Dia percaya pada jarum, tasi, semir, serta kotak yang setia
menggantung di leher. Bersahabat pada matahari, hujan, dan malam.
Bercengkrama dengan peluh. Berkemul dengan deru dan debu. Bergulat
dengan waktu. Yah, dia percaya.
“Mbung! Berhentilah tersenyum, urus dulu perut kita.”
Lelaki yang menginjak remaja itu terus berjalan, tak memperdulikan
seseorang yang tertinggal jauh di belakang. Ia tersenyum atas perintah
temannya untuk berhenti tersenyum. Lucu. Adakah larangan bagi orang yang
kelaparan untuk tersenyum?
“Woi, gue udah
nggak kuat lagi nih. Laper!” Ucap lelaki bertubuh gempal setelah
berhasil men-sejajarkan langkahnya dengan Mbung. Nafasnya tersengal.
Kotak yang tergantung di lehernya naik turun mengikuti ritme nafasnya.
Mbung melirik sekilas, ia tak meragukannya. “Abang punya uang buat beli makanan?” ucapnya sambil terus berjalan.
Tidak ada jawaban. Hanya ada gelengan lemah tak bersemangat.
“Kalau begitu, yang perlu kita lakukan adalah terus berjalan dan
berusaha untuk mendapatkan pelanggan, bang. Dan satu lagi…” ia berhenti
kemudian berbalik ke arah lelaki tambun yang kini kembali tertinggal.
“mengeluh tidak akan pernah membuat kita kenyang, kawan.”
Mbrot, lelaki itu terdiam. Perlahan senyum mengembang menggantikan
wajah masamnya. Ia memandang punggung Mbung yang basah oleh keringat.
Punggung yang seharusnya memangku tas sekolah seperti remaja lainnya.
Bukan punggung yang bercokol di atasnya beribu macam tanggungan. Mulai
dari ayahnya yang terbaring tak berdaya karna stroke, ibu yang
menjadi kuli cuci, juga beberapa adiknya yang tertatih mengenyam
pendidikan. Dialah tulang punggung keluarga. Yah, anak muda itu.
Mbung, mbung, tetaplah tersenyum. Lelaki itu berbisik diantara gemuruh teriakan ‘sol sepatu’ dari Mbung yang terus berjalan dengan senyuman.
“Kawan, lu udah gila yah?” Mbrot heran melihat kelakuan Mbung yang
menggali tanah, kemudian memasukkan sepatu mereka yang sudah hancur dan
tidak layak pakai ke dalamnya. Lalu menguburnya.
Seperti biasa, Mbung menanggapi dengan senyum. Ia mengangkat sebongkah
batu kemudian menindih gundukan tanah di hadapannya. Ia merogoh saku,
mengeluarkan sebuah paku. Mbrot penasaran dengan apa yang akan diperbuat
teman ajaibnya. Ternyata, dengan paku itu Mbung menggoreskan nama
mereka di atas batu. Mbung-Mbrot. Dan di atasnya tertulis besar-besar.
PRASASTI SOL.
Selesai.
Ia mengelap peluh
yang menggantung di hidungnya. Lalu menepuk-nepuk kedua tangannya.
Sisa-sisa tanah berguguran dan sebagian lagi terbang dibawa angin yang
berhembus.
Mereka saling pandang. Mbung tertawa melihat
kerutan-kerutan yang nampak di dahi teman sekaligus kakak baginya. Tanpa
diminta ia menjelaskan arti dari perbuatannya.
“Kalau selama ini
prasasti adalah saksi dari sejarah yang berlangsung di zamannya. Maka
sejak ujung paku menggores batu, inilah saksi kita bang. Bahwa kita
pernah hidup dalam sebuah kemiskinan. Dan kita baru saja menguburnya.
Kita
tak kan terjebak di dalamnya, apalagi menyerah. Kita masih boleh dan
harus bermimpi. Suatu saat, kita akan menggapainya. Meski harus
bertarung dengan tahun sekalipun. Parasti sol. Inilah prasasti kita.”
Ajaib!
Semangat itu. Senyum itu. Tuhan…
Mbrot malu. Usianya yang jauh di atas Mbung, tidak sedikitpun mencerminkan kedewasaan. Tidak pernah bermimpi dan tak sanggup memikirkannya. Yang diyakininya adalah: apa yang dimakan hari ini dan besok bisa makan atau nggak. Hanya itu.
Kekagumannya bertambah. Pada Mbung. Anak muda yang tersesat. Ia
menamainya seperti itu. Jalanan bukan tempat yang baik untuk anak
seistimewa dirinya. Meski Mbung sendiri berpikiran lain, ketika sekolah
tak dapat menerimanya dikarenakan uang, maka ia tak berputus-asa dan
jatuh terpuruk. Ia tinggal memindahkan sekolah itu ke jalanan. Dan, tanpa uang. Justru menghasilkan uang. Itulah jawaban Mbung. Ajaib bukan?
Mbung, Mbung.
“Bang! Bang! Kok bengong?”
Mbrot tersentak. Panggilan Mbung mengagetkannya. “Iya, kenapa?”
“Kok malah bengong? Ngiter lagi, yuk!” ajaknya.
Mbrot
tersenyum. Matahari berada tepat di atas kepala, panas, panas sekali.
Tapi, lihatlah pemuda itu! Ia berjalan tanpa alas kaki, tanpa penutup
kepala, yang paling penting ialah: tanpa beban. Dengan lantang ia
melangkah, teriakannya memecah lelah. Menggetarkan jiwa yang terbuai
dunia.
Ia teringat ucapan Mbung.
“Sebab duka
itu hanya persoalan kata, bang. Gantilah huruf ‘d’ dengan huruf ‘s’,
apa yang terjadi? Ini hanya soal cara pandang kita saja.”
Sekali lagi, ajaib!
Mbrot
tak ingin membuang-buang waktu. Ia memutuskan, tuk berlari mengejar
Mbung yang masih melaju membelah siang. Dia tak ingin tertinggal jauh
lagi.
Sedikit lagi.
Perih. Seperti membakar kulitnya.
Nikmati Mbrot! Lihat ke depan.
Tak lama,
Kau kan mengejarnya.
Yah.
Dapat.
Langkah mereka sejajar. Kemudian saling bertukar pandang dan berbalas senyum. Dan berteriak: Sol sepatu! Sol sepatu!
Hahahaha…
Tawa pun menggema. Menciptakan harmoni. Tentang mimpi. Asa. Dan cita. Tuhan melihatnya.
7 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment