Monday, August 10, 2015

KHILAF


KHILAF


Oleh: Aisyah Istiqomah Marsyah


Sejak kulihat siluet ibu berdiri dengan tali tergantung di atasnya, kupikir hidup telah menjelma goa yang gelap tanpa penerangan –di kepala. Malam itu aku berlari keluar dari kamar antara bingung dan ketakutan, kupastikan apa yang kulihat sebelum pikiran terlanjur melumpuhkan. Di ambang pintu aku berdiri, menatap sosok ibu; kepalanya telah masuk dalam lingkaran tali yang disimpul sendiri, kakinya siap menendang kursi yang dipijaki, matanya terpejam melepas bulir-bulir air mata. Aku gemetar hebat, jika saja aku lupa berteriak, di umur sepuluh tahun aku telah menjadi piatu. Jika saja aku punya penyakit jantung, mungkin aku akan membersamai ibu: mati di malam hari.

*

            Tujuh tahun berlalu. Ibu masih ada, menyiapkan sarapan seadanya kala pagi, menungguku pulang di sore hari. Tak pernah ada yang membahas kejadian malam itu, “Ibu khilaf.” Semoga sekali saja ibu khilaf dalam hidupnya, doaku selalu sama saja, yang kupinta tak pernah lebih dari itu. Walau ingin sekali minta pada Tuhan untuk dihilangkan ingatan, setidaknya tak diberikan mimpi buruk setiap malam. Tapi, urung kulakukan. Aku hanya ingin ibu tak khilaf. Agar saat kumemandang jendela kamar, tak ada siluet apapun selain bayang pepohon di halaman belakang juga jemuran yang belum diangkat.

            Di rumah ini, ibu seperti menganggap ayah tak ada dan sebaliknya. Mereka seperti dua orang yang tak saling kenal terjebak dalam satu hunian. Saat masih kecil, kupikir mereka sedang marahan. Tidak ada satu pun kenangan yang bisa kuceritakan tentang kebersamaan kami bertiga. Selalu saja aku dengan ibu, atau aku dengan ayah. Bahkan setelah malam itu, aku seperti tak punya sesiapa. Ibu mengurung diri di kamar, ayah tak tahu rimbanya. Kuhabiskan waktu bersama Teddy –boneka kesayangan, menanyakan banyak hal padanya yang sampai detik ini tak pernah terjawab. Selebihnya, kupasrahkan waktu membentukku.

            “Apakah ibu dan ayah bertengkar?” tanyaku suatu sore. Keberanian itu entah dari mana datangnya –mungkin dibawa hujan tadi siang.

            “Tidak.” jawabnya singkat.

            Mengapa ibu menangis setiap malam? Mengapa ayah jarang pulang? Mengapa kalian tak pernah terlihat bersama? Mengapa bertahun-tahun kita hidup seperti ini? Mengapa malam itu ibu ingin bunuh diri? Mengapa...

            Kutatap sorot mata ibu yang kehilangan gairah hidup, maka kusumpal seribu pertanyaan di kepala yang berdesakan ingin keluar. Aku tak ingin hal buruk terjadi. Malamnya aku meringkuk di kamar menahan tangis, mimpi buruk seperti teman nakal –mendekapku sampai gigil seluruh badan.

*

            Di masa putih abu-abu ini, aku tak jua mengenal cinta. Takkan ada lelaki yang jatuh cinta pada gadis sepertiku, kata teman sebangkuku suatu hari.

            “Aku kenapa?” kutanyakan padanya.

            “Kau terlihat menyeramkan,” jawabnya sambil menunjuk diriku. “lihatlah dirimu di cermin, kau seperti penyihir. Kau tertidur setiap pelajaran dan bangun dengan teriakan ketakutan. Matamu selalu kosong, lelaki tak tertarik yang seperti itu.”

            Pulang sekolah kutatapi cermin, aku melihat gadis biasa saja di sana. Gaya rambut panjang tanpa model, kantung mata yang tebal dengan lingkaran hitam di bawahnya, kulit pucat dan keringat yang tak berhenti berproduksi, kakiku jenjang –lebih kepada kurus. Aku mencoba tersenyum, sambil membayangkan teman lelaki mana yang akan jatuh cinta pada senyumku.

