Kaki Waktu, karya kak Reni Purnama |
Saturday, May 19, 2012
Prasasti Sol
Dia percaya pada jarum, tasi, semir, serta kotak yang setia
menggantung di leher. Bersahabat pada matahari, hujan, dan malam.
Bercengkrama dengan peluh. Berkemul dengan deru dan debu. Bergulat
dengan waktu. Yah, dia percaya.
“Mbung! Berhentilah tersenyum, urus dulu perut kita.”
Lelaki yang menginjak remaja itu terus berjalan, tak memperdulikan
seseorang yang tertinggal jauh di belakang. Ia tersenyum atas perintah
temannya untuk berhenti tersenyum. Lucu. Adakah larangan bagi orang yang
kelaparan untuk tersenyum?
“Woi, gue udah
nggak kuat lagi nih. Laper!” Ucap lelaki bertubuh gempal setelah
berhasil men-sejajarkan langkahnya dengan Mbung. Nafasnya tersengal.
Kotak yang tergantung di lehernya naik turun mengikuti ritme nafasnya.
Mbung melirik sekilas, ia tak meragukannya. “Abang punya uang buat beli makanan?” ucapnya sambil terus berjalan.
Tidak ada jawaban. Hanya ada gelengan lemah tak bersemangat.
“Kalau begitu, yang perlu kita lakukan adalah terus berjalan dan
berusaha untuk mendapatkan pelanggan, bang. Dan satu lagi…” ia berhenti
kemudian berbalik ke arah lelaki tambun yang kini kembali tertinggal.
“mengeluh tidak akan pernah membuat kita kenyang, kawan.”
Mbrot, lelaki itu terdiam. Perlahan senyum mengembang menggantikan
wajah masamnya. Ia memandang punggung Mbung yang basah oleh keringat.
Punggung yang seharusnya memangku tas sekolah seperti remaja lainnya.
Bukan punggung yang bercokol di atasnya beribu macam tanggungan. Mulai
dari ayahnya yang terbaring tak berdaya karna stroke, ibu yang
menjadi kuli cuci, juga beberapa adiknya yang tertatih mengenyam
pendidikan. Dialah tulang punggung keluarga. Yah, anak muda itu.
Mbung, mbung, tetaplah tersenyum. Lelaki itu berbisik diantara gemuruh teriakan ‘sol sepatu’ dari Mbung yang terus berjalan dengan senyuman.
“Kawan, lu udah gila yah?” Mbrot heran melihat kelakuan Mbung yang
menggali tanah, kemudian memasukkan sepatu mereka yang sudah hancur dan
tidak layak pakai ke dalamnya. Lalu menguburnya.
Seperti biasa, Mbung menanggapi dengan senyum. Ia mengangkat sebongkah
batu kemudian menindih gundukan tanah di hadapannya. Ia merogoh saku,
mengeluarkan sebuah paku. Mbrot penasaran dengan apa yang akan diperbuat
teman ajaibnya. Ternyata, dengan paku itu Mbung menggoreskan nama
mereka di atas batu. Mbung-Mbrot. Dan di atasnya tertulis besar-besar.
PRASASTI SOL.
Selesai.
Ia mengelap peluh
yang menggantung di hidungnya. Lalu menepuk-nepuk kedua tangannya.
Sisa-sisa tanah berguguran dan sebagian lagi terbang dibawa angin yang
berhembus.
Mereka saling pandang. Mbung tertawa melihat
kerutan-kerutan yang nampak di dahi teman sekaligus kakak baginya. Tanpa
diminta ia menjelaskan arti dari perbuatannya.
“Kalau selama ini
prasasti adalah saksi dari sejarah yang berlangsung di zamannya. Maka
sejak ujung paku menggores batu, inilah saksi kita bang. Bahwa kita
pernah hidup dalam sebuah kemiskinan. Dan kita baru saja menguburnya.
Kita
tak kan terjebak di dalamnya, apalagi menyerah. Kita masih boleh dan
harus bermimpi. Suatu saat, kita akan menggapainya. Meski harus
bertarung dengan tahun sekalipun. Parasti sol. Inilah prasasti kita.”
Ajaib!
Semangat itu. Senyum itu. Tuhan…
Mbrot malu. Usianya yang jauh di atas Mbung, tidak sedikitpun mencerminkan kedewasaan. Tidak pernah bermimpi dan tak sanggup memikirkannya. Yang diyakininya adalah: apa yang dimakan hari ini dan besok bisa makan atau nggak. Hanya itu.
Kekagumannya bertambah. Pada Mbung. Anak muda yang tersesat. Ia
menamainya seperti itu. Jalanan bukan tempat yang baik untuk anak
seistimewa dirinya. Meski Mbung sendiri berpikiran lain, ketika sekolah
tak dapat menerimanya dikarenakan uang, maka ia tak berputus-asa dan
jatuh terpuruk. Ia tinggal memindahkan sekolah itu ke jalanan. Dan, tanpa uang. Justru menghasilkan uang. Itulah jawaban Mbung. Ajaib bukan?
Mbung, Mbung.
“Bang! Bang! Kok bengong?”
Mbrot tersentak. Panggilan Mbung mengagetkannya. “Iya, kenapa?”
“Kok malah bengong? Ngiter lagi, yuk!” ajaknya.
Mbrot
tersenyum. Matahari berada tepat di atas kepala, panas, panas sekali.
Tapi, lihatlah pemuda itu! Ia berjalan tanpa alas kaki, tanpa penutup
kepala, yang paling penting ialah: tanpa beban. Dengan lantang ia
melangkah, teriakannya memecah lelah. Menggetarkan jiwa yang terbuai
dunia.
Ia teringat ucapan Mbung.
“Sebab duka
itu hanya persoalan kata, bang. Gantilah huruf ‘d’ dengan huruf ‘s’,
apa yang terjadi? Ini hanya soal cara pandang kita saja.”
Sekali lagi, ajaib!
Mbrot
tak ingin membuang-buang waktu. Ia memutuskan, tuk berlari mengejar
Mbung yang masih melaju membelah siang. Dia tak ingin tertinggal jauh
lagi.
Sedikit lagi.
Perih. Seperti membakar kulitnya.
Nikmati Mbrot! Lihat ke depan.
Tak lama,
Kau kan mengejarnya.
Yah.
Dapat.
Langkah mereka sejajar. Kemudian saling bertukar pandang dan berbalas senyum. Dan berteriak: Sol sepatu! Sol sepatu!
Hahahaha…
Tawa pun menggema. Menciptakan harmoni. Tentang mimpi. Asa. Dan cita. Tuhan melihatnya.
7 Oktober 2011
NOTE LOVE
Jam dua belas tepat.
Aku
menerimanya. Begitulah pesan yang ditinggalkannya di secarik kertas.
Begitu singkat. Memang seperti itulah kaidah memo yang pernah
dipelajari. Isi ringkas dan biasanya ditulis dari atasan kepada bawahan.
Atasan-bawahan.
