TANGISAN TERSEMBUNYI
Hiks, hiks,
hiks…
Naura tersentak,
“Arghhh…” Keringat membanjiri tubuhnya yang terbungkus seragam sekolah lengkap.
Teriakannya berhenti, pelan terdengar nafasnya yang memburu, kedua bola mata
perempuan itu liar mencari sumber tangisan yang baru saja dia dengar. Menoleh
sembarang lalu menekuk lututnya yang bergetar hebat.
Tenang Naura,
tangisan itu hanya mimpi. Tapi mengapa, mengapa tangisan itu selalu
mendatangiku…?
Naura merintih,
keremangan cahaya kamar menyamarkan gurat lelah di wajah pias miliknya.
Tangisan itu hadir dalam hidupnya sejak dua bulan lalu, dimana pun dia berada
tangisan itu seakan-akan membuntutinya tak peduli betapa ingin dirinya tidur
dalam ketenangan atau sejenak menutup mata. Banyak perubahan terjadi seiring
kehadiran tangisan yang entah dari mana asalnya. Rasa sakit bertambah lantaran
hanya dia yang mendengarnya, julukan pembohong pun dicapkan padanya. Tak ada
yang peduli, tidak juga ayahnya yang datang dan pergi tanpa sapa. Sepi.
Naura mengusap
dahi, perlahan menarik selimut sebatas leher dan membiarkan kakinya yang masih
memakai sepatu terjulur pasrah. Ibu… Naura berbisik pada dirinya
sendiri, kemudian mencoba kembali tidur. Matanya terpejam.
Naura masih
terjaga.
*
Ketika keluar dari
kantor kepala sekolah matanya bertemu dengan mata Naura yang memelas,
menunggunya sejak tadi.
“Bisakah kamu tak
mempermalukan ayah.” Ucap Haris dingin.
“Maaf. Saya tak
bermaksud untuk bolos Yah, tangis itu-”
“Tidak ada
tangis-tangisan Naura. Hentikanlah imajinasimu! Ayah lelah mendengar ocehanmu
tentang suara tangis aneh itu.” Naura ingin mengucapkan sesuatu, namun tertahan
desisan sang ayah. “Aku terlalu sibuk untuk datang lagi esok, kamu telah
mengganggu pekerjaan ayah.” Haris melewati Naura yang menggigil dingin, sayup-sayup
suara tangis itu datang lagi. Naura berlari tanpa tujuan.
*
“Mengapa kalian
menjauhiku?”
Dian, Renata, dan
Sandy saling melirik, di hadapan mereka berdiri Naura dengan tatapan tajam. “Kami
tak pernah menjauhimu Naura, justru kamu yang menutup diri dari lingkungan
sekitarmu.” Kata Dian. Renata mengangguk setuju.
“Kami tahu kamu
merasa kehilangan dengan kepergian ibumu, tapi dua bulan telah berlalu Ra, kamu
malah semakin aneh.” Sandy menambahkan.
“Jangan
bawa-bawa ibuku! Bilang saja bahwa kalian tak ingin berteman lagi denganku. Aku
pikir kalian sahabat sejati, tapi tak kusangka kalian hanyalah sekelompok
penjilat yang mendepakku begitu saja. Aku benci kalian.”
Naura mendengar
kembali tangis itu, entahlah kepada siapa dia dapat membagi rasa takutnya jika
keempat teman yang dipercayainya justru meninggalkan dirinya sendiri.
*
Sudah tiga hari
ini Naura kurang istirahat, matanya sayu dikelilingi warna hitam, tubuhnya juga
terasa lemas. Tak ada daya.
Hiks, hiks,
hiks…
“TIDAAAAK…” Naura
tersentak, matanya yang baru saja terpejam membelalak ngeri.
“Ada apa Naura?”
Tanya Ibu Yasmine.
“Suara tangisan
itu datang lagi bu…” Lirihnya.
Ibu Yasmine
mengangkat bahu, seolah berkata ‘tak ada tangisan, tak ada suara’
“Oh, ternyata putri
tidur kita terbangun karena tangisan lagi… hahaha. ” Timpal teman lelakinya.
Tawa-tawa pecah.
