Tuesday, April 22, 2014

Berdiri Lebih Jauh




Cinta yang tak teraih selalu cinta yang paling kita dambakan.
(Elie Wiesel)

 *

Aku adalah penonton yang sedang menikmati dua insan bertukar sinyal, tentang remah-remah cinta bertebaran di jalan yang panjang. Mereka memungutinya dengan diam-diam, tanpa sadar -atau sengaja- mereka berjumpa kembali dan malu-malu mengakui.

"Kau menjumpainya?" aku tanyakan itu dengan ketenangan seperti biasa. Dia memberikan sedikit lawakan dan membiarkan aku tertawa, mengindahkan pertanyaan dengan elegan. Aku menonton kembali, mereka masih saling mencari.

Aku menangkap sinyal sesal dari kedua pasang mata yang dipisahkan keputusan. Mereka menggapai ketiadaan, lalu berpaling kembali pada pilihan. Dia duduk di sampingku, mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Padahal aku melihat kehilangan yang nelangsa, keinginan yang dirajam oleh pupusnya rasa. Lalu, aku mengangguk mengiyakan.

"Kembalilah padanya." aku katakan pada Dia berulang kali, di kesempatan aku menginginkannya pergi. Aku pikir kakinya kuat untuk terus berlari, tapi Dia tak berniat mengejar. Mereka memilih pada keyakinan, bahwa semuanya sudah usai. Tak ada yang perlu diulang, semua yang manis menjadi kenangan. Cukup tegar dan saling menelan pil pahit perpisahan. Mereka merasa sudah menjadi orang yang tahu diri.

Aku ingin menegaskan diri sebagai penonton. Seberapa pun jarak aku berdiri, aku hanya (ingin) menjadi penonton. Aku melihat apa yang aku lihat. Aku mendengar apa yang aku dengar. Aku merasa apa yang aku rasa. Apa-apa yang tak kuketahui, aku sisihkan sebagai rahasia; kubiarkan mengendap. Meski pada akhirnya, aku memilih berdiri lebih jauh. Berharap semuanya menjadi samar dan aku terselamatkan.

"Cinta yang tak teraih selalu cinta yang paling kita dambakan." Kalimat itu melintas tepat di depan mataku saat menatap mereka. Bertolak menjauh membawa harapan-harapan yang dikubur waktu, sambil terus berbisik pada angin mereka takkan saling melupakan. Bagai sembilu mengiris, kalimat itu muncul kembali saat aku menerima Dia dan senyumnya di suatu pagi yang gerimis. Datang menjelaskan betapa bersyukurnya Dia telah memilikiku. Lepas itu, aku pun terbakar oleh air mata. Dia menyebutnya haru. Aku pilu.

Aku adalah penonton. Apa yang aku saksikan seperti pisau tajam yang berulang menghujam, hanya saja aku tak pernah mati. Dan sepanjang hidup, aku menjadi cinta yang teraih; seperti kutukan bahwa aku bukanlah orang yang paling didamba. Dia.

*

Mksr, 23.04.14

No comments:

Post a Comment