Dia
atasan dan aku bawahan. Uh, menggelikan. Ada gerangan apa dia
menyuruhku ke sana. Kenapa tak langsung saja saat di sini (kantor) tadi,
bukankah berapa kali kami bertemu. Di lift, di lorong, di depan pintu
kamar mandi yang berhadapan, di ruangannya –saat menyerahkan file
penting- di mana-manalah. Aku saja ingat bros mawar merah yang tersemat
di kerah jasnya bagian kiri. Kenapa harus di tempat itu?
Sekarang jam dua lewat sepuluh menit.
Aku
masih memandangi secarik kertas darinya. Tulisan rapi dengan tinta
hitam yang tebal dan jelas. Dia menggambarkan dirinya di kertas ini.
Tanpa cacat. Aneh, tulisannya saja dapat mengintervensi kesendirianku.
Dia pintar sekali. Pantas saja dia menjadi atasan. Dan sekali lagi, aku
menjadi bawahan.
Sepuluh menit lagi berlalu. Inginnya aku
menyudahi penantian untuk jam empat nanti. Mengapa dia memilih jam
empat. Mengapa bukan jam satu saja, satu jam dari waktu dia meninggalkan
secarik kertas di mejaku. Itu akan menjadi mudah bagiku. Tak seperti
ini, harus menunggu empat jam, kupakai saja untuk menduga-duga. Apa yang
dia inginkan?
Jam setengah tiga.
Dia mencoba mempermainkanku. Hipotesa awal. Yah, bisa saja. Kenapa tidak? Dia marah padaku karena sikap sebagai bawahan
yang tak pantas aku lakukan di hadapannya. Masuk tanpa ketuk pintu,
membanting map, dan tak mendengar perintahnya. Dia memang tak marah.
Justru itulah yang membuatku marah. Kenapa dia tidak memarahiku atau
langsung saja pecat aku, bukankah dia memegang hak itu? Kenapa baru
sekarang? Permainan licik.
Setengah jam berlalu. Jam tiga lewat lima detik.
Hahaha,
dia pikir permainan ini akan dimenangkannya. Cukup sudah aku kalah saat
dia menjadi atasan dan aku bawahan. Tidak kali ini. Ah, aku tak sebodoh
yang dia kira. Mau saja disuruh-suruh menunggu empat jam, lalu datang
mengikuti kemauannya seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Apalagi
ditambah kenyataan nanti, dia hanya ingin memberikanku tugas sepele. ‘Ini tugasmu, cepat selesaikan! Hanya itu. Tidak. Tidak akan! Dimana harga diri ini aku taruh?
Jam empat kurang lima menit.
Kutengok
langit. Biru bercampur kelabu. Alam mendukungku. Hipotesa tetap menjadi
hipotesa. Tak usah lagi aku bertanya-tanya, menduga-duga, juga
menebak-nebak. Dia harus merasakannya. Kekalahan ini. Aku mengendorkan
dasi. Memejamkan mata. Samar kudengar hujan yang mulai jatuh ke bumi.
Rintik. Lalu, deras. Telah aku putuskan, aku takkan datang.
Jam empat lewat tiga puluh menit.
Huahh,
aku tertidur. Hmm, sudah lewat tiga puluh menit rupanya. Damai sekali
rasanya tidurku kali ini. Setelah hampir sebulan lebih tidur di kantor
dengan perasaan gelisah. Beginikah indahnya jadi pemenang? Apakah dia
masih di sana? Ah, tak mungkin. Lewat satu menit saja dia akan pergi.
Disiplin. Hargailah waktu, berarti engkau menghargai hidupmu. Katanya
sebulan yang lalu, pertama kali dirinya jadi ‘bos’ dan pertama kali aku
telat –dengan sengaja- menjadi bawahan. Uf!
Jam lima kurang lima belas menit.
Dimas,
Liana kenapa? Pertanyaan kamu mengusikku. Emangnya kenapa? Aku balik
tanya dengan malas. Kamu terheran-heran menjawabnya. Kok, istri mengundurkan diri malah nggak tahu.
Apa?! Apa aku tak salah dengar? Kamu mengangguk. Kalimat terakhirmu
bagai tamparan keras yang pernah aku rasakan. Tidak mungkin. Kenapa?
Mengapa? Ada apa? Kamu malah mengangkat bahu.
Ah, aku harus
menemuinya. Aku tahu dia ada di mana sekarang. Dan, aku lari
sekencang-kencangnya, meninggalkanmu sendiri yang bertanya-tanya. Kenapa? Mengapa? Ada apa?
Jam lima lewat sepuluh menit.
Dia
masih di sana. Di bangku taman dekat air mancur. Rambutnya, wajahnya,
seluruh badannya basah. Tangannya melipat menahan dingin. Matanya lekat
di air mancur yang jatuh bertingkat. Aku mendekat.
Dia menoleh.
Wajahnya pucat. Bibirnya yang membiru masih saja mau tersenyum
menyambutku. Kenapa tak pergi? Getaran dari suaraku tak bisa
kusembunyikan. Kamu pasti datang. Ujarnya sambil bergeser sedikit
memberikan aku tempat.
Jam lima lewat lima belas menit.
Aku
dan dia hanya diam membisu. Aku membuka jas dan memakaikannya ke
tubuhnya yang mulai mengering. Dia mengucapkan terima kasih. Aku perih
mendengarnya. Aku putuskan untuk bersuara. Aku tak tahan lagi.
Kenapa, Liana? Kata itu baru saja akan meluncur. Tapi, dia mendahuluinya.
Jam lima lewat enam belas menit.
Aku
sudah mengundurkan diri. Aku mau kamu pulang. Aku minta maaf. Aku hanya
ingin semua kembali seperti dulu lagi. Aku sudah memikirkannya sejak
lama. Keluarga lebih berharga dibandingkan jabatan itu yang hanya
memisahkan kita. Menciptakan jarak yang membuat kita jauh. Semakin jauh.
Aku kangen kamu. Sekali lagi, aku minta maaf.
Jam lima lewat dua puluh satu menit.
Lima
menit. Dia hanya membutuhkan waktu secepat itu untuk mengatakan
semuanya. Itu berarti, dia sudah mempersiapkannya dengan matang bukan.
Dan aku yang bodoh ini, menghancurkan segalanya dengan membiarkannya
menunggu selama satu jam enam belas menit di bawah guyuran hujan serta
‘rasa dendam’ku yang tak beralasan. Oh, memalukan sekali.
Lihatlah.
Bagaimana bisa rasa iri yang begitu besar membutakan mataku. Hanya
karena aku sebagai suami harus menjadi bawahan. Dan, dia. Liana, istriku
menjadi atasan. Kenapa aku tak bisa menerima kenyataan. Malah memupuk
rasa iri itu, menjelma menjadi marah, lalu benci.
Childish.
Kekanak-kanakan. Itukah jiwa seorang pemimpin? Untuk memimpin diri dan
keluarganya saja tak becus, bermimpi ingin menjadi atasan. Aku mengutuk
diriku sendiri. Aku benar-benar dibutakan jabatan.
