Monday, November 5, 2012

[Cerpen(bung) Coba-Coba] #1



TETAPLAH MEMANGGILKU FATIMAH


Namaku Kirana Fatimah Dewi. Terlalu panjang, protes orang-orang setelah mendengar aku menyebutkannya. Oleh itu, aku memiliki banyak nama panggilan. Bapak dan ibu memanggilku Rana. Teman-teman di sekolah akrab dengan panggilan Dewi. Lain lagi dengan kakek dan nenek dari pihak ibu, mereka lebih suka menjuluki dengan Dede, katanya itu panggilan sayang biar aku terlihat kecil dan terus menjadi cucu tersayang mereka. Berapa kali aku mencoba protes, gara-gara aku cucu satu-satunya dan takkan ada lagi cucu setelahku –ibu anak tunggal dan rahimnya harus diangkat setelah melahirkanku- Tapi, aku selalu kalah. Tepatnya, mengalah. Siapa yang bisa melawan senyum ‘MAUT’ mereka.
            Satu hal lagi, dari tiga suku kata yang terangkai dalam namaku yang panjang ini, tidak ada seorang pun yang memanggil nama tengahku. Fatimah. Bukan hal yang merisaukan, tapi aneh saja terasa.
            ‘Kedengaran jadul sih.’ Ujar Medita, saat aku menanyakan alasannya. Dan jawaban teman sebangkuku itu tak jauh beda dari jawaban teman yang lain. Ibu dan bapak sendiri tak punya alasan yang jelas.
Aku mulai melupakan hal itu sampai suatu hari seseorang menyapaku, bagai sihir, karena mulai detik itu juga suaranya selalu berdengung di telingaku. Suaranya yang lembut namun tegas. Memanggil nama tengahku.
‘Fatimah.’

*

Fatimah!’
Dia memanggilku lagi. Suara itu, suara yang mampu membuat perutku mulas tak karuan seperti saat ini. Haruskah aku berbalik, membiarkan dia melihatnya, sementara aku tahu wajahku bak kanvas yang tertumpah cat merah jambu. Merona.
‘Fatimah! Kamu dengar panggilan saya atau pura-pura tuli, hah?!’
Perlahan aku membalikkan badan. Dia yang memanggilku ‘Fatimah’ tengah berdiri beberapa meter dari hadapanku sekarang. Cepat-cepat aku menunduk, walau sebenarnya aku lebih suka menatap wajahnya yang teduh dan menenangkan.
Suara jejak sepatu yang beradu dengan lantai semakin membuat perutku mulas. Aku belum sanggup mendongak tuk menghadapinya. Dia menuju ke arahku, aku bisa merasakannya. Dia semakin dekat. Ada apa denganku?
‘Fatimah, ada apa denganmu. Apakah kamu telah membuat sebuah kesalahan? Mengapa setiap saya memanggil namamu, kamu seperti orang ketakutan?’
Aku menggeleng lemah.
‘Kalau begitu, angkat wajahmu dan lihat saya jika sedang berbicara. Apakah kamu tak menganggap saya sebagai gurumu?’ suaranya terdengar begitu tegas. Buru-buru aku mendongak dan pandanganku jatuh tepat di dasinya yang berwarna biru tua, amat serasi dengan kemeja biru muda yang dikenakannya.
Dia tinggi sekali. Aku hanya sebatas dadanya yang…bidang. Ah, apa yang aku pikirkan. Dia gurumu, Rana! Besikaplah sebagai seorang murid pada gurunya.
‘Ada apa, Pak?’ Aku melirik wajahnya sekilas, lalu beralih ke ujung sepatuku. Aku mulai bertingkah seperti dia, selalu bersikap seperti itu. Memandang kami sekilas kemudian melempar pandangan ke arah jendela atau langit-langit kelas. Tak seperti guru lainnya. Cara mengajarnya berbeda.
‘Hari ini Pak Syahrul izin, urusan keluarga. Sampaikan pada temanmu yang lain, kerjakan halaman 23 bagian A saja. Bel berbunyi kamu kumpul dan bawakan ke meja saya, mengerti?’
Aku mengangguk.
‘Fatimah, berapa kali saya bilang, anggukan dan gelengan itu bukan jawaban yang sopan. Bicaralah, apakah kamu mau Tuhan mengambil nikmat berbicara yang Dia berikan?’
            Aku menatapnya dan menggeleng cepat. Ups! Keningnya berkerut. ‘Maaf, Pak. Maksud saya, saya mengerti.’

