KHILAF
Oleh: Aisyah Istiqomah Marsyah
Sejak kulihat siluet ibu berdiri dengan tali
tergantung di atasnya, kupikir hidup telah menjelma goa yang gelap tanpa
penerangan –di kepala. Malam itu aku berlari keluar dari kamar antara bingung
dan ketakutan, kupastikan apa yang kulihat sebelum pikiran terlanjur
melumpuhkan. Di ambang pintu aku berdiri, menatap sosok ibu; kepalanya telah
masuk dalam lingkaran tali yang disimpul sendiri, kakinya siap menendang kursi
yang dipijaki, matanya terpejam melepas bulir-bulir air mata. Aku gemetar hebat,
jika saja aku lupa berteriak, di umur sepuluh tahun aku telah menjadi piatu.
Jika saja aku punya penyakit jantung, mungkin aku akan membersamai ibu: mati di
malam hari.
*
Tujuh tahun berlalu. Ibu masih ada,
menyiapkan sarapan seadanya kala pagi, menungguku pulang di sore hari. Tak
pernah ada yang membahas kejadian malam itu, “Ibu khilaf.” Semoga sekali saja ibu khilaf dalam hidupnya, doaku
selalu sama saja, yang kupinta tak pernah lebih dari itu. Walau ingin sekali
minta pada Tuhan untuk dihilangkan ingatan, setidaknya tak diberikan mimpi
buruk setiap malam. Tapi, urung kulakukan. Aku hanya ingin ibu tak khilaf. Agar
saat kumemandang jendela kamar, tak ada siluet apapun selain bayang pepohon di
halaman belakang juga jemuran yang belum diangkat.
Di rumah ini, ibu seperti menganggap
ayah tak ada dan sebaliknya. Mereka seperti dua orang yang tak saling kenal
terjebak dalam satu hunian. Saat masih kecil, kupikir mereka sedang marahan.
Tidak ada satu pun kenangan yang bisa kuceritakan tentang kebersamaan kami
bertiga. Selalu saja aku dengan ibu, atau aku dengan ayah. Bahkan setelah malam itu, aku seperti tak punya sesiapa.
Ibu mengurung diri di kamar, ayah tak tahu rimbanya. Kuhabiskan waktu bersama Teddy –boneka kesayangan, menanyakan
banyak hal padanya yang sampai detik ini tak pernah terjawab. Selebihnya, kupasrahkan
waktu membentukku.
“Apakah ibu dan ayah bertengkar?”
tanyaku suatu sore. Keberanian itu entah dari mana datangnya –mungkin dibawa
hujan tadi siang.
“Tidak.” jawabnya singkat.
Mengapa
ibu menangis setiap malam? Mengapa ayah jarang pulang? Mengapa kalian tak
pernah terlihat bersama? Mengapa bertahun-tahun kita hidup seperti ini? Mengapa
malam itu ibu ingin bunuh diri? Mengapa...
Kutatap sorot mata ibu yang
kehilangan gairah hidup, maka kusumpal seribu pertanyaan di kepala yang
berdesakan ingin keluar. Aku tak ingin hal buruk terjadi. Malamnya aku
meringkuk di kamar menahan tangis, mimpi buruk seperti teman nakal –mendekapku
sampai gigil seluruh badan.
*
Di masa putih abu-abu ini, aku tak
jua mengenal cinta. Takkan ada lelaki yang jatuh cinta pada gadis sepertiku,
kata teman sebangkuku suatu hari.
“Aku kenapa?” kutanyakan padanya.
“Kau terlihat menyeramkan,” jawabnya
sambil menunjuk diriku. “lihatlah dirimu di cermin, kau seperti penyihir. Kau
tertidur setiap pelajaran dan bangun dengan teriakan ketakutan. Matamu selalu
kosong, lelaki tak tertarik yang seperti itu.”
Pulang sekolah kutatapi cermin, aku
melihat gadis biasa saja di sana. Gaya rambut panjang tanpa model, kantung mata
yang tebal dengan lingkaran hitam di bawahnya, kulit pucat dan keringat yang
tak berhenti berproduksi, kakiku jenjang –lebih kepada kurus. Aku mencoba
tersenyum, sambil membayangkan teman lelaki mana yang akan jatuh cinta pada
senyumku.