Jam enam kurang empat menit.
Aku
tak mampu untuk membendungnya. Air mata ini. Hujan dalam hatiku. Dia
menghapusnya. Menggenggam tanganku. Dingin. Lalu, hangat. Aku
merasakannya. Ketulusan. Saat dia tersenyum untukku, belenggu-belenggu
yang mengekang hatiku satu persatu lepas. Tubuhku terasa ringan dan…
bebas. Yang tertinggal hanya ada ruang kosong yang menanti kembali
tuannya.
Dia. Cinta. Liana. Istriku.
Jam enam tepat.
Aku
dan dia meninggalkan taman itu. Juga air mancur yang bergemericik
merdu. Aku menyadari kekeliruanku. Liana memaafkannya, meski dia bilang
tak ada yang harus dimaafkan. Baginya, hanya ada yang harus diterima
oleh kami berdua. Aku suami. Dia istri. Tak ada atasan. Tak perlu
bawahan.
Aku sadar. Aku rindu padanya.
Apakah kamu masih bertanya-tanya?
Lewat satu detik,
Aku menyadari satu hal lagi. Bros mawar merah yang tersemat di kerah jasnya bukan di bagian kiri. Tapi di kanan. Uff!
*
Cerpen 2010 -_______- pintarku ca' bulis beginian -______-
Catatan (luar) Biasa
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Seseorang pernah bilang: Betapa luar biasanya diri
kita, karena siapapun diri kita, seperti apapun kehidupan yang telah
kita lewati, kita adalah kita. Tak ada yang bisa menyamainya, meski
kembaran sekalipun. Kita itu hanya satu. Tak ada yang lain.
Yah,
kurang lebih seperti itu yang saya tangkap. Sangat mengena. Karena
terkadang, saya (mungkin juga kamu) mendambakan menjadi orang lain, yang
ini-itu, bisa begini-begitu, tanpa pernah melihat dan mengeja ‘siapa
saya sebenarnya’?
Saya wanita luar biasa.
Seharusnya kalimat pamungkas itu datang lebih awal, mengetuk kepala saya yang error lantaran sibuk mengutuk diri ‘Saya bukan siapa-siapa. Saya bisa apa?’
Tapi tak apalah, itu berarti ada lagi alasan untuk hadirnya pepatah ‘Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali’
Meski
sebenarnya, saya lebih suka dengan -lebih baik tidak terlambat daripada
terlambat- mengingatkan saya pada ucapan penjaga sekolah yang bosan
mencatat nama saya (Si anak baru) di daftar Black List. Miss later.
Bagaimana saya bisa tahu, saya wanita luar biasa? Bacalah!
Pernahkah
kamu bertahan berjam-jam membaca di perpustakaan dari awal buka hingga
tutup kembali? Saya pernah. Pernahkah kamu menguasai Tenses
sedangkan umurmu baru sekitar delapan tahun? Saya pernah. Pernahkah kamu
ingin/sedang bermain, tiba-tiba bapakmu menyuruhmu ambil buku terus
belajar? Saya pernah. Pernahkah kamu tetap nekat pergi ke sekolah,
padahal kamu tak memegang uang sepeser pun ditambah banyak tagihan ini-itu
menanti dan tanganmu terancam dipukul selang? Saya pernah. Pernahkah
kamu menjual PR-mu demi mendapatkan uang jajan? Saya pernah. Pernahkah
kamu menulis puisi berlembar-lembar hingga menjadi sebuah buku, lalu
menyiramnya dengan air karena ibumu membacanya? Ah, saya pernah.
Meski terdengar aneh…
Pernahkah kamu?
Adalah
pertanyaan terbaik yang dapat mengungkap siapa saya/kamu sesungguhnya.
Pertanyaan yang menyadarkan saya, ada banyak ‘sesuatu’ yang telah saya
lalui dan belum tentu orang lain pernah merasakannya. Pertanyaan yang
memperlihatkan pada diri saya, bahwa saya berbeda. Pertanyaan yang
membius saya untuk berdiam sejenak dan berpikir lantas berteriak: Saya
melakukannyaaaaaaaa!
Pernahkah kamu?
Pertanyaan
ajaib yang mengubah kata ‘biasa’ menjadi ‘luar biasa’, mungkin
pertanyaan yang saya sebutkan tadi sepele bagi kamu, bisa jadi ada
hal-hal yang lebih besar pernah kamu kerjakan dibanding sekedar menjual PR demi uang jajan.
Itulah
maksud saya, kita memiliki pertanyaan dengan jawaban yang berbeda-beda
sesuai dengan jalan hidup kita masing-masing. Kita luar biasa dengan
gambaran dan jalan yang berbeda.
Lemparkanlah pada saya
sebuah pertanyaan: Pernahkah kamu menempuh perjalanan 2 Km tanpa alas
kaki, naik-turun gunung, menyeberangi sungai demi menimba ilmu? Atau,
pernahkah kamu memanjat pohon kelapa di umur tujuh tahun? Atau mungkin,
pernahkah kamu menangis berjam-jam karena putus cinta? Jawaban saya
adalah: tidak pernah!
Tapi, belum tentu denganmu, (mungkin) dengan bangga kamu berkata: Saya pernaaaah! (salut) Empat jempol saya kasih, :)
***
Baiklah,
sampai di sini saya sadar, saya baru saja bertingkah seperti
Orang-Yang-Sok-Paling-Tahu, tapi memang benar, inilah yang saya ketahui
dan saya mau kalian juga tahu. Bahwa kita spesial. Kita berbeda. Kita
hanya satu. Kita bukan dia. Kita bukan mereka. Kita adalah kita. Kita
luar biasa. Kita sangat luarrr biasaaa.
Ditunggu pertanyaannya. Pernahkah kamu? Dan lihat jawabannya.
(Mau percaya atau tidak, mentari tetap bersinar)
DUA IBU
sumber gambar |
Ada anak memiliki ibu, dia
menangis. Ada anak tak memiliki ibu, dia menangis. Bagaimana jika dia
memiliki dua ibu? Dua wanita yang mencintainya tanpa peduli darimana dia
berasal. Dari rahim mana dia terlelap sembilan bulan. Atau, siapa dia.
*
“Firyal, apakah ibu terlihat cantik?” Hanum memoleskan sesuatu di pipinya. Lalu, tersenyum.
“Tanpa
bedak pun ibu selalu terlihat cantik.” Ujar Firyal tegas. Menggenggam
tangan sang ibu dengan erat seolah-olah tak ingin dia lepaskan atau
terlepaskan. “Karena hati putihmu memancarkan kecantikan yang
sesungguhnya.”
Bayangan Firyal yang mengecup kening sang ibu terpantul, indah. Dua insan. Dua senyum. Dua cerita yang masih terus berlanjut.
“Harus
ada yang aku katakan padamu, nak…” Hanum menatap sendu cermin,
menghitung gurat-gurat di wajahnya. Dirinya menua bersama rahasia yang
tersembunyi dua puluh lima tahun lamanya.
