Tuesday, January 15, 2013

Sinokdokhe





EMPAT MUSIM


Pertemanan dalam kebaikan adalah penolak bala mati kesepian.

Kadang kala, ada satu waktu dalam hidup yang mampu mengubah paradigma berlumut di kepalamu. Seperti kisahku, tentang empat manusia yang menasbihkan pertemanan. Seperti empat penjuru yang memiliki arahnya masing-masing. Serupa empat musim yang memiliki waktunya sendiri untuk bercerita. Aku dipertemukan mereka.

1.
Summer
Namanya kak Dani, dia perlu menukarkan cintanya untuk semangkuk bakso rica-rica. Kegalauan seakan menguasai semua tweet dan statusnya di jejaring sosial. Banyak kali diingatkan, semakin berulah dirinya. Namun sejajar pula doa kami, semoga dia menemukan penutup lubang di hatinya.
Hei, dia relawan sejati. Selalu mengatakan nakke dan menunjuk katte? Entah apa maksudnya. Siapalah aku mengajarkan pertemanan, hanya saja dimana kamu mendapati kekurangan namun tak mempersoalkan? Kak Dani mengajarkan hal ini pada kami.

2.
Winter
Orang unik setingkat di atas orang cerdas, papar guruku. Ah, tak dinyana lingkaran pertemanan ini diisi oleh Gading. Selalu ingin tampil beda dari orang lain, walau akhirnya terlihat aneh dengan membuat diri se-cool mungkin ketika yang lainnya pecah dalam tawa. Gading punya aura merah yang berlebih, meledak-ledak, yang menakutkan dia memiliki kejujuran tingkat dewa. Suka jika suka. Tidak bila tidak. Harus punya hati yang kuat untuk berteman dengannya. Dia unik bukan?

3.
Autumn
Lewati saja aku.

4.
Spring
Jika kak Dani bergerak di bidang kata-kata gokil, kak Irna selalu punya persediaan kalimat aneh yang mampu membuat kami mati kutu. Semoga tak benar dan tak salah pada waktunya. Silahkan memaknainya, jika otak kamu sudah siap tertusuk-tusuk jarum.
Oh yah, tidak ada yang bisa menghentikan tawa kak Irna kecuali dirinya sendiri. Ah, kuakui sangat menggelikan melihatnya menahan tawa.


***

            “Al, kamu sudah siap?”
            Tentu. Aku menutup buku. Meletakkan pena. Ada sangsi di wajah ibu, lalu aku kuatkan perkataanku dengan senyuman. Tak berhasil ternyata. “Yang sabar yah nak, kuatkan dirimu.” Pelukannya mengendur, tangisnya berubah isak ketika suara dokter menyapa kami.
            “Sudah saatnya, Al.”
            Jaga baik-baik bukuku, bu.”

***


            Setiap cerita memiliki masa. Aku pikir tak ada yang lebih baik selain berteman dengan sepi. Sungguh, Tuhan Maha membolak-balikkan hati. Aku lupa pada tanggal berapa aku memiliki teman. Teman yang nyata. Yang mampu membuatku keluar dari musim kesunyian, lalu memperlihatkanku pelangi selepas hujan. Ramai tawa di sepanjang obrolan. Hangatnya sebuah kebersamaan.
            Ada yang mengingatkanmu, menertawakan hal-hal aneh, marah-memarahi, semuanya aku dapat dalam koridor pertemanan. Sejak itu, sajak-sajak sepi memiliki porsi sedikit di bukuku.  
“Sekarang kamu tahu bagaimana caranya tertawa kan?”
Aku mendelik, “Hei, kalian pikir selama ini aku tak pernah tertawa?!”
“Ehm, karena ketika kami menemukanmu, wajahmu lebih tua sebelumnya. Kamu terlalu banyak melipat kening dan merengut. Bukan begitu, Gading?” kelakar kak Irna.
“Dan dia selalu tersesat. Menggelikan sekali.” Mereka tertawa puas mempermainkanku. Aku melempar pandangan. “Tobatlah secepatnya!” ketusku.
“Tobat itu, buah berwarna merah temannya cabe kan?” kak Dani memulai.
“Haha, itu tomat!” balas Gading. “Dan tomat itu, yang biasa dilakukan dukun. Tomat-tamit!” Aku tersedak.
“Bukan Gading, itu komat-kamit! Ah, kalian semua ini mulai deh penyakitnya pada komat.”
Serempak aku, kak Dani, dan Gading berteriak, “Itu Kumattttttttt!” Tawa meruntuhkan kejengkelanku. Sore itu, aku lupa rasa sakit yang menusuk-nusuk kepalaku. Sementara kak Irna lupa bagaimana menghentikan tawanya.


***


            “Apa yang kamu tertawakan, Al?” Mungkin kali pertama dokter melihat pasien yang akan dikemotheraphy tertawa lepas sepertiku. Raut wajahnya penuh kebingungan.

       Dokter, aku adalah Autumn. Di belahan bumi utara, pepohonan melepas daun-daun mereka seperti halnya rambutku yang menggugur. Dan matahari terbenam lebih awal. Hari-hari terasa lebih pendek. Aku bak musimku, dok.

            Kebingungan di wajah dokter bertambah dua kali lipat. Aku tersenyum.

           
***


            3.
            Autumn
Aku punya ingatan yang lemah, suka lupa mengingat tanggal, nomor telepon, nama jalan, dan banyak hal. Tapi di puncak rasa sakit ini, aku dapat mengingat jelas janji kak Irna untuk menjaga bukuku, kak Dani yang akan mentraktir bakso rica-rica, serta tawaran Jus Alpukat dari Gading. Senyum mereka. Tawa kami. Segala kenangan yang terukir. Mataku terpejam.
Aku bahagia. Karena aku tahu, aku takkan mati dalam kesepian.



[Ini hanya fiksi belaka,
kalo ada kesamaan nama, watak, tokoh yah anggap saja emang disengaja hehehe]



*Kupersembahkan untuk yang merasa saja. Tak lagi melempar bola, ini benar-benar gol... hehehe





No comments:

Post a Comment