Saturday, May 19, 2012

Letter To Remember

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Taryanti Octaviani

Untuk sahabat yang selalu membuatku tersenyum…


Itu kamu, Tar.
Yang datang membawa keceriaan di tengah sumpeknya kelas kecil berisikan bocah-bocah tengil bin lincah. Teman-teman kita. Anak pindahan yang penuh percaya diri. Mengisi bangku kosong lajur tiga, lengkap sudah meja kita. Aku: (dulu) si pemalu, St. Faidzah Amalia: (dulu dan sekarang) si cantik dan baik hati, dan kamu, Taryanti: (selamanya) si ceria nan lucu.

Mengapa?
Haruskah aku bertanya pada Tuhan mengapa kita dipertemukan di SD 01, duduk sebangku terus hingga kelas enam, berteman, beranjak pada tingkat ‘sahabat’, saling mengunjungi rumah hingga keluargaku hanya mengingat kamu sebagai teman SD-ku, bertemu di SMP ONSIT meski beda kelas (komunikasi masih lancar, sampai lelaki yang disukai kita sama-sama tahuJ), bersua kembali di SMA MADOE (52) bersama-sama sibuk mengurus sekolah alih-alih mencoba mandiri tanpa bantuan orang lain diselingi bincang-bincang tentang masa depan di KWK (kita akan bersama kembali di UI, ingatkah kamu?), pergi dan pulang sekolah selalu bersama (aku terlalu takut untuk pergi sendiri) hingga malam terakhir aku datang ke rumahmu untuk pamit meninggalkan sekolah, meninggalkan Jakarta, dan yang berat adalah….meninggalkan kamu, sahabatku.

Tidak, Tar….
Aku takkan bertanya ‘mengapa’ karena semua kenangan itu adalah jawaban yang berbisik padaku, “Inilah takdir, maukah kamu percaya?”


Yah, aku percaya! Sangat!
Percaya bahwa kebersamaan kita adalah pelengkap cerita masa kecil yang memang dan harus dikenang.

Belajar bersama, kumpul-kumpul di rumah Ratna, di kejar Asep (mengejeknya si gendut) sampai harus ngumpet di kolong meja, jadi bahan ledekan Paklik (kamu tahu itu kan ‘Lativi tombol dua’) membuat gantungan dompet: kamu ‘Red’ aku ‘Blue’, bermain benteng, latihan senam poco-poco, pergi berenang dan kamu mendorongku ke kolam untuk anak-anak: aku tak bisa berenang, Tar) banyak sekali kepingan mozaik yang jika tersusun aku bisa gila karena menangis dan tertawa dalam waktu yang bersamaan.
Kita punya PR untuk menyatukan mozaik-mozaik itu dan menjadikannya utuh, ketika kita berjumpa dan duduk di samping rumahmu yang segar oleh tiupan angin sore, lagi.

Aku menunggu hari itu.

Ah, sudahkah kita bersyukur atas pertemuan bertahun-tahun silam maupun perpisahan empat tahun yang lalu? Kita patut melakukan itu. Aku baru saja melakukannya, setelah membaca tulisanmu, tentunya. (Terima kasih kembali, namaku masih ada dalam ingatanmu)

Tar, semoga kamu sedang tertawa seperti biasanya  jangan sepertiku. karena sampai disini aku berubah jadi melankoli amatiran dan membasahi keyboard dengan air mata. PayahL


Tar, ini adalah lembaran kedua untuk menulis tentang kamu…
Hari ini, jam ini, detik ini, aku hanya ingin menulis tentang kamu, dan bagaimana kamu mewarnai separuh perjalanan hidupku.

Ketika ada kesempatan kembali ke Jakarta, sejak dari bandara aku selalu terbayang satu rumah yang amat-sangat ingin aku kunjungi. Yaitu, rumahmu. Aku tak pernah melupakan rute menuju rumahmu yang bertahun-tahun lamanya aku lewati, tak jadi masalah Sarang Bango banyak berubah. Seperti kita, bukan lagi anak kecil berkucir dua yang mengoleksi bermacam-macam bando dan jepitan. Kita akan menyapa usia kepala ‘2’ dengan tampilan baru, pemikiran baru, masalah baru, yang pasti sebuah kehidupan baru. Lalu, dihadapkan banyak pilihan yang menentukan kehidupan kita selanjutnya. Aku berdoa yang terbaik untukmu.

Aku memilih untuk menjadi seorang penulis, bukan dokter sebagaimana cita-cita awal nan dadakan ketika guru bertanya. Dan biar kutebak, kamu sedang berjalan menuju puncak ‘teaterawan’, betulkah itu? Di SMA, aku tak habis pikir kamu memilih ekskul Teater, melihatmu berakting suatu kebanggaan memiliki teman seperti artis (hehehe)
Suatu saat nanti, maukah kamu memainkan sebuah drama dengan naskah buatanku? Aku akan mempersiapkannya, sebaik-baiknya demi kamu. Aku tunggu jawabannya.


Tar,
Bagaimana aku mengakhiri tulisan ini jika menekan tuts dan merangkai kisah kita adalah kebahagiaan yang menyejukkan. Mengingat kamu, mengingat persahabatan kita, mengingat sepeda tua kita, mengingat saat tertawa, saat menangis, saat marahan, saat baikan, saat tersipu malu, saat…. saat aku memohon pada Sang Pemilik Waktu agar memori ini jangan terhapus, jangan terkikis, tersamarkan, dan yang lebih menakutkan lagi jika harus terlupa dan menghilang dari ruang ingatan kita yang setiap hari penuh dengan memori baru. Jangan, aku tak mau itu.
Aku selalu berdoa pada-Nya, bantulah aku dengan doamu juga. Sampai saat dimana waktu yang memisahkan kita berbaik hati untuk menyatukan kita kembali, bukan untuk mengulang kisah lalu (karena yang lalu akan selamanya seperti itu) tapi untuk mengukir cerita baru, tentang kamu dan aku. Tentang, kita.


Di ruang kertas terakhir ini, aku ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untukmu Taryanti, sahabatku yang menjadi pelangi di dalam hidupku. Atas kesediannya berbagi tawa, menghapus air-mata, mengukir cita, juga kesempatan untuk tahu bahwa aku orang beruntung yang memiliki seorang ‘sahabat’ sepertimu.
Semoga tulisan ini dapat menggantikan sementara semua ucapan yang ingin aku utarakan padamu, juga seluruh rinduku padamu. Suatu saat nanti, sampai tak ada lagi jarak. Aku dan kamu di hadapan sawah yang menghijau. Terbentang. Yah, bicara tentang  apa saja asalkan bukan gosip kacangan, bagaimana kalau tentang masa depan, kesibukan, impian, kisah saat SD, SMP, atau siapa ‘dia’ yang ada di sampingmu dalam foto profil (hahaha)?

Ehm, Punya ide lain?

 Makassar, 30 Juli 2011

* selamat menjalankan bulan suci ramadhan, semoga bulan ini adalah bulan terbaik dari sekian banyak ramadhan yang telah kamu lalui....(amiin)

No comments:

Post a Comment