sumber gambar |
Ada anak memiliki ibu, dia
menangis. Ada anak tak memiliki ibu, dia menangis. Bagaimana jika dia
memiliki dua ibu? Dua wanita yang mencintainya tanpa peduli darimana dia
berasal. Dari rahim mana dia terlelap sembilan bulan. Atau, siapa dia.
*
“Firyal, apakah ibu terlihat cantik?” Hanum memoleskan sesuatu di pipinya. Lalu, tersenyum.
“Tanpa
bedak pun ibu selalu terlihat cantik.” Ujar Firyal tegas. Menggenggam
tangan sang ibu dengan erat seolah-olah tak ingin dia lepaskan atau
terlepaskan. “Karena hati putihmu memancarkan kecantikan yang
sesungguhnya.”
Bayangan Firyal yang mengecup kening sang ibu terpantul, indah. Dua insan. Dua senyum. Dua cerita yang masih terus berlanjut.
“Harus
ada yang aku katakan padamu, nak…” Hanum menatap sendu cermin,
menghitung gurat-gurat di wajahnya. Dirinya menua bersama rahasia yang
tersembunyi dua puluh lima tahun lamanya.
Firyal mengeratkan genggamannya.
“Ada
seorang wanita yang mencintaimu lebih dari apapun, selain aku.” Hanum
diam sejenak lalu melihat reaksi Firyal yang penuh tanda tanya. “Wanita
yang menyusuimu dua tahun lamanya. Merawatmu penuh kasih sayang sebelum
aku mengambilmu dari sisinya. Namanya, Melati. Apakah kau
mengingatnya?”
Ada apa ini? Tangan Firyal mengendur. Getaran kecil merambat pelan membuatnya heran dan… takut.
“Apa yang ibu bicarakan?” kata Firyal seringan mungkin.
“Ibumu. Ibu sedang membicarakan ibumu yang lain.” Genggaman terlepas. Firyal menatap sang ibu.
“Ibu yang lain? Aku tak mengerti.”
Hanum
melanjutkan ceritanya, “Iya anakku, Melati adalah ibumu. Ibu yang telah
mendonorkan satu ginjalnya untukmu. Yang berjalan puluhan kilo hanya
untuk menatapmu dari balik pagar rumah ini. Dia mencintaimu tanpa ego
untuk memilikimu. Karena dia mengerti bahwa masa depanmu adalah yang
utama. Selanjutnya, akulah ibumu.”
“Ibu…”
Tes!
Entah siapa yang dimaksud Firyal dengan ‘ibu’ hingga air matanya jatuh.
Dia terlihat bingung dan menjauh meninggalkan Hanum sendiri.
Ibu yang lain? Apa maksud ibu, tidak! Aku anaknya, Firyal Faiqh Brata. Tak mungkin ada dua ibu. Tak mungkin.
Firyal melempar kerikil kecil ke danau, tempat dia menenangkan perasaannya yang tak menentu. Seperti saat ini.
“Melati…”
Satu
jam berlalu… dan hanya ada satu nama memenuhi pikirannya. Melati. Jika
wanita itu mencintaiku lebih dari apapun, mengapa dia justru
meninggalkanku? Firyal bertanya-tanya. Lelah menyendiri tanpa jawaban,
dia bangkit dan bergegas menuju satu tempat untuk menemui seseorang.
Ibu.
*
“Mengapa
ibu merahasiakannya?” Tanya Firyal dingin. “Seperempat abad aku
menghormatimu, engkaulah wanita yang paling aku cintai. Kenapa ibu tega
melakukan ini padaku?”
Hanum tahu kebohongannya akan
berakhir seperti ini, dia sudah menduganya. Namun rasa takut kehilangan
akan anak kesayangannya lebih besar menghantui hidupnya. Brata, sang
suami pun berpesan di akhir hidupnya untuk bersegera mengungkap rahasia
tentang Firyal. Hanum baru bisa melaksanakannya sekarang, perlu waktu 12
tahun mengumpulkan keberanian.
“Firyal…”
“Aku ingin menemuinya.” Pungkas Firyal.
Hanum mengangguk, pilu.
Berjam-jam
mobil silver itu menyusuri perumahan kumuh di ujung kota. Kaki-kaki
kecil lincah bermain genangan air dan berhamburan saat ban mobil
menggilas tempat bermain mereka. Tawa-tawa pecah dan saling mengejek
muka mereka yang belepotan tanah.
Apakah aku pernah menjadi bagian dari kehidupan ini? Kakiku juga pernah menjejak tanah kotor ini. Melati, ibu…
Hanum memandang Firyal, “Maafkan ibu…” bisikannya ditelan deru mesin mobil juga teriakan bocah Gang Lestari.
Pak
sopir baru saja selesai bertanya pada seseorang lalu beralih kepada
Hanum yang mengangguk yakin. Mobil pun meluncur dan berhenti di depan
rumah kumuh, entahlah apa gubuk reot itu patut disebut sebagai rumah.
