[Lanjutan]
TETAPLAH MEMANGGILKU FATIMAH
Kata
Medita, mungkin ini hanya perasaan kagum seorang murid pada gurunya. Itu hal
lumrah yang sering terjadi di sekolah. Cepat atau lambat aku akan hilang dengan
sendirinya. Aku berharap sama. Tapi faktanya, dua tahun lebih berlalu, perasaan
itu justru semakin besar dan dalam.
Di kelas dua dia tidak mengajarku.
Dan saat-saat itu, seperti memasuki sebuah dunia yang hitam akan semakin hitam,
putih teramat putih. Tidak berwarna. Mencuri pandang saat melintasi kelas
tempatnya mengajar. Selalu berharap ada kesempatan berbicara padanya. Merasa
tersanjung apabila disapa dengan panggilan ‘Fatimah’ itu berarti dia masih
mengingatku. Berdoa bisa berpas-pasan dengannya di mana pun.
Jika,
semua pikiranku berorientasi hanya padanya, inikah yang namanya rasa kagum?
Medita menggeleng. ‘Rasanya kamu
lagi jatuh cinta, Wi.’
Kepalaku terkulai pasrah di atas
meja. Itulah yang aku maksud. Aku tidak tahu bahwa ‘jatuh cinta’ bisa
sekompleks ini. Sebuah perasaan yang mampu membolak-balikkan hati dalam sekejap
saja.
Pertanyaannya,
salahkah aku mencintai pria berumur 31 tahun? Pak Ali Hakim. Guru Bahasa
Indonesia yang masih lajang, tinggi 173 cm, berat 65 kg, pecinta sastra, S-1 di
UI, tidak suka minum susu, paling suka memakai kemeja warna biru jika hari
seragam bebas, tegas, jarang tertawa, dan…baik hati.
‘Cukup!’ Medita terbelalak. Menutup
mulutku yang mengeja Curriculum Vitae-Pak Ali. Menatap sekeliling kelas,
takut kalau ada siswa lain yang mendengarnya. ‘Wi, sadar Wi. Pak Ali itu guru
kita, masih banyak cowok lain yang ada di sekolah ini. Aku akui dia sedikiiit
lumayan, tapi kenapa harus pak Ali sih?’
‘Kenapa? Kamu bertanya tentang
perasaan, Ta? Seandainya aku bisa menjawab, aku tak perlu seperti ini. Saat aku
mencoba menghilangkannya dari pikiranku yang ada malah aku mengharapkannya
semakin besar. Aku hanya mengikuti saja kemana perasaan ini membawaku?’
‘Meski itu pada kekecewaan?’ Medita
bertanya setengah berbisik. Dia menunggu jawaban. Aku membisu.
Apakah
perasaan ini akan membawaku pada kekecewaan? Apakah perasaan ini akan membawaku
pada kekecewaan?
‘Aku
tak tahu.’
Di
kelas tiga, seharusnya aku tak memikirkan hal-hal lain yang dapat mengganggu
konsentrasi belajarku dalam menghadapi Ujian Akhir Nasional nanti. Termasuk,
memikirkan Pak Ali juga ide gila untuk menyatakan perasaanku secara langsung padanya.
Meskipun
masih wacana, Medita takut setengah mati mendengarnya. Kamu benar-benar
sudah gila, Wi. Aku tertawa senang melihat reaksi sahabatku yang kaku
mendadak. ‘Apakah ada yang melarang?’ godaku lagi.
Aku
tersadar dari lamunan, seseorang menyebut namaku. Dan itu, suara Pak Ali.
‘Fatimah!
Hei, kamu tidak mendengarkan saya?’
‘Eh,
dengar kok, Pak.’ Aku berbohong.
‘Oh
yah, lalu karya siapa puisi tadi?’ tanya Pak Ali dingin.
‘Puisi?’
aku menengok pada Medita, bahunya terangkat dan menggeleng lemah. Tak sedikit pun
membantu. Aku gelagapan seperti maling yang ketahuan mencuri.
