Kelaparan adalah burung gagak. Yang licik dan hitam. Jutaan
burung-burung gagak bagai awan yang hitam.*
Bukk!!
“Berhenti ngoceh Item.
Makanya kerja, cari uang biar gak kelaparan!” Mata emak yang melotot tajam,
menyembul dari balik pintu. Dari mulut keringnya, keluar omelan panjang bak
koakan gagak hitam yang menakutkan.
Aku mengerang, mengusap kepalaku yang kena lemparan mangkok.
Untung saja mangkok plastik, kalau terbuat dari kaca, bisa pecah nih
kepala. Aku bergidik membayangkannya.
“Biarin, biar pecah sekalian batok kepalamu. Ngegombalin hidup
tiap hari, kelaperan tiap saat, nyusahin ajha jadi anak.” Aku tercekat, lho
kok emak tau isi pikiranku sih. “Gue kan emak lu item!”
Gue, lu?
Aku bersiap loncat dari bale-bale sebelum pertunjukan
itu dimulai. Benar saja, tak lama setelah pantatku lepas dari bambu-bambu reot,
jeritan panci yang beradu dengan ember terpantul-pantul di dapur. Keluar
melewati dinding bocor. Aku mendengarkan orkestra pagi dari balik pohon mangga
di belakang rumah. Dengan nafas memburu, aku menyesali keadaan yang sama tiap
hari. Isyarat kemarahan emak adalah perubahan katanya yang halus nan puitis
menjadi gaul anarkis. Berarti emak benar-benar mengamuk, kali ini. Lagi.
“Capek-capek gue nguliahin lu bertahun-tahun,
nggak ada hasilnya. Empet gue. Asem dah. Kerja Item,
kerja, berusaha sekuat tenaga atau siap-siap kita jadi gelandangan. Lu
mau lihat emak lu mati kekeringan, diuber-uber Engkong Sanip gara-gara
hutang kita udah kayak gunung Merapi mau meletus lagi. Item, Item…”
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan
mengaduh, Hidup adalah untuk mengolah hidup.*
Aku menggumamkan syair bang Rendra untuk kesekian kali.
Suara emak mulai samar terdengar, mungkin ia kehabisan tenaga, atau sedang
membereskan kekacauan yang dibuatnya sendiri. Tapi aku yakin, emak sedang
berpuisi dalam hati. Berapa kali pun ia menyatakan kebosanannya mendengar
syair-syair yang keluar dari mulutku, binar matanya berkata lain, ia akan
berbalik dan lirih menyambung puisi yang tak khatam.
Bapak adalah keturunan pujangga yang mahsyur di tanah Jawa,
bahkan sebelum mengenal bapak emak tak tahu apa-apa tentang puisi, namun mereka
disatukan oleh syair-syair dan menelurkan cinta puisi padaku. Rendra. Begitulah
mereka menamakanku. Berharap aku seperti si burung merak yang
mengembangkan sayap sastra. Aku suka harapan itu. Kerena aku mulai mencintai
puisi. Seperti emak.
Mengolah hidup, beritahu aku caranya bang Rendra.
###
Menjadi pengangguran adalah tekanan mental yang tak
terdeskripsikan. Apalagi gelar bercokol di belakang nama. Desakan emak juga
jeritan panci-panci menghantui. Sapaan menyakitkan tiga kali sehari, “Kerja
dimana sekarang, Ren?” Oh Tuhan, ada sembilan puluh sembilan pintu rejeki. Tak
ada satu pun yang terbuka untuk hamba sahaya ini. Atau, belum jodohku?
Aku menatap diriku di cermin. Dasi yang sama. Kemeja yang
lalu. Ikat pinggang peninggalan bapak. Ah, mengenakan pakaian terbaik untuk
melamar pekerjaan yang angkuh bak putri raja. Lagi. “Semoga saja hasilnya tak
sama seperti dulu-dulu.” Aku merapal doa. Sekilas mataku tertubruk pada mata
yang penuh kelegaan, kebebasan, memegang toga, menggenggam tangan emak. Aku
tertunduk. Malu pada diriku sendiri. Tiga tahun yang lalu, tak kusangka,
kiranya gerbang kesuksesan telah terbuka untuk pemuda bertitel ini. Tapi tidak.
Oh, belum. . .
“Emak,” panggilku dari balik pintu kamar yang tertutup
rapat. “Rendra, mau berjuang lagi. Doakan yah mak, mungkin sekarang rejekiku.”
Tak ada sahutan. Aku melenggang pergi penuh harap. Pagi buta.
Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan, anakku. . .*
Wanita bermukena putih bersimpuh di atas sajadah,
menyisipkan syair di antara rentetan doa. Melinangkan air mata dan mengusapnya.
“Bukan emak tak tahu perjuanganmu mencari pekerjaan, hanya emak tak ingin kamu
berputus asa dan berlindung pada syair di pagi, malam, siang hari. Seharusnya
syair-syair itu membangkitkanmu, bukan menina-bobokanmu.”
Fajar menyingsing. Emak membereskan panci-panci di dapur
yang tak sempat ia bereskan tadi malam. Bersajak dalam keremangan.
###
Aku tak pernah lagi memakai syair untuk menggombal wanita,
karena kutemukan sekarang mereka tak menoleh biar secuil pada sajak romantis.
Tanpa embel-embel yang lain. Makan tuh puisi! Begitulah hasilnya
ketika aku bermodal nekat membawakan sejumput puisi dari Khalil Gibran.
Aku mulai berpuisi untuk hidupku. Hidup yang mencari-cari
arah, seperti sekarang ini terjebak di kerumunan pasar tanpa tujuan. Aku lelah
mengetuk pintu-pintu lembaga, tidak ada lowongan mas, bosan aku
mendengarnya. Aku tak ingin pulang dengan tangan hampa, tak ingin mengecewakan
emak lagi. Aku akan ke rumah Bang Ijul menerima tawarannya untuk menjadi
kernet, menggantikan anak buahnya yang terjatuh kemarin. Entah, apakah ini
dapat menghapus rasa kecewa emak.
Berpuisilah di jalan, pujangga. Ujar Bang Ijul mantap sambil tertawa
kecil.
###
Suasana dapur sunyi. Emak tak mengatakan apa-apa mengenai
pekerjaan baruku. Susah payah aku menelan nasi, takut-takut ada panci nyasar
terlempar tepat di jidatku. Aku menunggu-nunggu. Tapi, tak ada yang terjadi
hingga suapan terakhir.
Apakah emak berpuisi dalam kebisuannya?
###
“Emak, apa emak nggak keberatan aku cuma jadi kernet.” Aku
membuka suara. Emak menoleh, menaruh baju yang sedang dijahitnya. Lalu,
menggeleng. Dahiku mengernyit, tak percaya.
“Aku masih mencoba mencari pekerjaan lain. Menjadi kernet
bukan pilihan terakhirku, mak. Pekerjaan ini lumayan sulit dan sangat
melelahkan.”
“Semuanya akan beres. Pasti beres. Mengeluhkan keadaan tak
ada gunanya. Kesukaran selalu ada-” Emak membaca penggalan puisi, Sajak Potret Keluarga, digantung dengan senyuman.
“Itulah yang namanya kehidupan.” Sambungku. Emak mengangguk.
Malam itu, rasa lelah dari segala kepenatan di jalan terlupakan. Hanya ada
senyum emak yang menggantung di langit-langit kamar. Kami berpuisi.
###
Kehidupan seperti pecahan huruf, sang pujangga akan
merangkai kata, kata dipilin menjadi kalimat. Berbuah bait. Menggabungkan
bait-bait dan memformatnya menjadi bab. Bab kehidupan baru Si Item.
Orang-orang terpukau. Mengelu-elukan namaku. Menyimpan
baik-baik kata per kata dari sang pujangga yang berorasi dengan diksi manis
semanis madu. Dipayungi bendera perpaduan tiga warna, aku menatap ribuan pasang
mata yang menanti kelanjutan ucapanku.
“Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap
dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan.*”
Semua
mengacungkan tangan meneriakkan ‘Merdeka’ berkali-kali. Entah siapa yang
menyuruh mereka. Bang Ijul tersenyum jumawa di baris depan, mungkin bangga
melihat mantan anak buahnya menjadi calon orang nomor satu di ibu kota. Namun,
tidak dengan emak.
“Kelak, kehidupan kita akan menjadi lebih baik. Merdeka!”
tutupku.
###
“Item, lu berpuisilah di bale-bale reot itu.
Emak rela. Kalo lu masih nganggap gue emak, jadilah pujangga
kedelapan setelah bapakmu. Pujangga yang menjadikan syair untuk membangkitkan,
bukan menina-bobokan. Berhentilah berpuisi, berhentilah nak. . . ”
Jeritan panci kembali terdengar dari dapur yang sempat sunyi
20 tahun lamanya.
Dimuat di Harian Fajar 18 Maret 2012.
*puisi-puisi yang tercantum diambil dari kumpulan karya WS.
Rendra