Wednesday, March 19, 2014

p u l a n g


 "Pulanglah, senja sedang ranum-ranumnya."

*

Matahari yang pulang membawa terik, dirindui untuk milyaran detik. Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ai? Menunggu. Menunggu apa? Hidup penuh pengulangan, sementara setiap senja meranumkan langit, kita hanya mengulang pertengkaran yang sengit.

Bertukarlah kabar, Ai, bahwa kau tak sanggup tabah. Lelah. Kau punya ruang yang tak dimiliki kita. Kau berhak mengutuk-ngutuk gundah yang dicipta kita. Kau pulanglah juga, seperti matahari. Pula, bawa kesetiaan hatimu yang tak pantas terlunta. Karena aku lebih yakin matahari akan kembali, dibanding diriku sendiri.

Dalam bentuk pijar-pijar bintang, dalam pendar-pendar lampu kota, percik-percik kembang api, kerlap-kerlip lampu pesawat, darimana saja asal kebaikan hatimu tak terjebak gelap. Bahkan di pancaran matamu, matahari melembut menepis kabut.

Ini bukan soal malam pasti menjadi pagi. Ini tentang hati. Sebanyak apapun 'Aku mencintaimu' kita hembuskan dan pecah di kehampaan ruang, tetap saja tak membawaku pulang. Lalu, putih hatimu kembali tersakiti.

Jika detik ini telah kau rasakan bau malam, percayalah banyak hal baik bisa kamu ulang-ulang yang pantas terkenang. Sebelum itu, pulanglah... kepada kepastian yang bukan aku. Kepada kehidupan yang lebih terang tanpa keraguan, aku.

Mksr, 190314.

No comments:

Post a Comment