Perlahan wajah ibu menegas, kudapati tatapannya seperti mengucapkan selamat tinggal, dan kakiku yang bergetar menujunya. Aku bersimpuh dan menangis ketakutan. Tanganku yang lemah menggapai-gapai. “Ibu, jangan...” aku memelas. Lalu bumi seperti berputar, menghisap aku dan ibu dalam sebuah pusaran, sedang kami berdua berpelukan sangat erat.

Aku tersentak. Waktu itu, kutinggalkan cermin begitu saja dan pergi mencari ibu. Di dalam kamar, dia duduk di dekat jendela, menatap jauh seakan ada perjalanan panjang sedang di laluinya –khayalnya.

Ingin rasanya berhenti resah, dan tumbuh menjadi seperti gadis seusiaku. Bercerita pada ibu tentang keinginan membeli minyak wangi dan pemoles bibir, tentang siapa lelaki yang mendekatiku –jika ada, atau setidaknya memiliki foto keluarga di dompet. Aku juga ingin dinasihati ayah, kemana seharusnya aku lanjut kuliah, nanti.

Sampai hari ini aku tak pernah mendapat kesempatan melakukan itu semua –mungkin takkan pernah.

*

            Ayah pulang. Seperti biasa, tanpa penyambutan. Dia membuka kulkas dan meneguk air dingin. Menengok isi lemari makan kemudian kamarku, dia tak berkata apa-apa. Mungkin hanya memastikan apakah aku baik-baik saja. Atau entah apa yang ada di pikirannya, aku ingin tahu.

            Tak lama, terdengar keributan dari kamar ibu. Suara ayah dan ibu meninggi, berteriak seperti lolongan penuh cacian.

            “Pergi dari sini, pergi dari hidupku! Aku muak melihatmu, bertahun-tahun aku bersabar menahan rasa perih ini,” untuk pertama kali kudengar mereka bicara, namun bukan ini yang kuharapkan. “jangan pernah datang ke sini lagi. Urus saja keluarga lainmu!”

            “Aku memang ingin pergi.” balas ayah sengit. “Kamu pikir aku bahagia, aku menyesal dijodohkan denganmu?! Kalau bukan karena Dian, aku sudah menceraikanmu sejak dulu.”

            Aku berdiri tak jauh dari kamar ibu. Semua terdengar jelas, membuat kakiku beku. Aku mencari-cari udara untuk bernafas, mengapa begitu sesak? Ibu masih berteriak sambil melemparkan barang, kudengar pecahan, dan benda berjatuhan.

            “Aku akan mengurus surat cerai.” pungkas ayah tegas.

         Sebelum pintu terbuka, aku telah lebih dahulu masuk ke dalam kamar, mengunci diri dan berharap ayah khilaf dengan semua perkataannya.

*

Ayah bahagia dengan keluarga barunya –sejak tujuh tahun yang lalu tepatnya. Sesekali menghubungiku, katanya rindu. Aku pura-pura membalas rindunya, jauh di dalam hati, aku ingin lupa siapa dia.

Ibu banyak berubah, pagi sebelum berangkat sekolah, dia menyisiri rambutku. “Bagaimana kalau kamu mengubah model rambutmu?” tawar ibu, kemudian dia mencium pipiku. Wajahnya sedikit lebih cerah, perceraian mengangkat bebannya. Harusnya aku senang –lama kuimpikan datangnya hari ini, tapi nyatanya tersenyum pun aku tak mampu.

Dan hidupku kini telah menjadi goa: gelap, lembab, dan dingin. Saat aku berteriak, gemanya memekak. Kalau aku menangis, seakan ada ribuan perempuan lain ikut menangis. Pernah aku berharap menjadi penyihir. Lalu kusihir diriku sendiri menjadi semut, terinjak manusia, dan mati dengan cepat.

Apakah boleh melakukan apapun sesuai kehendak tanpa mempedulikan orang lain? Apakah orang tua boleh khilaf sesuka hati mereka? Apakah seorang anak tak berarti apa-apa?” Teddy –bonekaku diam saja.

Suatu malam, kumencoba mendekatkan diri lagi pada Tuhan. Telah kuubah doaku, “Jangan biarkan aku khilaf, Tuhan.” Pintaku berkali-kali. Sebab kurasakan ada dorongan kuat yang jahat setiap melihat pohon di halaman belakang dan rasa mual yang tak tertahankan, kala mendapati orang tuaku bahagia –seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Kepada orang tua, saling menyelamatkanlah..

Jakarta, 12 April 2014
               

No comments:

Post a Comment