‘Apakah
kamu belajar menjadi seorang pembohong, Fatimah?!’ Suara pak Ali bergetar. Nada
marah tertangkap di telingaku. Suasana terasa hening, ketika itu juga bel tanda
pelajaran usai berdering panjang. Pak Ali kembali ke meja dan membereskan barang-barangnya.
‘Kita
sudahi pertemuan kali ini. Jangan lupa tugasnya, pertemuan yang akan datang
kita akan membahasnya.’ katanya datar. Dia beranjak pergi, sesampainya di
ambang pintu dia berhenti dan berbalik. Tak ada satu kata pun yang keluar dari
mulutnya. Dia malah melanjutkan jalannya.
Aku
menatap punggungnya yang menghilang. Mengapa dia semarah itu padaku? Satu per
satu teman-teman meninggalkan kelas hingga yang tersisa hanya aku dan Medita.
‘Wi,
Dewi!’
‘Eh,’
‘Kamu
nggak apa-apa kan?’
tanya Medita hati-hati. ‘Tugasnya membuat puisi.’ Katanya setengah berteriak.
‘Apa?!’
‘Dari
tadi kamu kok bengong terus sih, nanti kesambet setan India loh.’ kelakar Medita sambil
joget chaiyya-chaiyya ala Briptu Norman. Mau tak mau aku tertawa. Perempuan
satu ini selalu tahu kapan harus menghiburku. ‘Udah nggak usah dipikirin. Kan saat kelas satu sudah
biasa dimarahin sama guru, kok yang satu ini sampai shock kayak gitu,
sakit hati yah?’
Aku
tersenyum kecut, malas menanggapi ledekannya. ‘Kamu pulang duluan sana. Masih ada yang ingin
aku kerjakan.’ Medita menepuk pundakku, sebelum pergi ia meninggalkan sepotong
kalimat.
‘Sabar,
jangan terlalu dipikirin.’
Seperti
memisahkan air dengan minyak, juga menemukan sebatang jarum di antara timbunan
pasak. Tak mungkin. Jika itu yang kamu pinta, Ta. Aku merasakan genangan yang
menebal di mataku. Bahkan memori yang berhasil kusimpan selama di sekolah ini,
selalu tentang dia.
‘Fatimah,
kamu belum pulang?’ seseorang membuyarkan lamunanku. Buru-buru aku menyeka air
mata yang menitik. ‘Kamu menangis?’ lanjutnya.
Aku
menggeleng, namun saat aku melihat orang yang berdiri di depan papan tulis
segera aku bersuara, ‘Tidak, Pak.’
‘Hahaha,
kamu bukan pembohong yang ulung.’ Aku tercekat. Tunggu, apa aku tak salah
dengar. Pak Ali tertawa! Dia tertawa, betulkah itu?
‘Fatimah,
Fatimah. Kamu itu gadis baik, berhentilah berusaha menjadi pembohong.’ kata Pak
Ali bijak. Aku tertunduk, malu.
‘Pak
Ali, kenapa kembali lagi?’ tanyaku heran.
‘Eh,
apa, itu, ada yang ketinggalan!’ jawabnya gugup. Ada apa ini, tadi marah, lalu tertawa, dan sekarang
salah tingkah, seperti bukan Pak Ali yang ada di hadapanku.
‘Apa?’
tanyaku penasaran. Berharap jawaban itu hanya alasan yang diada-adakan
saja. Pak Ali berjalan ke arah meja,
lalu menarik laci dan mengeluarkan sesuatu. Dia mengangkat buku novel yang
masih terbungkus untuk menunjukkannya padaku. Aku merengut seperti anak kecil. Dia
tak berbohong.
Lagi, dia tertawa. Aku ikut tertawa,
tapi kali ini tanpa tangis. Aku bahagia bisa sedekat ini dengan Pak Ali, meski
hanya sebagai murid dengan guru.