Firyal mengeratkan genggamannya.
“Ada
seorang wanita yang mencintaimu lebih dari apapun, selain aku.” Hanum
diam sejenak lalu melihat reaksi Firyal yang penuh tanda tanya. “Wanita
yang menyusuimu dua tahun lamanya. Merawatmu penuh kasih sayang sebelum
aku mengambilmu dari sisinya. Namanya, Melati. Apakah kau
mengingatnya?”
Ada apa ini? Tangan Firyal mengendur. Getaran kecil merambat pelan membuatnya heran dan… takut.
“Apa yang ibu bicarakan?” kata Firyal seringan mungkin.
“Ibumu. Ibu sedang membicarakan ibumu yang lain.” Genggaman terlepas. Firyal menatap sang ibu.
“Ibu yang lain? Aku tak mengerti.”
Hanum
melanjutkan ceritanya, “Iya anakku, Melati adalah ibumu. Ibu yang telah
mendonorkan satu ginjalnya untukmu. Yang berjalan puluhan kilo hanya
untuk menatapmu dari balik pagar rumah ini. Dia mencintaimu tanpa ego
untuk memilikimu. Karena dia mengerti bahwa masa depanmu adalah yang
utama. Selanjutnya, akulah ibumu.”
“Ibu…”
Tes!
Entah siapa yang dimaksud Firyal dengan ‘ibu’ hingga air matanya jatuh.
Dia terlihat bingung dan menjauh meninggalkan Hanum sendiri.
Ibu yang lain? Apa maksud ibu, tidak! Aku anaknya, Firyal Faiqh Brata. Tak mungkin ada dua ibu. Tak mungkin.
Firyal melempar kerikil kecil ke danau, tempat dia menenangkan perasaannya yang tak menentu. Seperti saat ini.
“Melati…”
Satu
jam berlalu… dan hanya ada satu nama memenuhi pikirannya. Melati. Jika
wanita itu mencintaiku lebih dari apapun, mengapa dia justru
meninggalkanku? Firyal bertanya-tanya. Lelah menyendiri tanpa jawaban,
dia bangkit dan bergegas menuju satu tempat untuk menemui seseorang.
Ibu.
*
“Mengapa
ibu merahasiakannya?” Tanya Firyal dingin. “Seperempat abad aku
menghormatimu, engkaulah wanita yang paling aku cintai. Kenapa ibu tega
melakukan ini padaku?”
Hanum tahu kebohongannya akan
berakhir seperti ini, dia sudah menduganya. Namun rasa takut kehilangan
akan anak kesayangannya lebih besar menghantui hidupnya. Brata, sang
suami pun berpesan di akhir hidupnya untuk bersegera mengungkap rahasia
tentang Firyal. Hanum baru bisa melaksanakannya sekarang, perlu waktu 12
tahun mengumpulkan keberanian.
“Firyal…”
“Aku ingin menemuinya.” Pungkas Firyal.
Hanum mengangguk, pilu.
Berjam-jam
mobil silver itu menyusuri perumahan kumuh di ujung kota. Kaki-kaki
kecil lincah bermain genangan air dan berhamburan saat ban mobil
menggilas tempat bermain mereka. Tawa-tawa pecah dan saling mengejek
muka mereka yang belepotan tanah.
Apakah aku pernah menjadi bagian dari kehidupan ini? Kakiku juga pernah menjejak tanah kotor ini. Melati, ibu…
Hanum memandang Firyal, “Maafkan ibu…” bisikannya ditelan deru mesin mobil juga teriakan bocah Gang Lestari.
Pak
sopir baru saja selesai bertanya pada seseorang lalu beralih kepada
Hanum yang mengangguk yakin. Mobil pun meluncur dan berhenti di depan
rumah kumuh, entahlah apa gubuk reot itu patut disebut sebagai rumah.
Hanum merasakan pedih kala matanya menangkap sorot kesedihan di mata
sang anak.
Hanum turun diikuti Firyal yang terlihat
sedikit canggung. “Apakah ini…?” Tanyanya. Hanum mengangguk pelan,
mereka berdua pun menguatkan hati menerima apapun yang akan terjadi
setelah ini.
*
Detik-detik beku bersama
kesunyian. Hanum. Firyal. Dan… Melati. Tak ada suara yang keluar dari
mulut mereka, hanya ada tiga pasang mata yang saling melirik. Mata-mata
yang tergenang keharuan hingga tak ada kata yang dapat mewakilinya.
“Ibu…”
suara Firyal bergetar. Hanum dan Melati menoleh bersamaan, ketika
pandangan jatuh pada Mata Firyal yang beruraian air mata, tangis pun
tak dapat lagi disembunyikan. Firyal berhambur memeluk Melati, wanita
yang usianya tak jauh berbeda dengan Hanum. Namun tak ada kesejahteraan
yang dapat menutupi penderitaan hidup yang tergambar jelas di tulang
berbalut kulit miliknya.
“Anakku, anakku, anakku…” Tumpah
sudah kerinduan Melati pada anak lelaki yang sangat ia cintai. Tubuh
mereka bertautan penuh getar-getar kasih sayang. “Kau sangat tampan,
betapa tingginya dirimu, kau terlihat sehat, matamu… jangan menangis
nak, biarkan aku mengeja dirimu. Kau masih sangat kecil ketika,…”
Melati tak sanggup melanjutkannya. Tangannya terus membelai rambut hitam anak yang lama tak dijumpa.
“Mengapa, mengapa bu?”
“Maafkan
aku,” Melati meminta persetujuan Hanum tuk bercerita. Anggukan
didapatnya. “Sebelumnya, jangan pernah kau menyalahkan Hanum anakku.
Ibumu tak bersalah. Akulah yang memaksanya untuk mengambilmu dariku, aku
yang memutuskan semuanya untuk melepasmu dari kehidupanku yang kau
lihat sendiri. Tidak ada yang dapat menjanjikan kehidupan terbaik
untukmu di sini.”
Firyal menggeleng kencang, “Tidak bu,
tidak, jangan katakan itu padaku. Engkau telah mengandungku,
melahirkanku, atas dasar apa aku lari dari pengabdian anak kepada
ibunya. Tidak, bu. Aku berhutang nyawa padamu.”
Melati diam. Dia belum tahu, batinnya.
Kalimat
panjang Firyal membuat ledakan tangisan dari mulut Melati. Hanum tak
mengerti apa yang terjadi. Berkali-kali Melati meminta maaf atas
kebohongannya selama ini. Melati memiliki rahasia.
Rahasia…?
“Ada
apa Melati, mengapa kau terlihat begitu tersiksa?” ujar Hanum. Firyal
menatap sang ibu, rahasia apalagi yang disembunyikan darinya? Pikirannya
begitu rumit.
