Saturday, May 19, 2012

Bukan Salah Malam



sumber gambar

Dalam sunyi malam ganggang menari...*

Tubuhnya dihempaskan ke dalam lorong panjang nan curam, tercabik-cabik. Tiba-tiba, belum terasa dasar menyentuh kulit, tubuhnya ditarik paksa oleh tangan tak terlihat membawa kembali ke atas. Pun, tercabik-cabik.

Aaaah…!

Dia tersentak, bangun. Nafas tersenggal, memburu bulir-bulir keringat yang mengalir bebas. Tidak ada lorong, hitam, juga cengkraman tak terlihat. Dia mengeja keadaan dengan helaan nafas yang penuh ketakutan.
Kesadarannya pulih. Membangun kekuatan tuk mencapai jendela, menyibak tirai merah, terpaku menatap luar.

Aku benci malam.

*

Sekar perlu polesan bedak lagi agar lingkaran hitam di bawah matanya tertutupi sempurna. Cermin terlalu jujur untuk menampilkan betapa perempuan itu semakin berbeda.

Wajah nan tirus dengan kantung mata tebal menggelayut, tubuh kurus-kuyu, juga binar mata habis dihisap letih, yang tersisa hanyalah sorot kekecewaan dan kemarahan.

Kecewa pada hidup, marah pada malam. Dialah Sekar.

*

Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu...*

“Kau perlu istirahat.” Kali kelima Sekar mendengar nasihat dari delapan teman kerjanya yang ada.

Dia mengangguk. Bukan membenarkan, agar mereka terpuaskan lalu pergi. Aku hanya perlu sendiri. Lalu, kembali menekuni laporan-laporan ‘tak penting’ yang sengaja di bacanya. Semua tugasnya telah selesai sejak tadi, dia hanya perlu kesibukan untuk benar-benar waktu yang ditunggunya habis, menjemput pagi.

“Mengapa harus malam?” tanya Sekar terjawab senyuman. “Karena malam adalah selimut terbaik.”

Sekar meremas kertas di genggamannya. Andai bisa, dia juga akan meremas malam yang sangat dibencinya.

Selimut terbaik, hah? Bukan! Kau tak lebih dari selimut jahananam. Aku benci, aku benci!

Kemarahan Sekar datang lagi, sorot matanya menembus kaca, kabut, dan menusuk-nusuk jantung malam yang berdegup dalam kegelapan. Sekar terjaga. Tak mempersilahkan kedua matanya yang buka-tutup mengikuti kodratnya.

Kepada bintang, bulan, kunang-kunang, juga makhluk lain yang berkonspirasi menghidupkan suasana malam, dia tikam dengan tatapan sinis melalui seluruh daya yang tersisa.


*

Langkahnya gontai.

Dia ingin cepat sampai pada ranjangnya yang empuk. Membenamkan kepala di bawah bantal, memeluk guling, menendang-nendang angin yang berhembus di bawah kakinya. Melanjutkan tidur setelah menepuk seekor nyamuk yang berdengung di telinga, seakan mengejek rambutnya yang kusut masai.

Sedikit lagi, tapi dia terlanjur ambruk dengan setengah badan di dalam setengahnya lagi tertinggal di teras rumah.
Sekar tak tahan lagi, setelah tiga hari menahan kantuk dan terus berdiri pada pembenaran dia takkan kalah lagi pada malam.

Dia menantang malam tanpa seduhan kopi bergelas-gelas, tontonan komedi di layar kaca, apalagi sebatang korek yang mengganjal kelopak matanya.

Dia tantang dengan senjata luka yang tertancap kejam di hatinya. Malam adalah musuh, semusuh-musuhnya.

Tapi pagi ini, Sekar menangis sambil memukul-mukul tubuhnya. Burung yang hinggap di dahan pohon terbang, enggan mendengar rintihan penuh sedu dan gugu. Sekar benci harus mengaku kalah. Terus menangis dan mencaci sampai habis seluruh kekuatan yang dia miliki. Tanpa sadar, tertidur dengan air mata yang meleleh di sudut matanya.


*

 Karena malam adalah selimut terbaik.

Jawaban  puitis menggerakkan langkahnya tuk terus maju membelah malam, menemuinya. Seseorang yang memperkenalkan tentang senyum, tawa, kebahagiaan yang bisa di raih tanpa setumpuk lembaran uang atau kilauan emas yang diagung-agungkan teman sejawatnya, apalagi rupa menawan.

Menjejakkan kaki begitu ringan, dia percaya malam akan menyelimuti secuil galaunya yang timbul-tenggelam.

Ketika langkahnya mencapai tujuan. Seseorang yang ditemuinya nampak bak cahaya di antara gelap. Sekar semakin percaya: malam adalah selimut terbaik.

Sekar ingin tertawa sekeras-kerasnya. Menunjukkan pada teman kecilnya dulu, Sekar yang sekarang bukan ‘nenek sihir’ yang harus dijauhi layaknya pengidap penyakit menular. Dia memiliki seseorang yang menganggapnya  sebagai ‘putri cantik’ perlu untuk dijaga dan disayang.

