Terima kasih, telah mengajakku berwisata ke tempat-tempat yang menakjubkan. Semua indah. Terima kasih, kau terus menggenggam tanganku. Menceritakan semua yang kau ketahui; tentang langit, bintang, matahari, pelangi, dedaunan yang gugur. Menikmati jeda saat lelah di perjalanan; menatap gumpalan awan yang seputih kapas, suara nafas yang terengah, atau degup jantung berdebar tak beraturan.
Aku percaya padamu. Mengikuti langkahmu. Meski perjalanan panjang dan melelahkan, melihatmu dengan kesungguhan, membuatku yakin bahwa kita menuju suatu tempat yang lebih indah dari yang kita nikmati saat ini.
Namun, di sinilah aku sekarang. Di depan sebuah rumah dengan pintu tertutup: terkunci. Sendiri.
Aku harus bagaimana? Kau ada di sana, di dalam rumah itu. Aku tak tahu bahwa kau belum siap menerima tamu. Tapi, bukankah kau yang mengajakku? Tadi, kau memintaku untuk pulang saja. Membiarkan aku kebingungan menerima keadaan, sendirian.
Telah kuketuk pintumu, berkali-kali. Kumohon bukalah pintumu sedikit saja, dan katakan padaku jalan apa yang harus kutempuh untuk pulang? Aku ingin pulang. Ke tempat di mana aku bermula; sebelum kau mengajakku
pergi. Tapi aku tak tahu jalan pulang. Sepanjang perjalanan mataku hanya
berpusat pada keindahan yang kau tunjukkan.
Namun, kau tak pernah membuka pintumu. Menjelaskan padaku jalan pulang, juga alasan mengapa kau mengajakku pergi jika hanya untuk meninggalkan. Aku hampir putus asa, ketakutan menyelimuti. Aku mulai terisak dan menangis sesenggukan seperti anak kecil yang tersesat. Aku ingin pulang.
"Hei, kau yang di balik pintu. Baiklah, aku akan pergi bila itu keingananmu. Aku akan mengingat semua keindahan yang kau berikan dan mengakhirinya dengan cucuran air mata. Semoga kau juga mengingat isak tangisku, karena tak akan ada yang terpedih setelah ini. Selamat tinggal."
*
Tak usah khawatir apakah aku baik-baik saja. Aku pasti menemukan jalan pulang walau harus berkali-kali tersesat. Aku takkan menangis. Lagi.