Cerita itu mengalir, rahasia Melati yang
sangat mengejutkan di antara isak dan parau suaranya. Cerita belum
bertitik, namun Firyal tak sanggup lagi mendengarnya. Dia berlari sekuat
tenaga meninggalkan gubuk tua bersama dua wanita yang menyimpan rahasia
tentang dirinya. Melati dan Hanum.
Ibu…
*
Haruskah
aku membenci mereka? Ibu yang selama 25 tahun membesarkanku penuh
cinta, memberikanku kehidupan dan masa depan yang baik.
Juga, Ibu yang lain
yang merawatku selama dua tahun dan rela berbagi ginjal denganku. Tapi
cerita hidupku belum usai. Wanita yang aku kira adalah ibu kandungku
justru mengaku bukan ibuku. Bukan ibu kandungku! Dia hanya menemukanku di tempat sampah dengan ilitan tali pusar berlumur darah.
Hah, haruskah aku tertawa? Menertawai kisah malang diriku yang tak tahu dari mana aku berasal.
Hahaha,
Firyal… engkau tak hanya memiliki dua ibu. Tapi, tiga. TIGA IBU! Atau
mungkin ketika kau menemukan ibu ketigamu bisa saja bertambah menjadi
empat, lima, enam, atau ibu yang lain.
Firyal jatuh tersungkur di genangan coklat yang ditinggalkan bocah-bocah tadi. Dia tertawa dalam tangis. Aku
punya dua ibu, tidak, melainkan tiga ibu. Haruskah aku senang atas itu?
Kepada siapa bakti ini kuletakkkan? Dimana letak syurga yang harus
kukecup?
Ibu…
***
Hmmm, duh, sinetron banget gak sih? :D
Bukan Salah Malam
Tubuhnya
dihempaskan ke dalam lorong panjang nan curam, tercabik-cabik.
Tiba-tiba, belum terasa dasar menyentuh kulit, tubuhnya ditarik paksa
oleh tangan tak terlihat membawa kembali ke atas. Pun, tercabik-cabik.
Aaaah…!
Dia
tersentak, bangun. Nafas tersenggal, memburu bulir-bulir keringat yang
mengalir bebas. Tidak ada lorong, hitam, juga cengkraman tak terlihat.
Dia mengeja keadaan dengan helaan nafas yang penuh ketakutan.
Kesadarannya pulih. Membangun kekuatan tuk mencapai jendela, menyibak tirai merah, terpaku menatap luar.
Aku benci malam.
*
Sekar
perlu polesan bedak lagi agar lingkaran hitam di bawah matanya
tertutupi sempurna. Cermin terlalu jujur untuk menampilkan betapa
perempuan itu semakin berbeda.
Wajah nan tirus dengan
kantung mata tebal menggelayut, tubuh kurus-kuyu, juga binar mata habis
dihisap letih, yang tersisa hanyalah sorot kekecewaan dan kemarahan.
Kecewa pada hidup, marah pada malam. Dialah Sekar.
*
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu...*
“Kau perlu istirahat.” Kali kelima Sekar mendengar nasihat dari delapan teman kerjanya yang ada.
Dia mengangguk. Bukan membenarkan, agar mereka terpuaskan lalu pergi. Aku hanya perlu sendiri.
Lalu, kembali menekuni laporan-laporan ‘tak penting’ yang sengaja di
bacanya. Semua tugasnya telah selesai sejak tadi, dia hanya perlu
kesibukan untuk benar-benar waktu yang ditunggunya habis, menjemput
pagi.
“Mengapa harus malam?” tanya Sekar terjawab senyuman. “Karena malam adalah selimut terbaik.”
Sekar meremas kertas di genggamannya. Andai bisa, dia juga akan meremas malam yang sangat dibencinya.
Selimut terbaik, hah? Bukan! Kau tak lebih dari selimut jahananam. Aku benci, aku benci!
Kemarahan
Sekar datang lagi, sorot matanya menembus kaca, kabut, dan
menusuk-nusuk jantung malam yang berdegup dalam kegelapan. Sekar
terjaga. Tak mempersilahkan kedua matanya yang buka-tutup mengikuti kodratnya.
Kepada
bintang, bulan, kunang-kunang, juga makhluk lain yang berkonspirasi
menghidupkan suasana malam, dia tikam dengan tatapan sinis melalui
seluruh daya yang tersisa.
*
Langkahnya gontai.
Dia
ingin cepat sampai pada ranjangnya yang empuk. Membenamkan kepala di
bawah bantal, memeluk guling, menendang-nendang angin yang berhembus di
bawah kakinya. Melanjutkan tidur setelah menepuk seekor nyamuk yang
berdengung di telinga, seakan mengejek rambutnya yang kusut masai.
Sedikit lagi, tapi dia terlanjur ambruk dengan setengah badan di dalam setengahnya lagi tertinggal di teras rumah.
Sekar tak tahan lagi, setelah tiga hari menahan kantuk dan terus berdiri pada pembenaran dia takkan kalah lagi pada malam.
Dia
menantang malam tanpa seduhan kopi bergelas-gelas, tontonan komedi di
layar kaca, apalagi sebatang korek yang mengganjal kelopak matanya.
Dia tantang dengan senjata luka yang tertancap kejam di hatinya. Malam adalah musuh, semusuh-musuhnya.
Tapi
pagi ini, Sekar menangis sambil memukul-mukul tubuhnya. Burung yang
hinggap di dahan pohon terbang, enggan mendengar rintihan penuh sedu dan
gugu. Sekar benci harus mengaku kalah. Terus menangis dan mencaci
sampai habis seluruh kekuatan yang dia miliki. Tanpa sadar, tertidur
dengan air mata yang meleleh di sudut matanya.
*
Karena malam adalah selimut terbaik.
Jawaban puitis
menggerakkan langkahnya tuk terus maju membelah malam, menemuinya.
Seseorang yang memperkenalkan tentang senyum, tawa, kebahagiaan yang
bisa di raih tanpa setumpuk lembaran uang atau kilauan emas yang
diagung-agungkan teman sejawatnya, apalagi rupa menawan.
Menjejakkan kaki begitu ringan, dia percaya malam akan menyelimuti secuil galaunya yang timbul-tenggelam.
Ketika
langkahnya mencapai tujuan. Seseorang yang ditemuinya nampak bak cahaya
di antara gelap. Sekar semakin percaya: malam adalah selimut terbaik.
Sekar
ingin tertawa sekeras-kerasnya. Menunjukkan pada teman kecilnya dulu,
Sekar yang sekarang bukan ‘nenek sihir’ yang harus dijauhi layaknya
pengidap penyakit menular. Dia memiliki seseorang yang menganggapnya
sebagai ‘putri cantik’ perlu untuk dijaga dan disayang.
Ah, andai saja pangeranku tidak memilih malam. Dunia pun akan menyaksikan kebahagiaan kami.
Tangan terbentang lebar, Sekar jatuh dalam pelukannya. Pelukan malam.
*
Karena malam adalah selimut terbaik.
Sekar masih percaya. Sekalipun si pemilik jawaban itu terus bersembunyi dalam gelapnya.
