TETAPLAH MEMANGGILKU FATIMAH
Namaku
Kirana Fatimah Dewi. Terlalu panjang, protes orang-orang setelah mendengar aku
menyebutkannya. Oleh itu, aku memiliki
banyak nama panggilan. Bapak dan ibu memanggilku Rana. Teman-teman
di sekolah akrab dengan panggilan Dewi. Lain lagi dengan kakek dan nenek dari
pihak ibu, mereka lebih suka menjuluki dengan Dede, katanya itu panggilan
sayang biar aku terlihat kecil dan terus menjadi cucu tersayang mereka. Berapa
kali aku mencoba protes, gara-gara aku cucu satu-satunya dan takkan ada lagi cucu
setelahku –ibu anak tunggal dan rahimnya harus diangkat setelah melahirkanku-
Tapi, aku selalu kalah. Tepatnya, mengalah. Siapa yang bisa melawan senyum ‘MAUT’
mereka.
Satu hal lagi, dari tiga suku kata
yang terangkai dalam namaku yang panjang ini, tidak ada seorang pun yang
memanggil nama tengahku. Fatimah. Bukan hal yang merisaukan, tapi aneh saja
terasa.
‘Kedengaran jadul sih.’ Ujar Medita,
saat aku menanyakan alasannya. Dan jawaban teman sebangkuku itu tak jauh beda
dari jawaban teman yang lain. Ibu dan bapak sendiri tak punya alasan yang
jelas.
Aku
mulai melupakan hal itu sampai suatu hari seseorang menyapaku, bagai sihir,
karena mulai detik itu juga suaranya selalu berdengung di telingaku. Suaranya
yang lembut namun tegas. Memanggil nama tengahku.
‘Fatimah.’
*
‘Fatimah!’
Dia
memanggilku lagi. Suara itu, suara yang mampu membuat perutku mulas tak karuan
seperti saat ini. Haruskah aku berbalik, membiarkan dia melihatnya, sementara
aku tahu wajahku bak kanvas yang tertumpah cat merah jambu. Merona.
‘Fatimah!
Kamu dengar panggilan saya atau pura-pura tuli, hah?!’
Perlahan
aku membalikkan badan. Dia yang memanggilku ‘Fatimah’ tengah berdiri beberapa
meter dari hadapanku sekarang. Cepat-cepat aku menunduk, walau sebenarnya aku
lebih suka menatap wajahnya yang teduh dan menenangkan.
Suara
jejak sepatu yang beradu dengan lantai semakin membuat perutku mulas. Aku belum
sanggup mendongak tuk menghadapinya. Dia menuju ke arahku, aku bisa
merasakannya. Dia semakin dekat. Ada
apa denganku?
‘Fatimah,
ada apa denganmu. Apakah kamu telah membuat sebuah kesalahan? Mengapa setiap
saya memanggil namamu, kamu seperti orang ketakutan?’
Aku
menggeleng lemah.
‘Kalau
begitu, angkat wajahmu dan lihat saya jika sedang berbicara. Apakah kamu tak
menganggap saya sebagai gurumu?’ suaranya terdengar begitu tegas. Buru-buru aku
mendongak dan pandanganku jatuh tepat di dasinya yang berwarna biru tua, amat
serasi dengan kemeja biru muda yang dikenakannya.
Dia
tinggi sekali. Aku hanya sebatas dadanya yang…bidang. Ah, apa yang aku
pikirkan. Dia gurumu, Rana! Besikaplah sebagai seorang murid pada
gurunya.
‘Ada apa, Pak?’ Aku melirik
wajahnya sekilas, lalu beralih ke ujung sepatuku. Aku mulai bertingkah seperti
dia, selalu bersikap seperti itu. Memandang kami sekilas kemudian melempar
pandangan ke arah jendela atau langit-langit kelas. Tak seperti guru lainnya. Cara
mengajarnya berbeda.
‘Hari
ini Pak Syahrul izin, urusan keluarga. Sampaikan pada temanmu yang lain,
kerjakan halaman 23 bagian A saja. Bel berbunyi kamu kumpul dan bawakan ke meja
saya, mengerti?’
Aku
mengangguk.
‘Fatimah,
berapa kali saya bilang, anggukan dan gelengan itu bukan jawaban yang sopan.
Bicaralah, apakah kamu mau Tuhan mengambil nikmat berbicara yang Dia berikan?’
Aku menatapnya dan menggeleng cepat.
Ups! Keningnya berkerut. ‘Maaf, Pak. Maksud saya, saya mengerti.’
Aku berjalan cepat menuju kelas.
Koridor-koridor terasa menyempit dan semakin panjang saja. Perutku sudah tak
mulas lagi, tapi sesuatu yang perih merasuki relung hatiku. Ada
yang salah di sana.
Aku menyadarinya. Seperti aku sadar akan perubahan diriku setiap berhadapan
dengannya. Tapi, betulkah ini sebuah kesalahan? Aku belum yakin tentang ini.
Aku
memasuki kelas dengan langkah gontai. Melihat kelas yang ribut dan tak teratur,
jiwa kepemimpinanku sebagai ketua kelas mendadak muncul.
