Tuesday, November 6, 2012

[Cerpen(bung) Coba-Coba] #2

[Lanjutan]



TETAPLAH MEMANGGILKU FATIMAH



Kata Medita, mungkin ini hanya perasaan kagum seorang murid pada gurunya. Itu hal lumrah yang sering terjadi di sekolah. Cepat atau lambat aku akan hilang dengan sendirinya. Aku berharap sama. Tapi faktanya, dua tahun lebih berlalu, perasaan itu justru semakin besar dan dalam.
            Di kelas dua dia tidak mengajarku. Dan saat-saat itu, seperti memasuki sebuah dunia yang hitam akan semakin hitam, putih teramat putih. Tidak berwarna. Mencuri pandang saat melintasi kelas tempatnya mengajar. Selalu berharap ada kesempatan berbicara padanya. Merasa tersanjung apabila disapa dengan panggilan ‘Fatimah’ itu berarti dia masih mengingatku. Berdoa bisa berpas-pasan dengannya di mana pun.
Jika, semua pikiranku berorientasi hanya padanya, inikah yang namanya rasa kagum?
            Medita menggeleng. ‘Rasanya kamu lagi jatuh cinta, Wi.’
            Kepalaku terkulai pasrah di atas meja. Itulah yang aku maksud. Aku tidak tahu bahwa ‘jatuh cinta’ bisa sekompleks ini. Sebuah perasaan yang mampu membolak-balikkan hati dalam sekejap saja.
Pertanyaannya, salahkah aku mencintai pria berumur 31 tahun? Pak Ali Hakim. Guru Bahasa Indonesia yang masih lajang, tinggi 173 cm, berat 65 kg, pecinta sastra, S-1 di UI, tidak suka minum susu, paling suka memakai kemeja warna biru jika hari seragam bebas, tegas, jarang tertawa, dan…baik hati.
            ‘Cukup!’ Medita terbelalak. Menutup mulutku yang mengeja Curriculum Vitae-Pak Ali. Menatap sekeliling kelas, takut kalau ada siswa lain yang mendengarnya. ‘Wi, sadar Wi. Pak Ali itu guru kita, masih banyak cowok lain yang ada di sekolah ini. Aku akui dia sedikiiit lumayan, tapi kenapa harus pak Ali sih?’
            ‘Kenapa? Kamu bertanya tentang perasaan, Ta? Seandainya aku bisa menjawab, aku tak perlu seperti ini. Saat aku mencoba menghilangkannya dari pikiranku yang ada malah aku mengharapkannya semakin besar. Aku hanya mengikuti saja kemana perasaan ini membawaku?’
            ‘Meski itu pada kekecewaan?’ Medita bertanya setengah berbisik. Dia menunggu jawaban. Aku membisu.
Apakah perasaan ini akan membawaku pada kekecewaan? Apakah perasaan ini akan membawaku pada kekecewaan?
‘Aku tak tahu.’