“Aku
harus pergi.” Tunggu, Sekar bersimpuh menahan laju kaki yang terus
melangkah. Dia terseret. “Aku mohon, bertanggung jawablah…”
Sekar
tak melepaskan pegangannya. Terseret di aspal, sampai panas menjalar di
perutnya yang membuncit. Dia menyerah. Kaki itu bebas berlari
meninggalkannya. Menghilang di telan malam.
*
Karena malam adalah selimut terbaik.
Dia
percaya meski tak sepenuhnya. Malam akan membekukan nyeri di tangan
kanannya yang pelan mengetuk pintu, juga hati dua orang yang teramat
terluka karena bunga harapan yang disiram penuh kasih sayang layu
sebelum berkembang.
“Jika datang untuk mencoreng muka bapak-ibumu, sebaiknya kamu tak pernah datang atau lebih baik lagi jika kamu tak pernah ada.”
Sekar menelan bola api kemarahan itu bulat-bulat. Aku pantas mendapatkan ini. Dia
keluar dari rumah berpagar bambu yang dua puluh satu tahun
ditempatinya. Seiring langkahnya puluhan pasang mata mengintip dari
kegelapan malam, hitam padat mengaburkan seringai jijik melepas ‘sampah
masyarakat’ yang ditakutkan menulari kampung mereka.
“Dasar lonte!” angin malam mengantarkan bisikan itu ke telinga Sekar yang berjalan tanpa berpaling sedikit pun.
*
Karena malam adalah selimut terbaik.
Sedikit
sekali yang tersisa untuk dirinya percaya. Tapi, takdir menentukan
malam inilah saatnya. Sekar mengejan di antara genangan ketubannya yang
pecah. Berjuang sekuat tenaga menggadaikan nafasnya demi nafas baru yang
sedianya menatap dunia tuk pertama kali.
Malam terlalu
gelap untuk menangkap kerut kematian di wajahnya yang pasi. Tangannya
bergetar meraba tali yang melilit si bayi mungil tak bersuara. Sambil
menggigit keras bibir bawahnya, dia memutus tali itu dengan kukunya.
Rasa sakit, perih, nyeri, tak sebanding dengan naruni keibuannya yang menghentak seluruh tubuhnya tuk tetap bertahan.
Sekar mendekap buah hatinya begitu erat. Dia ingin melihat wajah, senyum, juga bola mata sang anak. Tapi, tidak ada suara. Tangisan, mana tangisanmu anakku? Sekar memukul-mukul tubuh sang anak. Sunyi.
Tangisan
itu pun pecah. Bukan, bukan tangisan dari mulut si bayi melainkan Sekar
yang sadar di dekapannya hanyalah seonggok daging tanpa jiwa. Dia
memeluknya penuh kasih sayang, menciuminya penuh cinta, rantaian air
mata di pipinya terasa hangat.
Sungguh kontras dengan hatinya yang membeku, sebeku udara malam ini.
*
Karena malam adalah selimut terbaik.
Sekar
telah sepenuhnya tak percaya. Terkikis oleh waktu. Dia membenci malam
juga sekutunya yang membiarkan dirinya berjalan menuju kehancuran.
Menyaksikan dalam kebisuan bara derita yang diinjak perempuan itu
bertahun-tahun lamanya.
Malam yang dengan congkak berpesta penuh cahaya, sementara dia sendiri menghitung hari yang telah dilaluinya penuh kegelapan.
Sekar membenci malam.
*
Sekar
terjaga dari 'tidur panjang'. Perjalanan hidupnya yang membenci malam,
berakhir di titik nadir. Dia tahu, dia tak sedang membenci malam seperti
yang dirasakannya selama ini atau mungkin benar dia memang membencinya, tapi 'malam' yang lain.
Dia
benci noda hitam hidupnya. Dia benci kekelaman hatinya. Dia benci
kepekatan dustanya. Dia benci gulita yang diciptakannya sendiri.
Sesungguhnya, dia membenci dirinya sendiri.
Dengan
kerendahan hati, dia datang mengetuk malam. Dan malam membuka tabir
yang menutupi sebuah lukisan wajah berkanvas awan. Sekar tersenyum.
Malam adalah dirinya.
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih terjaga…*
Di bumi Arafah, Di bawah langit bermata satu, 7-7-2011
* Puisi-puisi dikutip dari kumpulan puisi karya Chairil Anwar.
** Cerpen ini diterbitkan dalam antologi cerpen "Karena Aku Tercipta Istimewa" penerbit Medika.
Letter To Remember
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Taryanti Octaviani |
Untuk sahabat yang selalu membuatku tersenyum…
Itu kamu, Tar.
Yang
datang membawa keceriaan di tengah sumpeknya kelas kecil berisikan
bocah-bocah tengil bin lincah. Teman-teman kita. Anak pindahan yang
penuh percaya diri. Mengisi bangku kosong lajur tiga, lengkap sudah meja
kita. Aku: (dulu) si pemalu, St. Faidzah Amalia: (dulu dan sekarang) si cantik dan baik hati, dan kamu, Taryanti: (selamanya) si ceria nan lucu.
Mengapa?
Haruskah
aku bertanya pada Tuhan mengapa kita dipertemukan di SD 01, duduk
sebangku terus hingga kelas enam, berteman, beranjak pada tingkat
‘sahabat’, saling mengunjungi rumah hingga keluargaku hanya mengingat
kamu sebagai teman SD-ku, bertemu di SMP ONSIT meski beda kelas
(komunikasi masih lancar, sampai lelaki yang disukai kita sama-sama
tahuJ), bersua kembali di SMA MADOE (52) bersama-sama sibuk mengurus
sekolah alih-alih mencoba mandiri tanpa bantuan orang lain diselingi
bincang-bincang tentang masa depan di KWK (kita akan bersama kembali di
UI, ingatkah kamu?), pergi dan pulang sekolah selalu bersama (aku
terlalu takut untuk pergi sendiri) hingga malam terakhir aku datang ke
rumahmu untuk pamit meninggalkan sekolah, meninggalkan Jakarta, dan yang
berat adalah….meninggalkan kamu, sahabatku.
Tidak, Tar….
Aku takkan bertanya ‘mengapa’ karena semua kenangan itu adalah jawaban yang berbisik padaku, “Inilah takdir, maukah kamu percaya?”
Yah, aku percaya! Sangat!
Percaya bahwa kebersamaan kita adalah pelengkap cerita masa kecil yang memang dan harus dikenang.
Belajar
bersama, kumpul-kumpul di rumah Ratna, di kejar Asep (mengejeknya si
gendut) sampai harus ngumpet di kolong meja, jadi bahan ledekan Paklik
(kamu tahu itu kan ‘Lativi tombol dua’) membuat gantungan dompet: kamu
‘Red’ aku ‘Blue’, bermain benteng, latihan senam poco-poco,
pergi berenang dan kamu mendorongku ke kolam untuk anak-anak: aku tak
bisa berenang, Tar) banyak sekali kepingan mozaik yang jika tersusun aku
bisa gila karena menangis dan tertawa dalam waktu yang bersamaan.