Brakkk!
‘Hai,
diaaaaam…’ Aku menatap satu per satu penghuni kelas paling ‘hancur’ dari delapan
kelas yang ada. Sayangnya, aku harus rela terjebak di sini dan ditunjuk menjadi
ketua kelas lantaran namaku paling panjang. Alasan yang tak logis. Se-tak logis
dengan keberadaan kelas yang bisa-bisanya dipenuhi begundal-begundal cilik.
Katanya,
kelas 1-8 itu: kelas buangan, kelas istimewa dengan tanda petik, kelas marginal
yang benar-benar berada di pinggir, dan kelas terakhir dengan prestasi teramat
terakhir di mata guru-guru. Aku menyesal harus mengiyakannya.
‘Kerjakan
tugas A hal 23. Bel bunyi, semua harus sudah kumpul. Lewat satu detik saja, aku
tidak terima. Mengerti?!’ Beginilah gaya
kepemimpinan yang aku terapkan. Bersikap layaknya Gengish Khan yang
mentitahkan rakyatnya dengan sangat kejam.
‘Aku
tak butuh anggukan. Mana suara kalian, apakah kalian mau Tuhan mencabut
nikmat-Nya dan membuat kalian semua bisu?’
Teman-teman
bergidik ngeri. Serempak menjawab ‘Ngerti, bos!’ dan tak butuh waktu berapa
lama untuk mereka kembali pada keadaan semula. Ribut dan tak teratur.
Hah?
Ampun Tuhan…
*
Aku menghempaskan tubuh di ranjang
yang empuk. Getaran itu masih terasa mengalahkan rasa nyeri yang sempat mendera
tangan kananku. Saat aku membawa tumpukan buku dan masuk ke dalam ruang guru.
Di sana, di
meja paling ujung, Pak Ali tengah membaca buku. Sementara guru yang lain asyik
mengobrol, tapi kelihatannya dia tak merasa terganggu sedikitpun. Padahal, tawa
Pak Idris benar-benar membahana, entah hal lucu apa yang sedang para guru
bicarakan hingga salamku pun tak ada yang menjawabnya.
Mengucap salam pelan. Berjalan
pelan. Mengangguk pelan pada Ibu Ratna yang sekilas melihatku lalu sibuk tertawa
lagi. Pelan yang berlebihan justru menambah grogi, kakiku tersangkut
kaki kursi yang tergeletak sembarang. Gubrak! Aku jatuh tersungkur di antara
kumpulan buku.
‘Auww…’ Aku meringis kesakitan.
Suasana tiba-tiba terasa hening. Tanpa
melihatnya, aku sadar semua mata pasti sedang manatapku.
‘Kamu nggak apa-apa, kan?’ terdengar teriakan dari seberang sana. Aku buru-buru bangkit dan bersikap
seolah-olah semuanya baik-baik saja. Obrolan yang sempat terputus, dilanjutkan
kembali setelah seseorang berceletuk, ‘Intermezo!’ disambut riuh tawa.
Aku manyun.
‘Kamu ini perempuan, Fatimah. Jangan
terlalu ceroboh.’ Ternyata Pak Ali sudah ada di dekatku, membantu membereskan
buku-buku yang bertebaran. ‘Sebaiknya kamu ke UKS. Tadi, tanganmu jatuh lebih
dulu menopang badanmu. Periksalah, takut terkilir.’
Apa? Perasaanku berkecamuk. Antara
malu dan senang, aku tak bisa memisahkannya. Kehilangan muka lantaran jatuh di
depannya, sekaligus senang karena dia ‘takut’ dan mengkhawatirkan tanganku. Namun,
rasa senang sepertinya mendapatkan porsi lebih besar.
Semua guru pasti bersikap seperti
itu pada muridnya yang terjatuh, Wi. Medita menilaiku terlalu berlebihan
mengartikan perhatian Pak Ali. Tapi guru-guru lainnya yang ada di ruangan
itu tidak. Aku membela diri. Karena kamu mengganggu mereka. Dan, Pak Ali
sudah terbiasa diganggu oleh kecerobohanmu itu. Pungkasnya.
Apa betul aku hanya ke-geer-an saja?
Aku menatap langit-langit kamar. Mencari jawaban di atas sana. Namun yang aku dapati, hanyalah sebuah perasaan
yang seolah-olah mulai tumbuh di hatiku. Seperti perasaan yang pernah aku
rasakan pada teman lelakiku semasa SMP, namun ini berbeda. Perasaan ini teramat
dalam untuk anak seusiaku, dan bukan untuk lelaki seusiaku juga. Melainkan
lelaki berumur 29 tahun yang empat belas tahun lebih tua dariku. Yang lebih
mengejutkan lagi, lelaki itu guruku sendiri dan perasaan itu tumbuh hanya
karena dia memanggilku ‘Fatimah’ Hanya itu.
[To be continue]
panjangna ntu kodonk...
ReplyDeletendak ada juga gambarnA....
maaf di' saya ndak membacanya....
hahaha ora opo-opo...
ReplyDeleteyang penting dikomengggggg :D