Sunday, December 2, 2012

Baru Rilis




         Kelaparan adalah burung gagak. Yang licik dan hitam. Jutaan burung-burung gagak bagai awan yang hitam.*

            Bukk!! 

           “Berhenti ngoceh Item. Makanya kerja, cari uang biar gak kelaparan!” Mata emak yang melotot tajam, menyembul dari balik pintu. Dari mulut keringnya, keluar omelan panjang bak koakan gagak hitam yang menakutkan.
          Aku mengerang, mengusap kepalaku yang kena lemparan mangkok. Untung saja mangkok plastik, kalau terbuat dari kaca, bisa pecah nih kepala. Aku bergidik membayangkannya.
“Biarin, biar pecah sekalian batok kepalamu. Ngegombalin hidup tiap hari, kelaperan tiap saat, nyusahin ajha jadi anak.” Aku tercekat, lho kok emak tau isi pikiranku sih. “Gue kan emak lu item!”
Gue, lu?
Aku bersiap loncat dari bale-bale sebelum pertunjukan itu dimulai. Benar saja, tak lama setelah pantatku lepas dari bambu-bambu reot, jeritan panci yang beradu dengan ember terpantul-pantul di dapur. Keluar melewati dinding bocor. Aku mendengarkan orkestra pagi dari balik pohon mangga di belakang rumah. Dengan nafas memburu, aku menyesali keadaan yang sama tiap hari. Isyarat kemarahan emak adalah perubahan katanya yang halus nan puitis menjadi gaul anarkis. Berarti emak benar-benar mengamuk, kali ini. Lagi.
“Capek-capek gue nguliahin lu bertahun-tahun, nggak ada hasilnya. Empet gue. Asem dah. Kerja Item, kerja, berusaha sekuat tenaga atau siap-siap kita jadi gelandangan. Lu mau lihat emak lu mati kekeringan, diuber-uber Engkong Sanip gara-gara hutang kita udah kayak gunung Merapi mau meletus lagi. Item, Item…” 

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh, Hidup adalah untuk mengolah hidup.* 

Aku menggumamkan syair bang Rendra untuk kesekian kali. Suara emak mulai samar terdengar, mungkin ia kehabisan tenaga, atau sedang membereskan kekacauan yang dibuatnya sendiri. Tapi aku yakin, emak sedang berpuisi dalam hati. Berapa kali pun ia menyatakan kebosanannya mendengar syair-syair yang keluar dari mulutku, binar matanya berkata lain, ia akan berbalik dan lirih menyambung puisi yang tak khatam.
Bapak adalah keturunan pujangga yang mahsyur di tanah Jawa, bahkan sebelum mengenal bapak emak tak tahu apa-apa tentang puisi, namun mereka disatukan oleh syair-syair dan menelurkan cinta puisi padaku. Rendra. Begitulah mereka menamakanku. Berharap aku seperti si burung merak yang mengembangkan sayap sastra. Aku suka harapan itu. Kerena aku mulai mencintai puisi. Seperti emak.
Mengolah hidup, beritahu aku caranya bang Rendra. 

###

        Menjadi pengangguran adalah tekanan mental yang tak terdeskripsikan. Apalagi gelar bercokol di belakang nama. Desakan emak juga jeritan panci-panci menghantui. Sapaan menyakitkan tiga kali sehari, “Kerja dimana sekarang, Ren?” Oh Tuhan, ada sembilan puluh sembilan pintu rejeki. Tak ada satu pun yang terbuka untuk hamba sahaya ini. Atau, belum jodohku?
         Aku menatap diriku di cermin. Dasi yang sama. Kemeja yang lalu. Ikat pinggang peninggalan bapak. Ah, mengenakan pakaian terbaik untuk melamar pekerjaan yang angkuh bak putri raja. Lagi. “Semoga saja hasilnya tak sama seperti dulu-dulu.” Aku merapal doa. Sekilas mataku tertubruk pada mata yang penuh kelegaan, kebebasan, memegang toga, menggenggam tangan emak. Aku tertunduk. Malu pada diriku sendiri. Tiga tahun yang lalu, tak kusangka, kiranya gerbang kesuksesan telah terbuka untuk pemuda bertitel ini. Tapi tidak. Oh, belum. . .
         “Emak,” panggilku dari balik pintu kamar yang tertutup rapat. “Rendra, mau berjuang lagi. Doakan yah mak, mungkin sekarang rejekiku.” Tak ada sahutan. Aku melenggang pergi penuh harap. Pagi buta. 

