
pertanyaan, Ulfa tersentak oleh jawaban sahabatnya. Yah, bukankah selama
ini dirinya hanya membaca. Mengeja semua isyarat yang dengan bebas dia
tafsirkan sendiri. Pada Wawa, dirinya, juga pada Tuhan dia deklarasikan itu
adalah: Cinta.
Ah, keyakinanku
terlalu besar untuk menyimpulkannya.
Wawa menggenggam
tangan Ulfa, “Kamu terjebak dalam spekulasi, Fa. Seperti bunga api di simpan
dalam tempurung kepala. Meledak-ledak. Tak pernah padam. Berhati-hatilah Fa,
ini akan menyakitimu kelak…”
Ulfa terdiam.
Kumpulan detik menggumpal dalam kehampaan. Ada yang berteriak di tempat
tersembunyi, Menggema. Ulfa kadung percaya pada keyakinannya. Juga teriakan
hatinya sendiri.
Ini cinta!
#
Perempuan
terkadang sibuk dengan perasaannya sendiri. Suara Nia mengulang tanpa
diminta, membuat Ulfa memarahi seluruh komponen tubuhnya yang selalu saja salah
mengerjakan sesuatu hari ini. Ada yang tak sinkron. Ada yang tak balance.
Bahkan gurauan Nia yang tidak ditujukan untuknya begitu tajam mengiris.
Ada apa ini?
#
Angin menderu. Menerbangkan rok.
Memainkan jilbab putih. Burung-burung berkicau. Langit cerah pada pukul tujuh
pagi. Seperti ada yang menarik langkahnya untuk melaju ke halte yang
sempat dihindarinya beberapa hari belakangan, Ulfa menangkap sesosok dari
kejauhan.
Tinggal beberapa depa mereka bertemu.
Laksana kilat, pikiran Ulfa dipenuhi ‘hasil bacanya’ selama ini. Mata lelaki
itu, senyum, suara, laku, tawa, sejak hari Ulfa melanggar rambu-rambu
pandangannya, menjadi satu bahasa: cinta. Dan detik ini, Ulfa justru memilih
berbalik lantas bergegas pergi. Dia menyadari sesuatu. Namun terlambat. . .
“Fa!” seru seseorang memberhentikan
langkahnya.
Lalu lalang pejalan kaki, arus
kendaraan yang mulai ramai, obrolan sepintas pemuda-pemudi, mengaburkan debar
jantungnya. Ulfa meremas ujung jilbab. Ayah…
“Iya, Fir.”
suaranya tercekat di kerongkongan. Bersikaplah sewajarnya, Fa. Rutuknya
sambil mengibaskan kepala.
“Kamu sakit?”
“Tidak. Ada perlu
apa yah?”
“Saya pikir kamu
mau nunggu angkot di halte itu, tapi kok malah pergi? Haha…” tunjuk Zafir sambil
meninggalkan tawa hambar di ujung kalimat. Ulfa mencoba tersenyum, “Eh, saya
melupakan sesuatu.” terpaksa dia berbohong.
Oh.
Satu kata dari
Zafir menyublim kegelisahan. “Ada lagi?” tanya Ulfa. Tidak ada. Hatinya
menjawab sendiri pertanyaan yang seharusnya tak dilontarkan, ayolah buat
spasi sejauh mungkin Fa.
Sepucuk surat
tersodor di hadapan Ulfa. “Ini memang cara klasik, Fa. Namun ini yang terbaik.”
Zafir segera menyetop angkot dan masuk ke dalam. Meninggalkan Ulfa. Juga
sepucuk surat.
#
Ulfa menghitung
detik. Apa yang harus aku lakukan, Ayah? Sepertimu aku telah membaca, namun benarkah
ada yang salah dengan objek bacaku. Atau cara membacaku. Dimana letak
kekeliruan itu, Tuhan?
“Aku
tidak memiliki jawabannya, Fa.”
“Mungkin
aku akan sepertimu, Wa. Entah ketika pertanyaan itu ada atau tidak.”
Ulfa
menutup pintu kamar. Meninggalkan Wawa. Juga sepucuk surat.
#Cerpen ini terinspirasi dari buku
“Berjuta Rasanya” karya Tere Liye. Mari membaca dengan kerendahan hati. Salam
Autumn.
*Ketua
FLP Cab. Maros
Banyak yang tidak mengerti cerpen ini.
ReplyDeleteKesalahan terletak dimana yah?
Tolong commentnya..agar saya bisa memperbaiki dan menulis lebih baik lagi.
ketidak mengertian itu tergantung sudut pandang.
ReplyDeleteA.I.M keren....
salam autumn
Sepertinya semua org tdk menangkap bahwa sebenarx Zafir sukax ke Wawa. Semua menanggap, bahwa Zafir itu hanya dingin dan bungkam
ReplyDelete