            Aku berjalan cepat menuju kelas. Koridor-koridor terasa menyempit dan semakin panjang saja. Perutku sudah tak mulas lagi, tapi sesuatu yang perih merasuki relung hatiku. Ada yang salah di sana. Aku menyadarinya. Seperti aku sadar akan perubahan diriku setiap berhadapan dengannya. Tapi, betulkah ini sebuah kesalahan? Aku belum yakin tentang ini.
Aku memasuki kelas dengan langkah gontai. Melihat kelas yang ribut dan tak teratur, jiwa kepemimpinanku sebagai ketua kelas mendadak muncul.
Brakkk!
‘Hai, diaaaaam…’ Aku menatap satu per satu penghuni kelas paling ‘hancur’ dari delapan kelas yang ada. Sayangnya, aku harus rela terjebak di sini dan ditunjuk menjadi ketua kelas lantaran namaku paling panjang. Alasan yang tak logis. Se-tak logis dengan keberadaan kelas yang bisa-bisanya dipenuhi begundal-begundal cilik.
Katanya, kelas 1-8 itu: kelas buangan, kelas istimewa dengan tanda petik, kelas marginal yang benar-benar berada di pinggir, dan kelas terakhir dengan prestasi teramat terakhir di mata guru-guru. Aku menyesal harus mengiyakannya.
‘Kerjakan tugas A hal 23. Bel bunyi, semua harus sudah kumpul. Lewat satu detik saja, aku tidak terima. Mengerti?!’ Beginilah gaya kepemimpinan yang aku terapkan. Bersikap layaknya Gengish Khan yang mentitahkan rakyatnya dengan sangat kejam.
‘Aku tak butuh anggukan. Mana suara kalian, apakah kalian mau Tuhan mencabut nikmat-Nya dan membuat kalian semua bisu?’
Teman-teman bergidik ngeri. Serempak menjawab ‘Ngerti, bos!’ dan tak butuh waktu berapa lama untuk mereka kembali pada keadaan semula. Ribut dan tak teratur.
Hah? Ampun Tuhan…

*

            Aku menghempaskan tubuh di ranjang yang empuk. Getaran itu masih terasa mengalahkan rasa nyeri yang sempat mendera tangan kananku. Saat aku membawa tumpukan buku dan masuk ke dalam ruang guru. Di sana, di meja paling ujung, Pak Ali tengah membaca buku. Sementara guru yang lain asyik mengobrol, tapi kelihatannya dia tak merasa terganggu sedikitpun. Padahal, tawa Pak Idris benar-benar membahana, entah hal lucu apa yang sedang para guru bicarakan hingga salamku pun tak ada yang menjawabnya.
            Mengucap salam pelan. Berjalan pelan. Mengangguk pelan pada Ibu Ratna yang sekilas melihatku lalu sibuk tertawa lagi. Pelan yang berlebihan justru menambah grogi, kakiku tersangkut kaki kursi yang tergeletak sembarang. Gubrak! Aku jatuh tersungkur di antara kumpulan buku.
            ‘Auww…’ Aku meringis kesakitan.
            Suasana tiba-tiba terasa hening. Tanpa melihatnya, aku sadar semua mata pasti sedang manatapku.
            ‘Kamu nggak apa-apa, kan?’ terdengar teriakan dari seberang sana. Aku buru-buru bangkit dan bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja. Obrolan yang sempat terputus, dilanjutkan kembali setelah seseorang berceletuk, ‘Intermezo!’ disambut riuh tawa. Aku manyun.
            ‘Kamu ini perempuan, Fatimah. Jangan terlalu ceroboh.’ Ternyata Pak Ali sudah ada di dekatku, membantu membereskan buku-buku yang bertebaran. ‘Sebaiknya kamu ke UKS. Tadi, tanganmu jatuh lebih dulu menopang badanmu. Periksalah, takut terkilir.’
            Apa? Perasaanku berkecamuk. Antara malu dan senang, aku tak bisa memisahkannya. Kehilangan muka lantaran jatuh di depannya, sekaligus senang karena dia ‘takut’ dan mengkhawatirkan tanganku. Namun, rasa senang sepertinya mendapatkan porsi lebih besar.
            Semua guru pasti bersikap seperti itu pada muridnya yang terjatuh, Wi. Medita menilaiku terlalu berlebihan mengartikan perhatian Pak Ali. Tapi guru-guru lainnya yang ada di ruangan itu tidak. Aku membela diri. Karena kamu mengganggu mereka. Dan, Pak Ali sudah terbiasa diganggu oleh kecerobohanmu itu. Pungkasnya.
            Apa betul aku hanya ke-geer-an saja? Aku menatap langit-langit kamar. Mencari jawaban di atas sana. Namun yang aku dapati, hanyalah sebuah perasaan yang seolah-olah mulai tumbuh di hatiku. Seperti perasaan yang pernah aku rasakan pada teman lelakiku semasa SMP, namun ini berbeda. Perasaan ini teramat dalam untuk anak seusiaku, dan bukan untuk lelaki seusiaku juga. Melainkan lelaki berumur 29 tahun yang empat belas tahun lebih tua dariku. Yang lebih mengejutkan lagi, lelaki itu guruku sendiri dan perasaan itu tumbuh hanya karena dia memanggilku ‘Fatimah’ Hanya itu.

           
[To be continue]



2 comments:

  1. panjangna ntu kodonk...
    ndak ada juga gambarnA....
    maaf di' saya ndak membacanya....

    ReplyDelete
  2. hahaha ora opo-opo...

    yang penting dikomengggggg :D

    ReplyDelete