"Ma," Saya langsung memanggilnya, segera setelah sambungan telepon tersambung. Jangan tanyakan maag, pinta saya gusar. "Assalamualaikum, iya Is kenapa?" Suara mama saya resapi sejenak, mendinginkan sepasang telinga yang akhir-akhir ini panas perintah. "Waalaikumsalam," Saya melewati salam rupanya.
Lengang sesaat. Saya biarkan mama memulai.
"Bagaimana kabarnya? Maagnya masih suka kambuh?" cemas merayap. Desahan kecil menguap, berhentilah mengkhawatirkan maag saya ma. "Iya, baik."
"Kok suaranya lemes banget?"
Itulah alasan saya menelpon mama.
"Is, kenapa?"
Saya capek, ma.
"Tunggu dulu, Azka nanti yah, mama lagi bicara sama kak Iis. Nanti yah Abbah, gantian.... aduh, Asiah tolong ambil dulu adik-adiknya."
Dua kurcaci cilik itu lagi, Azka dan Abbah, mereka pasti berebut mengambil handphone. Saya tertawa, tak lama. Kesibukan, keributan kecil di seberang sana mengganggu hati saya yang lama ditata untuk tak runtuh dalam kerinduan. Saya jauhkan handphone.
"Is, halo... Iis?" Saya menangkap suara mama. "Iya, ma."
"Kenapa? Bagaimana kegiatannya di sana?" Masih dengan gangguan di sekitarnya, mama lanjut bicara. "Is, kamu harus bersyukur kalau banyak kegiatan. Berarti itu masih ada yang bisa dikerja, jalani dengan ikhlas, paling nggak enak itu kalau nggak ada kerjaan sama sekali."
Itu dia! Ah, inikah yang dinamakan ikatan batin? Dahsyat sekali rupanya, memahami tanpa bicara. Mengerti hanya lewat getaran suara. Sebab kami pernah satu ragakah, satu darah, satu hembusan nafas?
"Iya, ma." Kata itu yang lancar keluar. Mama melanjut lagi. Saya mendengar saja, seksama. "Ma, sudah dulu yah. TM-nya udah mau abis, salam untuk semua. Assalamualaikum."
Saya tutup setelah jawaban salam. Sibuk mengelap pipi yang basah, menyingkirkan handphone, menatap tugas-tugas yang lama saya abaikan. Bersyukurlah, masih ada kerjaan. Saya mengangguk, sampai saat ini mama selalu benar.
Lelah menguap.
Sebab inikah kita pernah dalam satu raga, satu darah, juga satu hembusan nafas?
Makassar, di perantauan.