Saturday, May 19, 2012

DUA IBU


sumber gambar

Ada anak memiliki ibu, dia menangis. Ada anak tak memiliki ibu, dia menangis. Bagaimana jika dia memiliki dua ibu? Dua wanita yang mencintainya tanpa peduli darimana dia berasal. Dari rahim mana dia terlelap sembilan bulan. Atau, siapa dia.

*

“Firyal, apakah ibu terlihat cantik?” Hanum memoleskan sesuatu di pipinya. Lalu, tersenyum.
“Tanpa bedak pun ibu selalu terlihat cantik.” Ujar Firyal tegas. Menggenggam tangan sang ibu dengan erat seolah-olah tak ingin dia lepaskan atau terlepaskan. “Karena hati putihmu memancarkan kecantikan yang sesungguhnya.”

Bayangan Firyal yang mengecup kening sang ibu terpantul, indah. Dua insan. Dua senyum. Dua cerita yang masih terus berlanjut.

“Harus ada yang aku katakan padamu, nak…” Hanum menatap sendu cermin, menghitung gurat-gurat di wajahnya. Dirinya menua bersama rahasia yang tersembunyi dua puluh lima tahun lamanya.

Firyal mengeratkan genggamannya.

“Ada seorang wanita yang mencintaimu lebih dari apapun, selain aku.” Hanum diam sejenak lalu melihat reaksi Firyal yang penuh tanda tanya. “Wanita yang menyusuimu dua tahun lamanya. Merawatmu penuh kasih sayang sebelum aku mengambilmu dari sisinya.  Namanya, Melati. Apakah kau mengingatnya?”

Ada apa ini? Tangan Firyal mengendur. Getaran kecil merambat pelan membuatnya heran dan… takut.

“Apa yang ibu bicarakan?” kata Firyal seringan mungkin.

“Ibumu. Ibu sedang membicarakan ibumu yang lain.” Genggaman terlepas. Firyal menatap sang ibu.

Ibu yang lain? Aku tak mengerti.”

Hanum melanjutkan ceritanya, “Iya anakku, Melati adalah ibumu. Ibu yang telah mendonorkan satu ginjalnya untukmu. Yang berjalan puluhan kilo hanya untuk menatapmu dari balik pagar rumah ini. Dia mencintaimu tanpa ego untuk memilikimu. Karena dia mengerti bahwa masa depanmu adalah yang utama. Selanjutnya, akulah ibumu.”

Ibu…”

Tes! Entah siapa yang dimaksud Firyal dengan ‘ibu’ hingga air matanya jatuh. Dia terlihat bingung dan menjauh meninggalkan Hanum sendiri.


Ibu yang lain? Apa maksud ibu, tidak! Aku anaknya, Firyal Faiqh Brata. Tak mungkin ada dua ibu. Tak mungkin.


Firyal melempar kerikil kecil ke danau, tempat dia menenangkan  perasaannya yang  tak menentu. Seperti saat ini.

Melati…”

Satu jam berlalu… dan hanya ada satu nama memenuhi pikirannya. Melati. Jika wanita itu mencintaiku lebih dari apapun, mengapa dia justru meninggalkanku? Firyal bertanya-tanya. Lelah menyendiri tanpa jawaban, dia bangkit dan bergegas menuju satu tempat untuk menemui seseorang.

Ibu.

*

“Mengapa ibu merahasiakannya?” Tanya Firyal dingin. “Seperempat abad aku menghormatimu, engkaulah wanita yang paling aku cintai. Kenapa ibu tega melakukan ini padaku?”

Hanum tahu kebohongannya akan berakhir seperti ini, dia sudah menduganya. Namun rasa takut kehilangan akan anak kesayangannya lebih besar menghantui hidupnya. Brata, sang suami pun berpesan di akhir hidupnya untuk bersegera mengungkap rahasia tentang Firyal. Hanum baru bisa melaksanakannya sekarang, perlu waktu 12 tahun mengumpulkan keberanian.

“Firyal…”

“Aku ingin menemuinya.” Pungkas Firyal.

Hanum mengangguk,  pilu.


Berjam-jam  mobil silver itu menyusuri perumahan kumuh di ujung kota. Kaki-kaki kecil lincah bermain genangan air dan berhamburan saat ban mobil menggilas tempat bermain mereka. Tawa-tawa pecah dan saling mengejek muka mereka yang belepotan tanah.

Apakah aku pernah menjadi bagian dari kehidupan ini? Kakiku juga pernah menjejak tanah kotor ini. Melati, ibu…


Hanum memandang Firyal, “Maafkan ibu…” bisikannya ditelan deru mesin mobil juga teriakan bocah Gang Lestari.

