Wednesday, November 20, 2013

Dua Orang Asing Di Akhir November


Apakah aku bahagia? Apa aku baik-baik saja? Apa sarapanku enak? Apa hidupku berjalan lancar? Apa aku sedang merasa bersalah? Apa aku melewatkan sesuatu? Apa aku menyesal? Apa aku sudah baikan?

Apa semenyedihkannya hidupku hingga di beberapa hal aku bertanya pada diriku sendiri? Apa tak ada orang lain yang mau berbasa-basi untukku? Hahaha. Hei, bukankah aku malas berbasa-basi?! Tapi kenapa akhir-akhir ini aku menginginkannya, yah? Uff.

Hidup ini indah. Untuk perempuan rumit sepertiku, hidup menjadi lebih sinetron dari biasanya. Aku akan memikirkan banyak hal -imajinasi liar- dan meratap sendirian jika menyedihkan, lalu tertawa sendirian jika lucu dan membahagiakan. Dimana letak keindahannya? Mungkin di sana, di ke-sen-di-ri-an itu! 

Sepulang mengajar, di perjalanan pulang aku memilih jalan memutar. Jalan panjang yang memberikan banyak kesempatan untukku menemui banyak orang: pejalan kaki, teman, warga, anak-anak SD, penjual, dan orang asing lainnya. Sebelumnya, ada jalan singkat yang kulewati tiap waktu, jalan yang lengang tanpa siapa-siapa. Jalan itu adalah pilihan ketika aku malas bertemu siapa pun, malas membalas sapaan, malas bertanya-menjawab, aku menjadi manusia unsosial yang hanya memikirkan bagaimana aku bisa sampai di rumah dan pulang. Itu saja! 

Oia, di perjalanan panjang tadi, sambil menahan beratnya isi tasku juga batuk luar biasa yang membuatku kelihatan lebih tua, aku membuat satu harapan -yang mungkin terlambat- di akhir November. Jika sebelumnya, di bulan Oktober aku membuat 3 harapan dan hanya 1 yang terwujud -ah sepertinya aku sudah terbiasa tak mendapatkan apa yang aku inginkan- untuk kali ini, cukuplah satu saja. 

*

alangkah indahnya, jika pertemuan asing itu terjadi di sini. :)

Aku berharap, sebelum November benar-benar berakhir, aku bisa bertemu dengan 'orang asing' yah, asing! Orang yang tak aku kenal dan dia tidak mengenalku. Tak peduli dimana kami akan bertemu, di bangku taman, di pinggir danau, di mall, di masjid kampus, di mana pun aku tak peduli. Yang aku inginkan hanyalah dia harus orang asing, makhluk asing -jika ada- pun tak jadi soal.

Kami bertemu. Tanpa ada perkenalan, tanpa menyebut asal, agar kami tetap menjadi asing di sepanjang pertemuan. Lalu, kami bercerita banyak hal. Bukan mengobrol. Tidak ada interaksi dua arah, tidak, dan aku akan memulai lebih dulu tanpa aba-aba. Aku akan menceritakan SEMUA yang ada di kepalaku bahkan rahasia-rahasia yang sudah menahun, tentang rasa lelahku, kegelisahanku, kesedihanku, kebahagiaan, hal-hal kecil yang mengganggu hidupku pula hal-hal besar yang telah merusak hidupku. Orang-orang yang ingin aku temui, harapan-harapan selama hidup, menyebut satu per satu tanpa beban. Aku seperti tumpah, jika aku adalah air. Meluah-luah. Aku akan menangis, di bagian yang paling menyedihkan. Aku akan tertawa, di bagian yang paling lucu tentunya. Aku akan marah dan berteriak layaknya orang gila, jika rasa benci sudah melewati batasnya. Aku akan terdiam sejenak, mengambil nafas, dan menatap orang asing di sampingku yang setia mendengarkan seluruh keluh dan kesah. 

Kami tak membuat batas waktu, karena pertemuan ini akan berakhir jika memang waktunya berakhir. Pertemuan ini tahu, apakah semua sudah tuntas atau belum. Dari pihakku juga orang asing itu. 

Ah, orang asing itu bukan patung, tentu dia akan bereaksi mendengar ceritaku yang penuh emosional, tapi yang bisa dia lakukan hanyalah tersenyum-tertawa-geram-murung, yah sesuai dengan ritme ceritaku. Aku tak mengizinkan dia menepuk pundakku, mengusap air mataku, apalagi berbicara menanggapi persoalan hidupku. Yang orang asing itu boleh lakukan hanya MENDENGAR, hanya itu!

Jika sudah selesai semua yang ingin aku ungkapkan, maka orang asing itu akan memulai ceritanya juga tanpa aba-aba. Dia akan melakukan seperti apa yang telah kulakukan. Kami berganti posisi, kini aku yang menjadi pendengar. Yang menangis-tertawa-marah-benci-geram-sedih- dan menahan diriku untuk menepuk pundaknya, mengusap air matanya, atau yang paling berat adalah menahan mulutku untuk memanggilnya. Orang asing itu menceritakan banyak hal, sepertiku, dia bagai gunung Merapi yang memuntahkan lava. Lalu berhenti setelah merasa dirinya telah kosong, selesai.

Orang asing itu akan menatapku dan aku menatapnya. Kami adalah dua orang asing yang bertemu di akhir November. Kami adalah dua orang asing yang baru saja melepas beban. Dua orang asing yang siap menyambut Desember dengan segala keringanan hati. Aku bersyukur bertemu dengannya, mendengar cerita hidupnya yang ternyata -mungkin- lebih mengenaskan dari ceritaku. Aku pun belajar banyak darinya .Begitu pun dia.

Teng!

Pertemuan harus berakhir. Tak ada yang menghitung seberapa banyak waktu yang kami habiskan di pertemuan itu. Lalu, sedalam apa pun perasaan yang terjadi di antara kami nantinya, (bukankah sesebentar apapun pertemuan selalu melahirkan keterikatan emosi?) aku dan orang asing itu akan berpisah. Kami akan bertolak sesuai kedatangan kami, mungkin aku ke barat, dia ke timur. Aku akan pulang ke rumah dengan hati yang terasa ringan, namun pikiranku penuh cerita hidupnya. Dan orang asing itu juga sama. Kami benar-benar menjadi asing sejak bertemu hingga berpisah. Hingga tak ada ketakutanku, atau dia, cerita-cerita yang kami utarakan terbongkar. Dan tak ada dari kami yang mencoba menoleh, merusak pertemuan asing ini dengan menanyakan nama. Apalagi mencoba menghadirkan 'perasaan asing' yang membuat salah satu dari kami berontak dan memilih jalan yang searah. Itu semua tak (boleh) terjadi. Kami berpisah seperti halnya kami bertemu: asing!

Karena harapanku, hanyalah bertemu orang asing di akhir November. Bukan untuk bersatu. Hanya itu!

*

Mungkinkah harapan ini bisa terwujud? Hahaha, sudah kukatakan, banyak kali aku mendapati harapanku tak dapat kuraih. Aku terbiasa untuk itu, bukan berarti aku pasrah saja dan tak mau memperjuangkannya. Tapi, untuk harapan yang satu ini, aku tak tahu. Aku hanya berharap saja, dan melewati hari-hari di akhir November seperti seharusnya. Harapan ini aneh yah? Tentu saja. Aku juga aneh kok. :)


Siang, 20.11.13/13.08 Wita

NB: Terima kasih adik, An. Untuk celotehmu yang menginspirasi. Tetaplah tersenyum.... ^_^


sumber gambar

No comments:

Post a Comment