Thursday, November 13, 2014

Benarkah Kita Ingin Kembali Ke Masa Lalu?



  "Dunia akan hancur, Ah!"


Namanya Pluto. Aku yang menamakannya, dia terima begitu saja. "Apapun darimu, aku suka." gombalnya kesekian kali yang pula ku(coba) hiraukan berjuta-juta kali. Dia lelaki tampan dengan banyak sangsi dariku. Cerewet. Humoris menjurus narsis. Ada luka garis panjang di pelipisnya, itu keren menurutku. Dia teman, teman kecil yang amat besar di mataku. Dia ada di sini, tak jauh dariku.

*

"Dunia ini bermasalah kan, Plu?" tanyaku berhasil menarik pandangan Pluto. Dia sibuk mengurusi telunjuknya yang kesusupan serbuk kayu saat membuat figura. Aku kesal menunggu jawabannya yang lama. "Jawab dong!"

Plu meringis meniupi telunjuknya. Dia berteriak ketika tiga batu kecil mendarat tepat di kepalanya. "Auw! Auw! Auw!" dia mendatangiku sambil mengusap-usap kepala. "Iya, Iyus. Dunia ini bermasalah, sangat malah. Karena ada seorang perempuan cantik yang hobi melempar batu ke teman tampannya." Dia bersungut memasang wajah galak, aku tergelak. Dia Pluto, aku Merkurius. Sayangnya, dia memanggilku 'Iyus' itu aneh sekali dan aku...menerimanya. Kesepakatan bodoh.

"Aku serius. Selain karena tak ada es krim gratis di dunia ini, juga terlalu banyak manusia yang ingin kembali ke masa lalu. Dunia ini diambang kehancuran."

Semilir angin menerpa wajahku. Pantai sejuk tapi panas. Di bawah lindungan pepohonan aku memandang jauh ke pantai lepas. Ini hal yang serius sekali bagiku. Hanya pada Plu aku ingin membaginya, karena dia dan aku....aneh! Jadi tak ada lagi kerutan-kerutan di dahi saat kami membicarakan suatu perkara, apa saja. 

Aku melanjutkan keluh, "Kamu tahu, Plu, kalimat 'aku ingin kembali ke masa lalu' penuh bertengger di setiap sosial media yang aku punya. Kalau aku ibu hamil, mungkin aku sudah muntah-muntah melihatnya." Plu mendengarkan dengan serius kali ini, aku sedikit lega. "Untuk apa sih kita kembali ke masa lalu? Emang bisa? Trus kalo bisa mereka mau ngapain? Trus-"

"Ehemm, sebenarnya aku juga, aku ingin kembali ke masa lalu dan melihat bagaimana kamu blepotan makan es krim dan hanya mengenakan can-" Tiga butir batu mematahkan ocehan Plu. Ah, aku tertipu, dia belum menjadi Plu yang serius. Dia meringis lagi.

"Plu, lihat batu-batu ini? Aku takkan segan melemparkan semuanya ke kamu!"

"Dunia ini bermasalah, Iyus. Aku sepakat denganmu. Mari kita bicara baik-baik dan biarkan aku duduk di sampingmu." Pluto menempati sisi kosong dan menyender di batang pohon, tepat di sisiku. "Iyus," suara Plu menegas. "Mereka bukan ingin kembali ke masa lalu karena masa lalu itu sendiri."

Aku menegakkan sandaran. Plu serius sekali, aku membatin dan tersenyum kecil. "Tuan Pluto, tolong jelaskan lebih lanjut!" perintahku. Plu memonyongkan mulutnya.

"Begini, Nona Iyus. Hari ini aku mengatakan cinta padamu, tapi kamu menolaknya dan mulai menjauhiku. Kita tak sedekat ini lagi. Kita tak lagi saling bicara. Kamu menghindariku karena kamu risih dengan pernyataan cintaku. Nah, saat itulah aku berpikir, 'Tuhan, kembalikan aku ke masa lalu, dimana aku bisa bermain bersama Iyus lagi, berbincang banyak hal, makan es krim bareng, ketawa bareng, tak apalah dia tak tahu aku mencintainya asalkan dia tetap menjadi temanku.' NAH!" Plu menepuk pundakku dan tertawa kencang. "Hahahahahaha, matamu hampir keluar. Hahahaha..."

"Pluuuuuuuuuuuuuu!!!"

Plu berhenti tertawa. Dia melanjutkan penjelasannya sembari mengusap lengannya yang telah dihujani cubitanku. "Tadi aku hanya ingin ambil nafas, Iyus." aku mendelik, "Okeh, aku lanjutin. Nah, aku ingin kembali ke masa lalu bukan karena masa lalu itu indah. Tapi, karena aku tak bisa menghadapi 'ketidakindahan' yang ada di masa sekarang. Yah, ini soal kesanggupan."

"Maksudmu, sejelek apapun masa sekarang, kalau kita sanggup menghadapinya, kita tidak akan meminta kembali ke masa lalu?" tanyaku.

"Tepat sekali. Sekalipun masa lalu itu sangat indah."

Aku terdiam, mencoba merenungi.

"Itu artinya, hanya orang-orang lemah yang ingin kembali ke masa lalu?"

"Itu manusiawi, Iyus. Seberapa banyak pun orang yang ingin kembali ke masa lalu, itu hanya menjadi hitungan kalimat penenang diri. Takkan ada yang pernah bisa kembali. Jadi kamu tenang saja, dunia tidak akan hancur." Plu berdiri, melangkah menuju pantai.

"Tapi, Plu..." seruku. Plu berbalik. "Analogimu. Aku tak suka. Aku pikir dunia sangat bermasalah sekarang, karena kamu menjadikan kita analogi yang buruk. Kau dengar, Plu?!"

Pantai menggelar ombak. Plu memainkan kakinya di pasir, sementara giginya sibuk mecoba mengeluarkan serbuk kayu yang masih menempel di telunjuknya. Kini aku ada di sampingnya. Aku terlihat semakin kerdil, Plu... dia besar ah, maksudku tinggi sekali. 

"Apalagi yang kamu risaukan, Nona Iyus?"

Aku tersenyum manis pada Plu. Aku rentangkan tangan membiarkan angin pantai memelukku dengan bebas. Sebentar lagi sahabat kami akan datang, senja. Nanti, di jalan pulang, aku akan katakan pada Plu bahwa dunia akan baik-baik saja selama dia selalu ada di sampingku.

*

"Ayo pulang!"

"Plu..."

"Apa?"

"Ehmm,"

"Kenapa? Dunia akan hancur lagi?"

"Iya. Tapi dunia akan baik-baik saja kalau-"

"..."

"-kalau kamu membelikanku es krim. Setiap hari."


Kami berpamitan pada langit, setelah senja pulang lebih dahulu. Plu mengangguk saja, bukan karena takut dunia akan hancur, tapi hari sudah gelap dan ibuku akan mengomelinya jika memulangkanku setelat ini. Rencanaku gagal. Aku tak bisa mengatakannya. Tak mengapa, selama kalian tahu apa yang aku rasa, aku punya keyakinan kalian akan membocorkannya pada Plu. Suatu hari nanti.


Jkrt, 141114

No comments:

Post a Comment