 Ah, andai saja pangeranku tidak memilih malam. Dunia pun akan menyaksikan kebahagiaan kami.

 Tangan terbentang lebar, Sekar jatuh dalam pelukannya. Pelukan malam.


*

Karena malam adalah selimut terbaik.

Sekar masih percaya. Sekalipun si pemilik  jawaban itu terus bersembunyi dalam gelapnya.
“Aku harus pergi.” Tunggu, Sekar bersimpuh menahan laju kaki yang terus melangkah. Dia terseret. “Aku mohon, bertanggung jawablah…”

Sekar tak melepaskan pegangannya. Terseret di aspal, sampai panas menjalar di perutnya yang membuncit. Dia menyerah. Kaki itu bebas berlari meninggalkannya. Menghilang di telan malam.

*

 Karena malam adalah selimut terbaik.

Dia percaya meski tak sepenuhnya. Malam akan membekukan nyeri di tangan kanannya yang pelan mengetuk pintu, juga hati dua orang yang teramat terluka karena bunga harapan yang disiram penuh kasih sayang layu sebelum berkembang.

“Jika datang untuk mencoreng muka bapak-ibumu, sebaiknya kamu tak pernah datang atau lebih baik lagi jika kamu tak pernah ada.”

Sekar menelan bola api kemarahan itu bulat-bulat. Aku pantas mendapatkan ini. Dia keluar dari rumah berpagar bambu yang dua puluh satu tahun ditempatinya. Seiring langkahnya puluhan pasang mata mengintip dari kegelapan malam, hitam padat mengaburkan seringai jijik melepas ‘sampah masyarakat’ yang ditakutkan menulari kampung mereka.

“Dasar lonte!” angin malam mengantarkan bisikan itu ke telinga Sekar yang berjalan tanpa berpaling sedikit pun.

*

Karena malam adalah selimut terbaik.

Sedikit sekali yang tersisa untuk dirinya percaya. Tapi, takdir menentukan malam inilah saatnya. Sekar mengejan di antara genangan ketubannya yang pecah. Berjuang sekuat tenaga menggadaikan nafasnya demi nafas baru yang sedianya menatap dunia tuk pertama kali.

Malam terlalu gelap untuk menangkap kerut kematian di wajahnya yang pasi. Tangannya bergetar meraba tali yang melilit si bayi mungil tak bersuara. Sambil menggigit keras bibir bawahnya, dia memutus tali itu dengan kukunya.
Rasa sakit, perih, nyeri, tak sebanding dengan naruni keibuannya yang menghentak seluruh tubuhnya tuk tetap bertahan.

Sekar mendekap buah hatinya begitu erat. Dia ingin melihat wajah, senyum, juga bola mata sang anak. Tapi, tidak ada suara. Tangisan, mana tangisanmu anakku? Sekar memukul-mukul tubuh sang anak. Sunyi.
Tangisan itu pun pecah. Bukan, bukan tangisan dari mulut si bayi melainkan Sekar yang sadar di dekapannya hanyalah seonggok daging tanpa jiwa. Dia memeluknya penuh kasih sayang, menciuminya penuh cinta, rantaian air mata di pipinya terasa hangat.

Sungguh kontras dengan hatinya yang membeku, sebeku udara malam ini.

*


Karena malam adalah selimut terbaik.

Sekar telah sepenuhnya tak percaya. Terkikis oleh waktu. Dia membenci malam juga sekutunya yang membiarkan dirinya berjalan menuju kehancuran. Menyaksikan dalam kebisuan bara derita yang diinjak perempuan itu bertahun-tahun lamanya.

Malam yang dengan congkak berpesta penuh cahaya, sementara dia sendiri menghitung hari yang telah dilaluinya penuh kegelapan.

Sekar membenci malam.

*

Sekar terjaga dari 'tidur panjang'. Perjalanan hidupnya yang membenci malam, berakhir di titik nadir. Dia tahu, dia tak sedang membenci malam seperti yang dirasakannya selama ini atau mungkin  benar dia memang membencinya, tapi 'malam' yang lain.       

Dia benci noda hitam hidupnya. Dia benci kekelaman hatinya. Dia benci kepekatan dustanya. Dia benci gulita yang diciptakannya sendiri.

Sesungguhnya, dia membenci dirinya sendiri.

Dengan kerendahan hati, dia datang mengetuk malam. Dan malam membuka tabir yang menutupi sebuah lukisan wajah berkanvas awan. Sekar tersenyum.

Malam adalah dirinya.

 Mulai kelam
 belum buntu malam
 kami masih terjaga…*



Di bumi Arafah, Di bawah langit bermata satu, 7-7-2011


* Puisi-puisi dikutip dari kumpulan puisi karya Chairil Anwar.
** Cerpen ini diterbitkan dalam antologi cerpen "Karena Aku Tercipta Istimewa" penerbit Medika.

No comments:

Post a Comment