Hanum merasakan pedih kala matanya menangkap sorot kesedihan di mata
sang anak.
Hanum turun diikuti Firyal yang terlihat
sedikit canggung. “Apakah ini…?” Tanyanya. Hanum mengangguk pelan,
mereka berdua pun menguatkan hati menerima apapun yang akan terjadi
setelah ini.
*
Detik-detik beku bersama
kesunyian. Hanum. Firyal. Dan… Melati. Tak ada suara yang keluar dari
mulut mereka, hanya ada tiga pasang mata yang saling melirik. Mata-mata
yang tergenang keharuan hingga tak ada kata yang dapat mewakilinya.
“Ibu…”
suara Firyal bergetar. Hanum dan Melati menoleh bersamaan, ketika
pandangan jatuh pada Mata Firyal yang beruraian air mata, tangis pun
tak dapat lagi disembunyikan. Firyal berhambur memeluk Melati, wanita
yang usianya tak jauh berbeda dengan Hanum. Namun tak ada kesejahteraan
yang dapat menutupi penderitaan hidup yang tergambar jelas di tulang
berbalut kulit miliknya.
“Anakku, anakku, anakku…” Tumpah
sudah kerinduan Melati pada anak lelaki yang sangat ia cintai. Tubuh
mereka bertautan penuh getar-getar kasih sayang. “Kau sangat tampan,
betapa tingginya dirimu, kau terlihat sehat, matamu… jangan menangis
nak, biarkan aku mengeja dirimu. Kau masih sangat kecil ketika,…”
Melati tak sanggup melanjutkannya. Tangannya terus membelai rambut hitam anak yang lama tak dijumpa.
“Mengapa, mengapa bu?”
“Maafkan
aku,” Melati meminta persetujuan Hanum tuk bercerita. Anggukan
didapatnya. “Sebelumnya, jangan pernah kau menyalahkan Hanum anakku.
Ibumu tak bersalah. Akulah yang memaksanya untuk mengambilmu dariku, aku
yang memutuskan semuanya untuk melepasmu dari kehidupanku yang kau
lihat sendiri. Tidak ada yang dapat menjanjikan kehidupan terbaik
untukmu di sini.”
Firyal menggeleng kencang, “Tidak bu,
tidak, jangan katakan itu padaku. Engkau telah mengandungku,
melahirkanku, atas dasar apa aku lari dari pengabdian anak kepada
ibunya. Tidak, bu. Aku berhutang nyawa padamu.”
Melati diam. Dia belum tahu, batinnya.
Kalimat
panjang Firyal membuat ledakan tangisan dari mulut Melati. Hanum tak
mengerti apa yang terjadi. Berkali-kali Melati meminta maaf atas
kebohongannya selama ini. Melati memiliki rahasia.
Rahasia…?
“Ada
apa Melati, mengapa kau terlihat begitu tersiksa?” ujar Hanum. Firyal
menatap sang ibu, rahasia apalagi yang disembunyikan darinya? Pikirannya
begitu rumit.
Cerita itu mengalir, rahasia Melati yang
sangat mengejutkan di antara isak dan parau suaranya. Cerita belum
bertitik, namun Firyal tak sanggup lagi mendengarnya. Dia berlari sekuat
tenaga meninggalkan gubuk tua bersama dua wanita yang menyimpan rahasia
tentang dirinya. Melati dan Hanum.
Ibu…
*
Haruskah
aku membenci mereka? Ibu yang selama 25 tahun membesarkanku penuh
cinta, memberikanku kehidupan dan masa depan yang baik.
Juga, Ibu yang lain
yang merawatku selama dua tahun dan rela berbagi ginjal denganku. Tapi
cerita hidupku belum usai. Wanita yang aku kira adalah ibu kandungku
justru mengaku bukan ibuku. Bukan ibu kandungku! Dia hanya menemukanku di tempat sampah dengan ilitan tali pusar berlumur darah.
Hah, haruskah aku tertawa? Menertawai kisah malang diriku yang tak tahu dari mana aku berasal.
Hahaha,
Firyal… engkau tak hanya memiliki dua ibu. Tapi, tiga. TIGA IBU! Atau
mungkin ketika kau menemukan ibu ketigamu bisa saja bertambah menjadi
empat, lima, enam, atau ibu yang lain.
Firyal jatuh tersungkur di genangan coklat yang ditinggalkan bocah-bocah tadi. Dia tertawa dalam tangis. Aku
punya dua ibu, tidak, melainkan tiga ibu. Haruskah aku senang atas itu?
Kepada siapa bakti ini kuletakkkan? Dimana letak syurga yang harus
kukecup?
Ibu…
***
Hmmm, duh, sinetron banget gak sih? :D
No comments:
Post a Comment