Kita
punya PR untuk menyatukan mozaik-mozaik itu dan menjadikannya utuh,
ketika kita berjumpa dan duduk di samping rumahmu yang segar oleh tiupan
angin sore, lagi.
Aku menunggu hari itu.
Ah,
sudahkah kita bersyukur atas pertemuan bertahun-tahun silam maupun
perpisahan empat tahun yang lalu? Kita patut melakukan itu. Aku baru
saja melakukannya, setelah membaca tulisanmu, tentunya. (Terima kasih
kembali, namaku masih ada dalam ingatanmu)
Tar, semoga
kamu sedang tertawa seperti biasanya jangan sepertiku. karena sampai
disini aku berubah jadi melankoli amatiran dan membasahi keyboard dengan
air mata. PayahL
Tar, ini adalah lembaran kedua untuk menulis tentang kamu…
Hari ini, jam ini, detik ini, aku hanya ingin menulis tentang kamu, dan bagaimana kamu mewarnai separuh perjalanan hidupku.
Ketika
ada kesempatan kembali ke Jakarta, sejak dari bandara aku selalu
terbayang satu rumah yang amat-sangat ingin aku kunjungi. Yaitu,
rumahmu. Aku tak pernah melupakan rute menuju rumahmu yang
bertahun-tahun lamanya aku lewati, tak jadi masalah Sarang Bango banyak
berubah. Seperti kita, bukan lagi anak kecil berkucir dua yang
mengoleksi bermacam-macam bando dan jepitan. Kita akan menyapa usia
kepala ‘2’ dengan tampilan baru, pemikiran baru, masalah baru, yang
pasti sebuah kehidupan baru. Lalu, dihadapkan banyak pilihan yang
menentukan kehidupan kita selanjutnya. Aku berdoa yang terbaik untukmu.
Aku
memilih untuk menjadi seorang penulis, bukan dokter sebagaimana
cita-cita awal nan dadakan ketika guru bertanya. Dan biar kutebak, kamu
sedang berjalan menuju puncak ‘teaterawan’, betulkah itu? Di SMA, aku
tak habis pikir kamu memilih ekskul Teater, melihatmu berakting suatu
kebanggaan memiliki teman seperti artis (hehehe)
Suatu saat nanti,
maukah kamu memainkan sebuah drama dengan naskah buatanku? Aku akan
mempersiapkannya, sebaik-baiknya demi kamu. Aku tunggu jawabannya.
Tar,
Bagaimana aku mengakhiri tulisan ini jika menekan tuts
dan merangkai kisah kita adalah kebahagiaan yang menyejukkan. Mengingat
kamu, mengingat persahabatan kita, mengingat sepeda tua kita, mengingat
saat tertawa, saat menangis, saat marahan, saat baikan, saat tersipu
malu, saat…. saat aku memohon pada Sang Pemilik Waktu agar
memori ini jangan terhapus, jangan terkikis, tersamarkan, dan yang lebih
menakutkan lagi jika harus terlupa dan menghilang dari ruang ingatan
kita yang setiap hari penuh dengan memori baru. Jangan, aku tak mau itu.
Aku
selalu berdoa pada-Nya, bantulah aku dengan doamu juga. Sampai saat
dimana waktu yang memisahkan kita berbaik hati untuk menyatukan kita
kembali, bukan untuk mengulang kisah lalu (karena yang lalu akan
selamanya seperti itu) tapi untuk mengukir cerita baru, tentang kamu dan
aku. Tentang, kita.
Di ruang kertas terakhir ini,
aku ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untukmu
Taryanti, sahabatku yang menjadi pelangi di dalam hidupku. Atas
kesediannya berbagi tawa, menghapus air-mata, mengukir cita, juga
kesempatan untuk tahu bahwa aku orang beruntung yang memiliki seorang
‘sahabat’ sepertimu.
Semoga tulisan ini dapat menggantikan
sementara semua ucapan yang ingin aku utarakan padamu, juga seluruh
rinduku padamu. Suatu saat nanti, sampai tak ada lagi jarak. Aku dan
kamu di hadapan sawah yang menghijau. Terbentang. Yah, bicara tentang
apa saja asalkan bukan gosip kacangan, bagaimana kalau tentang masa
depan, kesibukan, impian, kisah saat SD, SMP, atau siapa ‘dia’ yang ada
di sampingmu dalam foto profil (hahaha)?
Ehm, Punya ide lain?
Makassar, 30 Juli 2011
*
selamat menjalankan bulan suci ramadhan, semoga bulan ini adalah bulan
terbaik dari sekian banyak ramadhan yang telah kamu lalui....(amiin)
Bernama Piety Class
Bissmillahirrahmaanirrahiim.
Piety Class, saat kelas 1 SMA. |
Ketika alam belum menyeleksi, membekukan kenangan selaksa mengunci raga kita pada selembar kertas. Tetap saja, bernama kenangan. Senang menjadi bagian dari kalian. Lupakan tentang hitam, apatah putih, sebab tahun-tahun berjalan...kita mengukir pelangi. Berwarna-warni. Uhibbukum fillah...
Friday, May 18, 2012
Nockturne
Bismillahirrahmaanirrahiim
Malam ini,
Adalah manusia malam yang berkemul dalam pekat hitam. Memburai awan mencari bulan. Menemukan sinar di lipatan sajadah tua, ayat-ayat menerbangkannya. Damainya menggema; memanggil kunang-kunang. Sejuta kali menjemput pagi, berbahasa manusia.
Malam ini,
manusia malam bercengkrama, pada jendela-jendela yang terbuka. Membisu pada hati. Nockturne.
Thursday, May 17, 2012
Filantropi
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Mengapa aku memaku mata pada mata, lalu datanglah; diskusi, debat, teguran, desakan, pertanyaan, pujian, cerita, tangis, tawa, suka, lara, bahagia, derita,
Sajak-sajak kelopak membuka, mawar menancapkan durinya pada bola-bola liar yang mengaliri darah segar.
Mengapa aku mengunci mata pada mata, lalu menasbih; diskusi, debat, teguran, desakan, pertanyaan, pujian, cerita, tangis, tawa, suka, lara, bahagia, derita,
Sajak-sajak kantung mata melabuh air mata, melati mewangi menjelma pelukan suci.
:Mata serupa jendela hati
Aku memaku dan mengunci.
Mengapa aku memaku mata pada mata, lalu datanglah; diskusi, debat, teguran, desakan, pertanyaan, pujian, cerita, tangis, tawa, suka, lara, bahagia, derita,
Sajak-sajak kelopak membuka, mawar menancapkan durinya pada bola-bola liar yang mengaliri darah segar.
Mengapa aku mengunci mata pada mata, lalu menasbih; diskusi, debat, teguran, desakan, pertanyaan, pujian, cerita, tangis, tawa, suka, lara, bahagia, derita,
Sajak-sajak kantung mata melabuh air mata, melati mewangi menjelma pelukan suci.