Perlahan wajah ibu menegas, kudapati tatapannya
seperti mengucapkan selamat tinggal, dan kakiku yang bergetar menujunya. Aku
bersimpuh dan menangis ketakutan. Tanganku yang lemah menggapai-gapai. “Ibu, jangan...” aku memelas. Lalu bumi
seperti berputar, menghisap aku dan ibu dalam sebuah pusaran, sedang kami
berdua berpelukan sangat erat.
Aku tersentak. Waktu itu, kutinggalkan cermin begitu
saja dan pergi mencari ibu. Di dalam kamar, dia duduk di dekat jendela, menatap
jauh seakan ada perjalanan panjang sedang di laluinya –khayalnya.
Ingin rasanya berhenti resah, dan tumbuh menjadi
seperti gadis seusiaku. Bercerita pada ibu tentang keinginan membeli minyak
wangi dan pemoles bibir, tentang siapa lelaki yang mendekatiku –jika ada, atau
setidaknya memiliki foto keluarga di dompet. Aku juga ingin dinasihati ayah,
kemana seharusnya aku lanjut kuliah, nanti.
Sampai hari ini aku tak pernah mendapat kesempatan
melakukan itu semua –mungkin takkan pernah.
*
Ayah pulang. Seperti biasa, tanpa penyambutan.
Dia membuka kulkas dan meneguk air dingin. Menengok isi lemari makan kemudian
kamarku, dia tak berkata apa-apa. Mungkin hanya memastikan apakah aku baik-baik
saja. Atau entah apa yang ada di pikirannya, aku ingin tahu.
Tak lama, terdengar keributan dari
kamar ibu. Suara ayah dan ibu meninggi, berteriak seperti lolongan penuh
cacian.
“Pergi dari sini, pergi dari
hidupku! Aku muak melihatmu, bertahun-tahun aku bersabar menahan rasa perih
ini,” untuk pertama kali kudengar mereka bicara, namun bukan ini yang kuharapkan.
“jangan pernah datang ke sini lagi. Urus saja keluarga lainmu!”
“Aku memang ingin pergi.” balas ayah
sengit. “Kamu pikir aku bahagia, aku menyesal dijodohkan denganmu?! Kalau bukan
karena Dian, aku sudah menceraikanmu sejak dulu.”
Aku berdiri tak jauh dari kamar ibu.
Semua terdengar jelas, membuat kakiku beku. Aku mencari-cari udara untuk
bernafas, mengapa begitu sesak? Ibu
masih berteriak sambil melemparkan barang, kudengar pecahan, dan benda
berjatuhan.
“Aku akan mengurus surat cerai.” pungkas
ayah tegas.
Sebelum pintu terbuka, aku telah
lebih dahulu masuk ke dalam kamar, mengunci diri dan berharap ayah khilaf dengan semua perkataannya.
*
Ayah bahagia dengan keluarga barunya –sejak tujuh
tahun yang lalu tepatnya. Sesekali menghubungiku, katanya rindu. Aku pura-pura
membalas rindunya, jauh di dalam hati, aku ingin lupa siapa dia.
Ibu banyak berubah, pagi sebelum berangkat sekolah,
dia menyisiri rambutku. “Bagaimana kalau kamu mengubah model rambutmu?” tawar
ibu, kemudian dia mencium pipiku. Wajahnya sedikit lebih cerah, perceraian
mengangkat bebannya. Harusnya aku senang –lama kuimpikan datangnya hari ini,
tapi nyatanya tersenyum pun aku tak mampu.
Dan hidupku kini telah menjadi goa: gelap, lembab,
dan dingin. Saat aku berteriak, gemanya memekak. Kalau aku menangis, seakan ada
ribuan perempuan lain ikut menangis. Pernah aku berharap menjadi penyihir. Lalu
kusihir diriku sendiri menjadi semut, terinjak manusia, dan mati dengan cepat.
“Apakah boleh
melakukan apapun sesuai kehendak tanpa mempedulikan orang lain? Apakah orang
tua boleh khilaf sesuka hati mereka? Apakah seorang anak tak berarti apa-apa?”
Teddy –bonekaku diam saja.
Suatu malam, kumencoba mendekatkan diri lagi pada
Tuhan. Telah kuubah doaku, “Jangan biarkan
aku khilaf, Tuhan.” Pintaku berkali-kali. Sebab kurasakan ada dorongan kuat
yang jahat setiap melihat pohon di halaman belakang dan rasa mual yang tak
tertahankan, kala mendapati orang tuaku bahagia –seperti tak pernah terjadi
apa-apa.
Kepada orang tua, saling
menyelamatkanlah..
Jakarta, 12 April 2014
No comments:
Post a Comment