Namanya
Pluto. Aku yang menamakannya, dia terima begitu saja. "Apapun darimu,
aku suka." gombalnya kesekian kali yang pula ku(coba) hiraukan berjuta-juta
kali. Dia lelaki tampan dengan banyak sangsi dariku. Cerewet.
Humoris menjurus narsis. Ada luka garis panjang di pelipisnya, itu keren
menurutku. Dia teman, teman kecil yang amat besar di mataku. Dia ada di
sini, tak jauh dariku.
*
"Dunia
ini bermasalah kan, Plu?" tanyaku berhasil menarik pandangan Pluto. Dia
sibuk mengurusi telunjuknya yang kesusupan serbuk kayu saat membuat
figura. Aku kesal menunggu jawabannya yang lama. "Jawab dong!"
Plu
meringis meniupi telunjuknya. Dia berteriak ketika tiga batu kecil
mendarat tepat di kepalanya. "Auw! Auw! Auw!" dia mendatangiku sambil
mengusap-usap kepala. "Iya, Iyus. Dunia ini bermasalah, sangat malah.
Karena ada seorang perempuan cantik yang hobi melempar batu ke teman
tampannya." Dia bersungut memasang wajah galak, aku tergelak. Dia Pluto,
aku Merkurius. Sayangnya, dia memanggilku 'Iyus' itu aneh sekali dan
aku...menerimanya. Kesepakatan bodoh.
"Aku
serius. Selain karena tak ada es krim gratis di dunia ini, juga terlalu
banyak manusia yang ingin kembali ke masa lalu. Dunia ini diambang
kehancuran."
Semilir
angin menerpa wajahku. Pantai sejuk tapi panas. Di bawah lindungan
pepohonan aku memandang jauh ke pantai lepas. Ini hal yang serius sekali
bagiku. Hanya pada Plu aku ingin membaginya, karena dia dan
aku....aneh! Jadi tak ada lagi kerutan-kerutan di dahi saat kami
membicarakan suatu perkara, apa saja.
Aku
melanjutkan keluh, "Kamu tahu, Plu, kalimat 'aku ingin kembali ke masa
lalu' penuh bertengger di setiap sosial media yang aku punya. Kalau aku
ibu hamil, mungkin aku sudah muntah-muntah melihatnya." Plu mendengarkan
dengan serius kali ini, aku sedikit lega. "Untuk apa sih kita kembali
ke masa lalu? Emang bisa? Trus kalo bisa mereka mau ngapain? Trus-"
"Ehemm,
sebenarnya aku juga, aku ingin kembali ke masa lalu dan melihat
bagaimana kamu blepotan makan es krim dan hanya mengenakan can-" Tiga
butir batu mematahkan ocehan Plu. Ah, aku tertipu, dia belum menjadi Plu
yang serius. Dia meringis lagi.
"Plu, lihat batu-batu ini? Aku takkan segan melemparkan semuanya ke kamu!"
"Dunia
ini bermasalah, Iyus. Aku sepakat denganmu. Mari kita bicara baik-baik
dan biarkan aku duduk di sampingmu." Pluto menempati sisi kosong dan
menyender di batang pohon, tepat di sisiku. "Iyus," suara Plu menegas.
"Mereka bukan ingin kembali ke masa lalu karena masa lalu itu sendiri."
Aku
menegakkan sandaran. Plu serius sekali, aku membatin dan tersenyum
kecil. "Tuan Pluto, tolong jelaskan lebih lanjut!" perintahku. Plu
memonyongkan mulutnya.
"Begini,
Nona Iyus. Hari ini aku mengatakan cinta padamu, tapi kamu menolaknya
dan mulai menjauhiku. Kita tak sedekat ini lagi. Kita tak lagi saling
bicara. Kamu menghindariku karena kamu risih dengan pernyataan cintaku.
Nah, saat itulah aku berpikir, 'Tuhan, kembalikan aku ke masa lalu,
dimana aku bisa bermain bersama Iyus lagi, berbincang banyak hal, makan
es krim bareng, ketawa bareng, tak apalah dia tak tahu aku mencintainya
asalkan dia tetap menjadi temanku.' NAH!" Plu menepuk pundakku dan tertawa kencang. "Hahahahahaha, matamu hampir keluar. Hahahaha..."
"Pluuuuuuuuuuuuuu!!!"
Plu
berhenti tertawa. Dia melanjutkan penjelasannya sembari mengusap
lengannya yang telah dihujani cubitanku. "Tadi aku hanya ingin ambil
nafas, Iyus." aku mendelik, "Okeh, aku lanjutin. Nah, aku ingin kembali
ke masa lalu bukan karena masa lalu itu indah. Tapi, karena aku tak bisa
menghadapi 'ketidakindahan' yang ada di masa sekarang. Yah, ini soal
kesanggupan."
"Maksudmu, sejelek apapun masa sekarang, kalau kita sanggup menghadapinya, kita tidak akan meminta kembali ke masa lalu?" tanyaku.
"Tepat sekali. Sekalipun masa lalu itu sangat indah."
Aku terdiam, mencoba merenungi.
"Itu artinya, hanya orang-orang lemah yang ingin kembali ke masa lalu?"
"Itu
manusiawi, Iyus. Seberapa banyak pun orang yang ingin kembali ke masa
lalu, itu hanya menjadi hitungan kalimat penenang diri. Takkan ada yang
pernah bisa kembali. Jadi kamu tenang saja, dunia tidak akan hancur."
Plu berdiri, melangkah menuju pantai.
"Tapi,
Plu..." seruku. Plu berbalik. "Analogimu. Aku tak suka. Aku pikir dunia
sangat bermasalah sekarang, karena kamu menjadikan kita analogi yang
buruk. Kau dengar, Plu?!"
Pantai
menggelar ombak. Plu memainkan kakinya di pasir, sementara giginya
sibuk mecoba mengeluarkan serbuk kayu yang masih menempel di
telunjuknya. Kini aku ada di sampingnya. Aku terlihat semakin kerdil,
Plu... dia besar ah, maksudku tinggi sekali.
"Apalagi yang kamu risaukan, Nona Iyus?"
Aku
tersenyum manis pada Plu. Aku rentangkan tangan membiarkan angin pantai
memelukku dengan bebas. Sebentar lagi sahabat kami akan datang, senja.
Nanti, di jalan pulang, aku akan katakan pada Plu bahwa dunia akan
baik-baik saja selama dia selalu ada di sampingku.
*
"Ayo pulang!"
"Plu..."
"Apa?"
"Ehmm,"
"Kenapa? Dunia akan hancur lagi?"
"Iya. Tapi dunia akan baik-baik saja kalau-"
"..."
"-kalau kamu membelikanku es krim. Setiap hari."
Kami
berpamitan pada langit, setelah senja pulang lebih dahulu. Plu
mengangguk saja, bukan karena takut dunia akan hancur, tapi hari sudah
gelap dan ibuku akan mengomelinya jika memulangkanku setelat ini.
Rencanaku gagal. Aku tak bisa mengatakannya. Tak mengapa, selama kalian
tahu apa yang aku rasa, aku punya keyakinan kalian akan membocorkannya
pada Plu. Suatu hari nanti.
Jkrt, 141114