Tubuhnya
dihempaskan ke dalam lorong panjang nan curam, tercabik-cabik.
Tiba-tiba, belum terasa dasar menyentuh kulit, tubuhnya ditarik paksa
oleh tangan tak terlihat membawa kembali ke atas. Pun, tercabik-cabik.
Aaaah…!
Dia
tersentak, bangun. Nafas tersenggal, memburu bulir-bulir keringat yang
mengalir bebas. Tidak ada lorong, hitam, juga cengkraman tak terlihat.
Dia mengeja keadaan dengan helaan nafas yang penuh ketakutan.
Kesadarannya pulih. Membangun kekuatan tuk mencapai jendela, menyibak tirai merah, terpaku menatap luar.
Aku benci malam.
*
Sekar
perlu polesan bedak lagi agar lingkaran hitam di bawah matanya
tertutupi sempurna. Cermin terlalu jujur untuk menampilkan betapa
perempuan itu semakin berbeda.
Wajah nan tirus dengan
kantung mata tebal menggelayut, tubuh kurus-kuyu, juga binar mata habis
dihisap letih, yang tersisa hanyalah sorot kekecewaan dan kemarahan.
Kecewa pada hidup, marah pada malam. Dialah Sekar.
*
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu...*
“Kau perlu istirahat.” Kali kelima Sekar mendengar nasihat dari delapan teman kerjanya yang ada.
Dia mengangguk. Bukan membenarkan, agar mereka terpuaskan lalu pergi. Aku hanya perlu sendiri.
Lalu, kembali menekuni laporan-laporan ‘tak penting’ yang sengaja di
bacanya. Semua tugasnya telah selesai sejak tadi, dia hanya perlu
kesibukan untuk benar-benar waktu yang ditunggunya habis, menjemput
pagi.
“Mengapa harus malam?” tanya Sekar terjawab senyuman. “Karena malam adalah selimut terbaik.”
Sekar meremas kertas di genggamannya. Andai bisa, dia juga akan meremas malam yang sangat dibencinya.
Selimut terbaik, hah? Bukan! Kau tak lebih dari selimut jahananam. Aku benci, aku benci!
Kemarahan
Sekar datang lagi, sorot matanya menembus kaca, kabut, dan
menusuk-nusuk jantung malam yang berdegup dalam kegelapan. Sekar
terjaga. Tak mempersilahkan kedua matanya yang buka-tutup mengikuti kodratnya.
Kepada
bintang, bulan, kunang-kunang, juga makhluk lain yang berkonspirasi
menghidupkan suasana malam, dia tikam dengan tatapan sinis melalui
seluruh daya yang tersisa.
*
Langkahnya gontai.
Dia
ingin cepat sampai pada ranjangnya yang empuk. Membenamkan kepala di
bawah bantal, memeluk guling, menendang-nendang angin yang berhembus di
bawah kakinya. Melanjutkan tidur setelah menepuk seekor nyamuk yang
berdengung di telinga, seakan mengejek rambutnya yang kusut masai.
Sedikit lagi, tapi dia terlanjur ambruk dengan setengah badan di dalam setengahnya lagi tertinggal di teras rumah.
Sekar tak tahan lagi, setelah tiga hari menahan kantuk dan terus berdiri pada pembenaran dia takkan kalah lagi pada malam.
Dia
menantang malam tanpa seduhan kopi bergelas-gelas, tontonan komedi di
layar kaca, apalagi sebatang korek yang mengganjal kelopak matanya.
Dia tantang dengan senjata luka yang tertancap kejam di hatinya. Malam adalah musuh, semusuh-musuhnya.
Tapi
pagi ini, Sekar menangis sambil memukul-mukul tubuhnya. Burung yang
hinggap di dahan pohon terbang, enggan mendengar rintihan penuh sedu dan
gugu. Sekar benci harus mengaku kalah. Terus menangis dan mencaci
sampai habis seluruh kekuatan yang dia miliki. Tanpa sadar, tertidur
dengan air mata yang meleleh di sudut matanya.
*
Karena malam adalah selimut terbaik.
Jawaban puitis
menggerakkan langkahnya tuk terus maju membelah malam, menemuinya.
Seseorang yang memperkenalkan tentang senyum, tawa, kebahagiaan yang
bisa di raih tanpa setumpuk lembaran uang atau kilauan emas yang
diagung-agungkan teman sejawatnya, apalagi rupa menawan.
Menjejakkan kaki begitu ringan, dia percaya malam akan menyelimuti secuil galaunya yang timbul-tenggelam.
Ketika
langkahnya mencapai tujuan. Seseorang yang ditemuinya nampak bak cahaya
di antara gelap. Sekar semakin percaya: malam adalah selimut terbaik.
Sekar
ingin tertawa sekeras-kerasnya. Menunjukkan pada teman kecilnya dulu,
Sekar yang sekarang bukan ‘nenek sihir’ yang harus dijauhi layaknya
pengidap penyakit menular. Dia memiliki seseorang yang menganggapnya
sebagai ‘putri cantik’ perlu untuk dijaga dan disayang.
