: Talita, apakah kamu menyesal sekarang?
: Iya, Andini. Banyak hal yang aku sesalkan.
: Termasuk membawa Andini masuk dalam lingkaran pertemanan kalian.
: Mungkin.
: Kamu marah sama Andini?
: Tidak juga. Aku marah pada diriku. Mengapa aku tak bisa membaca masa depan. Seharusnya aku bersiap dari dulu untuk menghadapi situasi sulit ini. Hanya saja aku tak berpikir sejauh itu, bahwa. . .
: Bahwa pada akhirnya, Andini menjadi perebut kebahagiaanmu.
: Kamu salah. Kamu tidak merebut. Karena aku tak pernah memilikinya.
: Kalau begitu, aku adalah pengganggu. Mungkin juga, perusak.
: Entahlah. Ini terlalu cepat. Sulit. Menyakitkan.
: Apa yang harus Andini lakukan?
: Jalani saja seperti biasa.
: Walau tawa kami menjadi pisau di hati Talita?
: Iya. Aku sudah terbiasa terluka. Lagipula dia sangat senang bisa tertawa bersamamu.
: Maafkan aku, Talita?
: Kamu tidak salah, Andini. Walau jujur, terkadang aku menyalahkanmu. Tapi itu pikiran sesaat saja. Sudahlah, sangat menyakitkan membicarakan hal ini.
: Talita,
: Ya.
: Tenanglah, dia akan kembali padamu. Andini yakin itu. Tawa kami saat ini takkan abadi, setelah dia juga merasakan hal yang sama seperti Talita rasakan, dia akan kembali. Kembali mencari hati tempatnya selama ini merasakan ketenangan. Dan, bukan pada Andini. Tapi, kamu Talita.
: Aku tak mengerti, Andini.
: Kalau begitu, cukuplah percaya Talita. Aku pergi.