:Mata serupa jendela hati
Aku memaku dan mengunci.
Tuesday, May 15, 2012
Mari Menuai
Bismillahirrahmaanirrahiim
Di penghujung April, saya menyambut Bidadari Mei dengan satu tulisan berjudul "Menulis: Biarlah Tetap Pada Jalurnya" sebagai note lomba di Pesantren Penulis. And then, I got it. Hehe, maksud saya, Alhamdulillah saya keluar menjadi pemenang (^_^b). Nah, hari ini tepat pertengahan bulan, 'bibit' yang saya tanam tumbuh dan siap tuai.
So, this is it . . .
Paket buku hadiah pemenang lomba menulis Keshalehan Jalan Pena. Kira2 buku apa yah? |
Inilah isinya. Yang di tengah kelihatan lezat. Tinggal tunggu waktu saya akan melahapnya. :P |
Ketiga buku di atas adalah karya kak Dwi Suwiknyo, SEI.,M. SI, pendiri Pesantren Penulis.
Sudah banyak buku yang beliau terbitkan. Dan tentunya, tulisan yang berorientasi pada dakwah.
Kalo mau kenalan yah silahkan di add saja FBnya. :))
Oia ini rincian 3 buku di atas:
1. Pengantar Akuntansi Syariah
Aduh, agak berat juga yah. Tapi tak apalah, buku yang sia-sia adalah buku yang tak dibaca. |
Buku ini didesain bagi proses pembelajaran akuntansi syariah
di kalangan akademisi perguruan tinggi maupun juga praktisi
yang membutuhkannya sebagai alat evaluasi.
2. Menulis Tradisi Intelektual Muslim
Tak sabar ingin baca nih...Yummyyyyyy :)) |
Buku ini ditulis borongan oleh kawan-kawan penulis lainnya, seperti;
Iva Avianty, Edo Segarat, Triani Retno, dkk.
Sangat menarik untuk dibaca sebagai suplemen dalam menulis. Terutama saya. hehe.
3. 3 Kunci Lepas Subsidi
Ayolah kawula muda, lekaslah menjadi mandiri. Jangan terus jadi anak mami...hehe |
Buku ini adalah buku seri keuangan remaja. Sang penulis memaparkan bagaimana
langkah-langkah menjadi pribadi mandiri yang mampu memenej keuangan. Tanpa
harus mengandalkan subsidi dari orang tua.
###
Yah, kurang-lebih hanya itu yang bisa saya share untuk malam ini.
Bagi yang berminat baca, hubungi saya. Silahkan ambil nomor urut di kasir terdekat. wkwkw
Namun, akan lebih baik jika anda membelinya. Sedikit lebih terhormat. (Wualah, suombong deh.)
"SAHABAT BAIK BAGIKU ADALAH SESEORANG YANG MENGHADIAHIKU BUKU YANG BELUM PERNAH KUBACA"
(Abraham Lincoln)
Alhamdulillah ala kulli hal. Asykuru ilallah.
Saturday, May 12, 2012
If I'm In Love
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Saya jatuh cinta.
Akhir-akhir ini saya selalu memikirkannya. Tiap detik mungkin. Segala indikasi kena penyakit C-I-N-T-A (menurut buku) ada pada diri saya. Bersemu pink pipi saya, bunga-bunga berjatuhan, terputar lah suara Celine Dion dengan When I'm Falling in Love yang menyemarakkan panggung asmara.
Saya tidak tahu definisi cinta, jika memang perasaan itu bisa dijabarkan oleh kata-kata. Tapi percaya atau tidak perasaan ini teramat baru saya rasakan, lalu harus saya beri nama apa jikalau bukan, "Cinta. Yah ini cinta!"
I'm not the expert about love.
Oh, sebenarnya saya belum yakin. Bisa saja bukan, lalu saya salah memberikan nama. Saya tidak mau terburu-buru. Jadi, maaf...saya tarik kembali tulisan saya.
Saya (mungkin) jatuh cinta.
#Don't be surprisse. Just imagine if I'm in love. Haha, silly me!!!!!!! :))
Saya jatuh cinta.
Akhir-akhir ini saya selalu memikirkannya. Tiap detik mungkin. Segala indikasi kena penyakit C-I-N-T-A (menurut buku) ada pada diri saya. Bersemu pink pipi saya, bunga-bunga berjatuhan, terputar lah suara Celine Dion dengan When I'm Falling in Love yang menyemarakkan panggung asmara.
Saya tidak tahu definisi cinta, jika memang perasaan itu bisa dijabarkan oleh kata-kata. Tapi percaya atau tidak perasaan ini teramat baru saya rasakan, lalu harus saya beri nama apa jikalau bukan, "Cinta. Yah ini cinta!"
#
3 Jam berpikir.
#
I'm not the expert about love.
Oh, sebenarnya saya belum yakin. Bisa saja bukan, lalu saya salah memberikan nama. Saya tidak mau terburu-buru. Jadi, maaf...saya tarik kembali tulisan saya.
Saya (mungkin) jatuh cinta.
#Don't be surprisse. Just imagine if I'm in love. Haha, silly me!!!!!!! :))
Monday, May 7, 2012
Chapter #1 : Dialog
Bismillahirrahmaanirrahiim.
#1
Ibu : Nak, pengemis itu tak percaya ibu tidak punya uang sepeser pun.
Anak : Kenapa, bu?
Ibu : Hanya karena baju yang ibu pakai terlihat bagus.
#2
Anak : Bu, Pak Guru tak percaya kalau aku nunggak SPP 2 bulan.
Ibu : Kok, bisa?
Anak : Katanya, wajahku tidak seperti orang miskin.
#3
Ibu : Nak, apa yang harus kita lakukan?
Anak : Apa yang ibu lakukan, aku akan melakukannya juga.
Ibu : Tidak, cukuplah kamu aminkan. Ibu hanya ingin berdoa, padamkan amarah oleh kesyukuran.
#4
Ibu : [menunduk] berdoa [dalam hati]
Anak : [menatap ibu] amiin [dalam hati]
#1
Ibu : Nak, pengemis itu tak percaya ibu tidak punya uang sepeser pun.
Anak : Kenapa, bu?
Ibu : Hanya karena baju yang ibu pakai terlihat bagus.
#2
Anak : Bu, Pak Guru tak percaya kalau aku nunggak SPP 2 bulan.
Ibu : Kok, bisa?
Anak : Katanya, wajahku tidak seperti orang miskin.
#3
Ibu : Nak, apa yang harus kita lakukan?
Anak : Apa yang ibu lakukan, aku akan melakukannya juga.
Ibu : Tidak, cukuplah kamu aminkan. Ibu hanya ingin berdoa, padamkan amarah oleh kesyukuran.
#4
Ibu : [menunduk] berdoa [dalam hati]
Anak : [menatap ibu] amiin [dalam hati]
Subscribe to:
Posts (Atom)