Pak sopir baru saja selesai bertanya pada seseorang lalu beralih kepada Hanum yang mengangguk yakin. Mobil pun meluncur dan berhenti di depan rumah kumuh, entahlah apa gubuk reot itu patut disebut sebagai rumah. Hanum  merasakan pedih kala matanya menangkap sorot kesedihan di mata sang anak.

Hanum turun diikuti Firyal yang terlihat sedikit canggung. “Apakah ini…?” Tanyanya. Hanum mengangguk pelan, mereka berdua pun menguatkan hati menerima apapun yang akan terjadi setelah ini.

*

Detik-detik beku bersama kesunyian. Hanum. Firyal. Dan… Melati. Tak ada suara yang keluar dari mulut mereka, hanya ada tiga pasang mata yang saling melirik. Mata-mata yang tergenang keharuan hingga tak ada kata yang dapat mewakilinya.

“Ibu…” suara Firyal bergetar. Hanum dan Melati menoleh bersamaan, ketika pandangan jatuh pada Mata Firyal yang beruraian air mata,  tangis pun tak dapat lagi disembunyikan. Firyal berhambur memeluk Melati, wanita yang usianya tak jauh berbeda dengan Hanum. Namun tak ada kesejahteraan yang dapat menutupi penderitaan hidup yang tergambar jelas di tulang berbalut kulit miliknya.

“Anakku, anakku, anakku…” Tumpah sudah kerinduan Melati pada anak lelaki yang sangat ia cintai. Tubuh mereka bertautan penuh getar-getar kasih sayang. “Kau sangat tampan, betapa tingginya dirimu, kau terlihat sehat, matamu… jangan menangis nak, biarkan aku mengeja dirimu. Kau masih sangat kecil ketika,…”

Melati tak sanggup melanjutkannya. Tangannya terus membelai rambut hitam anak yang lama tak dijumpa.

“Mengapa, mengapa bu?”

“Maafkan aku,” Melati meminta persetujuan Hanum tuk bercerita. Anggukan didapatnya. “Sebelumnya, jangan pernah kau menyalahkan Hanum anakku. Ibumu tak bersalah. Akulah yang memaksanya untuk mengambilmu dariku, aku yang memutuskan semuanya untuk melepasmu dari kehidupanku yang kau lihat sendiri. Tidak ada yang dapat menjanjikan kehidupan terbaik untukmu di sini.”

Firyal menggeleng kencang, “Tidak bu, tidak, jangan katakan itu padaku. Engkau telah mengandungku, melahirkanku, atas dasar apa aku lari dari pengabdian anak kepada ibunya. Tidak, bu. Aku berhutang nyawa padamu.”

Melati diam. Dia belum tahu, batinnya.

Kalimat panjang Firyal membuat ledakan tangisan dari mulut Melati. Hanum tak mengerti apa yang terjadi. Berkali-kali Melati meminta maaf atas kebohongannya selama ini. Melati memiliki rahasia.

Rahasia…?

“Ada apa Melati, mengapa kau terlihat begitu tersiksa?” ujar Hanum. Firyal menatap sang ibu, rahasia apalagi yang disembunyikan darinya? Pikirannya begitu rumit.

Cerita itu mengalir, rahasia Melati yang sangat mengejutkan di antara isak dan parau suaranya. Cerita belum bertitik, namun Firyal tak sanggup lagi mendengarnya. Dia berlari sekuat tenaga meninggalkan gubuk tua bersama dua wanita yang menyimpan rahasia tentang dirinya. Melati dan Hanum.

Ibu…

*

Haruskah aku membenci mereka? Ibu yang selama 25 tahun membesarkanku penuh cinta, memberikanku kehidupan dan masa depan yang baik.

 Juga, Ibu yang lain yang merawatku selama dua tahun dan rela berbagi ginjal denganku. Tapi cerita hidupku belum usai. Wanita yang aku kira adalah ibu kandungku justru mengaku bukan ibuku. Bukan ibu kandungku! Dia hanya menemukanku di tempat sampah dengan ilitan tali pusar berlumur darah.

Hah, haruskah aku tertawa? Menertawai kisah malang diriku yang tak tahu dari mana aku berasal.

Hahaha, Firyal… engkau tak hanya memiliki dua ibu. Tapi, tiga. TIGA IBU! Atau mungkin ketika kau menemukan  ibu ketigamu bisa saja bertambah menjadi empat, lima, enam, atau ibu yang lain.

Firyal jatuh tersungkur di genangan coklat yang ditinggalkan bocah-bocah tadi. Dia tertawa dalam tangis. Aku punya dua ibu, tidak, melainkan tiga ibu. Haruskah aku senang atas itu? Kepada siapa bakti ini kuletakkkan? Dimana letak syurga yang harus kukecup?


Ibu…

***


Hmmm, duh, sinetron banget gak sih? :D

No comments:

Post a Comment