Naura mematung, tak tahu dengan cara apalagi
dia menjelaskan tentang tangisan pilu yang didengarnya. “Tangisan itu, tidakkah
kalian dengar. Hanum, suara itu sangat jelas seharusnya kau dapat
mendengarnya!” desak Naura. Hanum teman sebangkunya menggeleng lemah.
“Tidak ada suara
apapun Naura.” Kata Ibu Yasmine cemas.
“Jangan bohong bu.
Anda pasti mendengar suara itu kan? Kalian semua diamlah, tolong dengarkan
baik-baik seseorang sedang menangis, tangisan yang sangat menyayat hati, tidak ada tangisan yang lebih memilukan… ah,
kalian harus mendengarnya.” Kelas menjadi gaduh, Naura semakin histeria. Ibu Yasmine dibantu teman yang lain mencoba
menenangkannya. “Tidak bu, aku tidak bermimpi atau menghayal. Suara tangis itu
benar-benar ada dan sangat jelas bu, aku mohon, teman-teman bantulah aku
mencari asal suara itu. AKU MOHON!”
Jendela kelas
dipenuhi mata-mata yang mengintip pertunjukkan aneh gadis cantik yang berlari
kesana-kemari, memeriksa semua laci meja, tas-tas, juga lemari buku. Apalagi
kalau bukan untuk mencari sumber tangis itu.
Naura sudah
gila…
Bisik-bisik pun didengungkan juga ungkapan belas kasihan dari segelintir siswa
yang ketakutan melihat teman mereka layaknya orang kesurupan. Kasihan,
cantik-cantik kok nggak waras…
Pertunjukkan
Naura belum selesai, tak lama…
Hiks, hiks,
hiks, ibu…
Kali ini
tangisan pilu yang sering dibicarakan Naura memang terdengar jelas di sana, semua
yang hadir mendengarnya tapi suara itu tidak tersembunyi seperti apa yang
dicari Naura melainkan keluar dari mulutnya sendiri.
Dia menangis
sejadi-jadinya, tangisan itu teramat memilukan bagi para penonton yang
mendengarnya tidak terkecuali Haris, Sang Ayah yang baru saja datang setelah
mendapat panggilan dari Kepala Sekolah. Haris
selama ini tak percaya dengan keluhan guru-guru mengenai keadaan Naura yang berprilaku
‘aneh’. Memang sejak dua bulan lalu selepas kematian Fiona istrinya yang
merupakan ibu Naura, Haris bermasa bodoh dengan keadaan Naura. Dia terlalu
egois hingga yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana melupakan kepedihan itu
dan lari dari kenyataan. Dia lupa bahwa Noura sang buah hati juga terluka dan
perlu perhatiannya.
“Maafkan Ayah,
nak..” Kenang Haris sambil berjalan mendekati Noura yang bersimpuh di lantai.
Noura berkata
dalam tangisnya, “Ayah dengar kan tangisan itu? Ayah dengar kan…” Haris memeluk
Noura dengan erat. Iya anakku, ayah
mendengarnya. Tangisan itu adalah tangismu, kau menyimpan dukamu sendiri.
“Jangan menangis
lagi, nak. Ayah sayang padamu.”
“A.. a.. ayah
tidak marah padaku? Ayah tidak membenciku kan? Kau tak pernah menyapaku seperti
dulu, kau selalu pergi meninggalkanku. Aku takut tangisan itu selalu memenuhi
kepalaku.”
“Tidak Naura, ayah
mencintaimu. Ayah menyesal telah mengabaikanmu. Izinkan ayah membayar semua ini…”
Haris tertikam
sesal. Bagaimana bisa dia melupakan Naura yang juga terluka kehilangan ibu yang
sangat dicintainya, lihatlah yang terjadi sekarang gadis kecilnya tertawa dan
menangis sendiri. Haris ikut mengurai air mata kepedihan.
“Hahaha, kalian
dengar kan tangisan itu? Kalian semua sekarang percaya padaku, aku tak
berbohong… tangisan itu, tangisan yang sangat memilukan. Hiks, hiks, hiks…”
Semua mata
digenangi air.
Tapi hanya
tangisan Nauralah yang dapat memilin sesal di hati-hati mereka.
Ibu…
***
Cerpen 4 tahun silam, wkwkwk alayy ronggg :D