             Hidup adalah merjan-merjan kemungkinan, anakku. . .*
     Wanita bermukena putih bersimpuh di atas sajadah, menyisipkan syair di antara rentetan doa. Melinangkan air mata dan mengusapnya. “Bukan emak tak tahu perjuanganmu mencari pekerjaan, hanya emak tak ingin kamu berputus asa dan berlindung pada syair di pagi, malam, siang hari. Seharusnya syair-syair itu membangkitkanmu, bukan menina-bobokanmu.”
         Fajar menyingsing. Emak membereskan panci-panci di dapur yang tak sempat ia bereskan tadi malam. Bersajak dalam keremangan. 

###

         Aku tak pernah lagi memakai syair untuk menggombal wanita, karena kutemukan sekarang mereka tak menoleh biar secuil pada sajak romantis. Tanpa embel-embel yang lain. Makan tuh puisi! Begitulah hasilnya ketika aku bermodal nekat membawakan sejumput puisi dari Khalil Gibran.

      Aku mulai berpuisi untuk hidupku. Hidup yang mencari-cari arah, seperti sekarang ini terjebak di kerumunan pasar tanpa tujuan. Aku lelah mengetuk pintu-pintu lembaga, tidak ada lowongan mas, bosan aku mendengarnya. Aku tak ingin pulang dengan tangan hampa, tak ingin mengecewakan emak lagi. Aku akan ke rumah Bang Ijul menerima tawarannya untuk menjadi kernet, menggantikan anak buahnya yang terjatuh kemarin. Entah, apakah ini dapat menghapus rasa kecewa emak. 

Berpuisilah di jalan, pujangga. Ujar Bang Ijul mantap sambil tertawa kecil.

###

         Suasana dapur sunyi. Emak tak mengatakan apa-apa mengenai pekerjaan baruku. Susah payah aku menelan nasi, takut-takut ada panci nyasar terlempar tepat di jidatku. Aku menunggu-nunggu. Tapi, tak ada yang terjadi hingga suapan terakhir.
          Apakah emak berpuisi dalam kebisuannya?

###

      “Emak, apa emak nggak keberatan aku cuma jadi kernet.” Aku membuka suara. Emak menoleh, menaruh baju yang sedang dijahitnya. Lalu, menggeleng. Dahiku mengernyit, tak percaya.
        “Aku masih mencoba mencari pekerjaan lain. Menjadi kernet bukan pilihan terakhirku, mak. Pekerjaan ini lumayan sulit dan sangat melelahkan.”
      “Semuanya akan beres. Pasti beres. Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya. Kesukaran selalu ada-” Emak membaca penggalan puisi, Sajak Potret Keluarga, digantung dengan senyuman.
      “Itulah yang namanya kehidupan.” Sambungku. Emak mengangguk. Malam itu, rasa lelah dari segala kepenatan di jalan terlupakan. Hanya ada senyum emak yang menggantung di langit-langit kamar. Kami berpuisi.

###

          Kehidupan seperti pecahan huruf, sang pujangga akan merangkai kata, kata dipilin menjadi kalimat. Berbuah bait. Menggabungkan bait-bait dan memformatnya menjadi bab. Bab kehidupan baru Si Item.
Orang-orang terpukau. Mengelu-elukan namaku. Menyimpan baik-baik kata per kata dari sang pujangga yang berorasi dengan diksi manis semanis madu. Dipayungi bendera perpaduan tiga warna, aku menatap ribuan pasang mata yang menanti kelanjutan ucapanku.

         “Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Tak bisa kamu abaikan.*” 

        Semua mengacungkan tangan meneriakkan ‘Merdeka’ berkali-kali. Entah siapa yang menyuruh mereka. Bang Ijul tersenyum jumawa di baris depan, mungkin bangga melihat mantan anak buahnya menjadi calon orang nomor satu di ibu kota. Namun, tidak dengan emak.

             “Kelak, kehidupan kita akan menjadi lebih baik. Merdeka!” tutupku. 

###

        “Item, lu berpuisilah di bale-bale reot itu. Emak rela. Kalo lu masih nganggap gue emak, jadilah pujangga kedelapan setelah bapakmu. Pujangga yang menjadikan syair untuk membangkitkan, bukan menina-bobokan. Berhentilah berpuisi, berhentilah nak. . . ”

           Jeritan panci kembali terdengar dari dapur yang sempat sunyi 20 tahun lamanya.



Dimuat di Harian Fajar 18 Maret 2012.
*puisi-puisi yang tercantum diambil dari kumpulan karya WS. Rendra




No comments:

Post a Comment