Di kelas tiga, seharusnya aku tak memikirkan hal-hal lain yang dapat mengganggu konsentrasi belajarku dalam menghadapi Ujian Akhir Nasional nanti. Termasuk, memikirkan Pak Ali juga ide gila untuk menyatakan perasaanku secara langsung padanya.
Meskipun masih wacana, Medita takut setengah mati mendengarnya. Kamu benar-benar sudah gila, Wi. Aku tertawa senang melihat reaksi sahabatku yang kaku mendadak. ‘Apakah ada yang melarang?’ godaku lagi.
Aku tersadar dari lamunan, seseorang menyebut namaku. Dan itu, suara Pak Ali.
‘Fatimah! Hei, kamu tidak mendengarkan saya?’
‘Eh, dengar kok, Pak.’ Aku berbohong.
‘Oh yah, lalu karya siapa puisi tadi?’ tanya Pak Ali dingin.
‘Puisi?’ aku menengok pada Medita, bahunya terangkat dan menggeleng lemah. Tak sedikit pun membantu. Aku gelagapan seperti maling yang ketahuan mencuri.
‘Apakah kamu belajar menjadi seorang pembohong, Fatimah?!’ Suara pak Ali bergetar. Nada marah tertangkap di telingaku. Suasana terasa hening, ketika itu juga bel tanda pelajaran usai berdering panjang. Pak Ali kembali ke meja dan membereskan barang-barangnya.
‘Kita sudahi pertemuan kali ini. Jangan lupa tugasnya, pertemuan yang akan datang kita akan membahasnya.’ katanya datar. Dia beranjak pergi, sesampainya di ambang pintu dia berhenti dan berbalik. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Dia malah melanjutkan jalannya.
Aku menatap punggungnya yang menghilang. Mengapa dia semarah itu padaku? Satu per satu teman-teman meninggalkan kelas hingga yang tersisa hanya aku dan Medita.
‘Wi, Dewi!’
‘Eh,’
‘Kamu nggak apa-apa kan?’ tanya Medita hati-hati. ‘Tugasnya membuat puisi.’ Katanya setengah berteriak.
‘Apa?!’
‘Dari tadi kamu kok bengong terus sih, nanti kesambet setan India loh.’ kelakar Medita sambil joget chaiyya-chaiyya ala Briptu Norman. Mau tak mau aku tertawa. Perempuan satu ini selalu tahu kapan harus menghiburku. ‘Udah nggak usah dipikirin. Kan saat kelas satu sudah biasa dimarahin sama guru, kok yang satu ini sampai shock kayak gitu, sakit hati yah?’
Aku tersenyum kecut, malas menanggapi ledekannya. ‘Kamu pulang duluan sana. Masih ada yang ingin aku kerjakan.’ Medita menepuk pundakku, sebelum pergi ia meninggalkan sepotong kalimat.
‘Sabar, jangan terlalu dipikirin.’

Seperti memisahkan air dengan minyak, juga menemukan sebatang jarum di antara timbunan pasak. Tak mungkin. Jika itu yang kamu pinta, Ta. Aku merasakan genangan yang menebal di mataku. Bahkan memori yang berhasil kusimpan selama di sekolah ini, selalu tentang dia.
‘Fatimah, kamu belum pulang?’ seseorang membuyarkan lamunanku. Buru-buru aku menyeka air mata yang menitik. ‘Kamu menangis?’ lanjutnya.
Aku menggeleng, namun saat aku melihat orang yang berdiri di depan papan tulis segera aku bersuara, ‘Tidak, Pak.’
‘Hahaha, kamu bukan pembohong yang ulung.’ Aku tercekat. Tunggu, apa aku tak salah dengar. Pak Ali tertawa! Dia tertawa, betulkah itu?
‘Fatimah, Fatimah. Kamu itu gadis baik, berhentilah berusaha menjadi pembohong.’ kata Pak Ali bijak. Aku tertunduk, malu.
‘Pak Ali, kenapa kembali lagi?’ tanyaku heran.
‘Eh, apa, itu, ada yang ketinggalan!’ jawabnya gugup. Ada apa ini, tadi marah, lalu tertawa, dan sekarang salah tingkah, seperti bukan Pak Ali yang ada di hadapanku.
‘Apa?’ tanyaku penasaran. Berharap jawaban itu hanya alasan yang diada-adakan saja.  Pak Ali berjalan ke arah meja, lalu menarik laci dan mengeluarkan sesuatu. Dia mengangkat buku novel yang masih terbungkus untuk menunjukkannya padaku. Aku merengut seperti anak kecil. Dia tak berbohong.
            Lagi, dia tertawa. Aku ikut tertawa, tapi kali ini tanpa tangis. Aku bahagia bisa sedekat ini dengan Pak Ali, meski hanya sebagai murid dengan guru. 

[To be continue]

Yang mau lihat bag. pertamanya, sok atuh klik saja ini iya yang ini, nah yang ini nih... ^_^


No comments:

Post a Comment