"...Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur” (Al-Baqarah : 185)
Menjumpa Ramadhan, sejak bisa merasakan gegap-gempita kemuliaannya (di mata anak-anak) barulah sebatas "puasa-puasaan": jika tidak kuat memaksa buka, merengek diizinkan puasa setengah hari, minum diam-diam, buka diam-diam, bersandiwara bagai anak Eutopia di depan orang tua, berlama-lama merendam diri, berselimut dalam tameng 'tidur adalah ibadah', menagih janji uang jika sudah buka, bersafari jajanan di tengah-tengah tarawih yang berlangsung. Bermain petasan. Menghitung baju baru yang nanti dikenakan. Dan terulang-ulang. Parah!
Namun,
Ada yang berubah. Seperti daun yang menguning lalu gugur. Ada yang bertambah. Seiring pergantian siang dan malam yang melebur. Bersaling-silang. Benarlah kata-kata bijak di kaki kehidupan, "Waktu dan pengalaman akan mendewasakan."
Menjumpa Ramadhan, kini mulai mengerti arti kesuciannya. Kegembiraan bertemu bukan lagi terletak pada iming-imingan uang seharga bakso satu mangkuk atau ragam makanan khas bulan puasa. Tapi satu kerinduan yang sangat mahal harganya. Jauh hari menyesap ketenangannya, mendamba keagungannya, lalu mulai merancang kegiatan untuk mengisi bulan penuh berkah ini dengan banyak harapan. Semoga ini. Semoga itu. Sebab yang Tuhan janjikan Maha Benar adanya.
Menikmati saat-saat lapar dan haus. Menekan amarah. Mengasihi sesama. Mengatur prasangka. Mencoba 'meluruskan' segala laku dan kata yang selama ini masih salah. Terbingkai atas satu nama: TAQWA
Perasaan-perasaan ini, amat jarang kita temui. Keistimewaan yang langka. Selangka satu malam, yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Di penghujung ramadhan, di malam-malam ganjil, di sepertiga malam... di sanalah kita mencarinya. Tenggelam di lautan sabda-sabdaNya. Dalam sujud tuma'ninah. Serangkai lirih-lirih doa.
Ada yang bertasbih di langit-langit bertingkat. Ada yang berdzikir di bumi berlapis-lapis. Angin menenangkan. Pepohonan takzim menunduk. Berbahagialah saat menyapa pagi, seperti kedamaian terlahir kembali.
Sungguh ada yang berbeda bukan? Ramadhan lalu dan kini. Percayalah... esok akan jauh berbeda. Mengikuti rotasi bumi. Pun, revolusi matahari. Melepas kerinduan dengan kerinduan, semoga menjumpa ramadhan lagi. Jika Allah menghendaki. Aamiin.
~Minal Aidin Walfaidzin. Taqabbalallahu minna wa minkum.~
Pada Allah SWT kami bersaksi, maaf-memaafkan ikhlas kami jalani.
#
Salam Autumn, semoga kita adalah orang-orang yang kembali pada kemenangan.
Jempol :)
ReplyDeleteMaaf lahir batin nah:)
Sama-sama. Saya juga sudah berkunjung ke blogta...walau tidak pernah meninggalkan jejak.
ReplyDeleteTeruslah menulis.
Menulis adalah pergulatan hidup dalam intinya yang terdalam. Semacam upaya untuk menemukan identitas kita yang paling orisinal. Begitulah mantra, Shindunata. :)
Maaf lahir batin jg.
karya yang menyejukka batin, seakan ingin berlari mengejar tinta-tinta bekas yang kau gunakan untuk kupelajari tulisan itu
ReplyDeleteTrm ksh :)
ReplyDelete