Ah, andai saja pangeranku tidak memilih malam. Dunia pun akan menyaksikan kebahagiaan kami.
Tangan terbentang lebar, Sekar jatuh dalam pelukannya. Pelukan malam.
*
Karena malam adalah selimut terbaik.
Sekar masih percaya. Sekalipun si pemilik jawaban itu terus bersembunyi dalam gelapnya.
“Aku
harus pergi.” Tunggu, Sekar bersimpuh menahan laju kaki yang terus
melangkah. Dia terseret. “Aku mohon, bertanggung jawablah…”
Sekar
tak melepaskan pegangannya. Terseret di aspal, sampai panas menjalar di
perutnya yang membuncit. Dia menyerah. Kaki itu bebas berlari
meninggalkannya. Menghilang di telan malam.
*
Karena malam adalah selimut terbaik.
Dia
percaya meski tak sepenuhnya. Malam akan membekukan nyeri di tangan
kanannya yang pelan mengetuk pintu, juga hati dua orang yang teramat
terluka karena bunga harapan yang disiram penuh kasih sayang layu
sebelum berkembang.
“Jika datang untuk mencoreng muka bapak-ibumu, sebaiknya kamu tak pernah datang atau lebih baik lagi jika kamu tak pernah ada.”
Sekar menelan bola api kemarahan itu bulat-bulat. Aku pantas mendapatkan ini. Dia
keluar dari rumah berpagar bambu yang dua puluh satu tahun
ditempatinya. Seiring langkahnya puluhan pasang mata mengintip dari
kegelapan malam, hitam padat mengaburkan seringai jijik melepas ‘sampah
masyarakat’ yang ditakutkan menulari kampung mereka.
“Dasar lonte!” angin malam mengantarkan bisikan itu ke telinga Sekar yang berjalan tanpa berpaling sedikit pun.
*
Karena malam adalah selimut terbaik.
Sedikit
sekali yang tersisa untuk dirinya percaya. Tapi, takdir menentukan
malam inilah saatnya. Sekar mengejan di antara genangan ketubannya yang
pecah. Berjuang sekuat tenaga menggadaikan nafasnya demi nafas baru yang
sedianya menatap dunia tuk pertama kali.
Malam terlalu
gelap untuk menangkap kerut kematian di wajahnya yang pasi. Tangannya
bergetar meraba tali yang melilit si bayi mungil tak bersuara. Sambil
menggigit keras bibir bawahnya, dia memutus tali itu dengan kukunya.
Rasa sakit, perih, nyeri, tak sebanding dengan naruni keibuannya yang menghentak seluruh tubuhnya tuk tetap bertahan.
Sekar mendekap buah hatinya begitu erat. Dia ingin melihat wajah, senyum, juga bola mata sang anak. Tapi, tidak ada suara. Tangisan, mana tangisanmu anakku? Sekar memukul-mukul tubuh sang anak. Sunyi.
Tangisan
itu pun pecah. Bukan, bukan tangisan dari mulut si bayi melainkan Sekar
yang sadar di dekapannya hanyalah seonggok daging tanpa jiwa. Dia
memeluknya penuh kasih sayang, menciuminya penuh cinta, rantaian air
mata di pipinya terasa hangat.
Sungguh kontras dengan hatinya yang membeku, sebeku udara malam ini.
*
Karena malam adalah selimut terbaik.
Sekar
telah sepenuhnya tak percaya. Terkikis oleh waktu. Dia membenci malam
juga sekutunya yang membiarkan dirinya berjalan menuju kehancuran.
Menyaksikan dalam kebisuan bara derita yang diinjak perempuan itu
bertahun-tahun lamanya.
Malam yang dengan congkak berpesta penuh cahaya, sementara dia sendiri menghitung hari yang telah dilaluinya penuh kegelapan.
Sekar membenci malam.
*
Sekar
terjaga dari 'tidur panjang'. Perjalanan hidupnya yang membenci malam,
berakhir di titik nadir. Dia tahu, dia tak sedang membenci malam seperti
yang dirasakannya selama ini atau mungkin benar dia memang membencinya, tapi 'malam' yang lain.
Dia
benci noda hitam hidupnya. Dia benci kekelaman hatinya. Dia benci
kepekatan dustanya. Dia benci gulita yang diciptakannya sendiri.
Sesungguhnya, dia membenci dirinya sendiri.
Dengan
kerendahan hati, dia datang mengetuk malam. Dan malam membuka tabir
yang menutupi sebuah lukisan wajah berkanvas awan. Sekar tersenyum.
Malam adalah dirinya.
Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih terjaga…*
Di bumi Arafah, Di bawah langit bermata satu, 7-7-2011
* Puisi-puisi dikutip dari kumpulan puisi karya Chairil Anwar.
** Cerpen ini diterbitkan dalam antologi cerpen "Karena Aku Tercipta Istimewa" penerbit Medika.
No comments:
Post a Comment