Saturday, May 19, 2012

NOTE LOVE


sumber gambar

Air mancur di taman. Jam empat sore.


Jam dua belas tepat.
Aku menerimanya. Begitulah pesan yang ditinggalkannya di secarik kertas. Begitu singkat. Memang seperti itulah kaidah memo yang pernah dipelajari. Isi ringkas dan biasanya ditulis dari atasan kepada bawahan.

Atasan-bawahan.

Dia atasan dan aku bawahan. Uh, menggelikan. Ada gerangan apa dia menyuruhku ke sana. Kenapa tak langsung saja saat di sini (kantor) tadi, bukankah berapa kali kami bertemu. Di lift, di lorong, di depan pintu kamar mandi yang berhadapan, di ruangannya –saat menyerahkan file penting- di mana-manalah. Aku saja ingat bros mawar merah yang tersemat di kerah jasnya bagian kiri. Kenapa harus di tempat itu?


Sekarang jam dua lewat sepuluh menit.
Aku masih memandangi secarik kertas darinya. Tulisan rapi dengan tinta hitam yang tebal dan jelas. Dia menggambarkan dirinya di kertas ini. Tanpa cacat. Aneh, tulisannya saja dapat mengintervensi kesendirianku. Dia pintar sekali. Pantas saja dia menjadi atasan. Dan sekali lagi, aku menjadi bawahan.
Sepuluh menit lagi berlalu. Inginnya aku menyudahi penantian untuk jam empat nanti. Mengapa dia memilih jam empat. Mengapa bukan jam satu saja, satu jam dari waktu dia meninggalkan secarik kertas di mejaku. Itu akan menjadi mudah bagiku. Tak seperti ini, harus menunggu empat jam, kupakai saja untuk menduga-duga. Apa yang dia inginkan?

Jam setengah tiga.
Dia mencoba mempermainkanku. Hipotesa awal. Yah, bisa saja. Kenapa tidak? Dia marah padaku karena sikap sebagai bawahan yang tak pantas aku lakukan di hadapannya. Masuk tanpa ketuk pintu, membanting map, dan tak mendengar perintahnya. Dia memang tak marah. Justru itulah yang membuatku marah. Kenapa dia tidak memarahiku atau langsung saja pecat aku, bukankah dia memegang hak itu? Kenapa baru sekarang? Permainan licik.


Setengah jam berlalu. Jam tiga lewat lima detik.
Hahaha, dia pikir permainan ini akan dimenangkannya. Cukup sudah aku kalah saat dia menjadi atasan dan aku bawahan. Tidak kali ini. Ah, aku tak sebodoh yang dia kira. Mau saja disuruh-suruh menunggu empat jam, lalu datang mengikuti kemauannya seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Apalagi ditambah kenyataan nanti, dia hanya ingin memberikanku tugas sepele. ‘Ini tugasmu, cepat selesaikan! Hanya itu. Tidak. Tidak akan! Dimana harga diri ini aku taruh?


Jam empat kurang lima menit.
Kutengok langit. Biru bercampur kelabu. Alam mendukungku. Hipotesa tetap menjadi hipotesa. Tak usah lagi aku bertanya-tanya, menduga-duga, juga menebak-nebak. Dia harus merasakannya. Kekalahan ini. Aku mengendorkan dasi. Memejamkan mata. Samar kudengar hujan yang mulai jatuh ke bumi. Rintik. Lalu, deras. Telah aku putuskan, aku takkan datang.


Jam empat lewat tiga puluh menit.
Huahh, aku tertidur. Hmm, sudah lewat tiga puluh menit rupanya. Damai sekali rasanya tidurku kali ini. Setelah hampir sebulan lebih tidur di kantor dengan perasaan gelisah. Beginikah indahnya jadi pemenang? Apakah dia masih di sana? Ah, tak mungkin. Lewat satu menit saja dia akan pergi. Disiplin. Hargailah waktu, berarti engkau menghargai hidupmu. Katanya sebulan yang lalu, pertama kali dirinya jadi ‘bos’ dan pertama kali aku telat –dengan sengaja- menjadi bawahan. Uf!


Jam lima kurang lima belas menit.
Dimas, Liana kenapa? Pertanyaan kamu mengusikku. Emangnya kenapa? Aku balik tanya dengan malas. Kamu terheran-heran menjawabnya. Kok, istri mengundurkan diri malah nggak tahu. Apa?! Apa aku tak salah dengar? Kamu mengangguk. Kalimat terakhirmu bagai tamparan keras yang pernah aku rasakan. Tidak mungkin. Kenapa? Mengapa? Ada apa? Kamu malah mengangkat bahu.
Ah, aku harus menemuinya. Aku tahu dia ada di mana sekarang. Dan, aku lari sekencang-kencangnya, meninggalkanmu sendiri yang bertanya-tanya. Kenapa? Mengapa? Ada apa?


Jam lima lewat sepuluh menit.
Dia masih di sana. Di bangku taman dekat air mancur. Rambutnya, wajahnya, seluruh badannya basah. Tangannya melipat menahan dingin. Matanya lekat di air mancur yang jatuh bertingkat. Aku mendekat.
Dia menoleh. Wajahnya pucat. Bibirnya yang membiru masih saja mau tersenyum menyambutku. Kenapa tak pergi? Getaran dari suaraku tak bisa kusembunyikan. Kamu pasti datang. Ujarnya sambil bergeser sedikit memberikan aku tempat.


Jam lima lewat lima belas menit.
Aku dan dia hanya diam membisu. Aku membuka jas dan memakaikannya ke tubuhnya yang mulai mengering. Dia mengucapkan terima kasih. Aku perih mendengarnya. Aku putuskan untuk bersuara. Aku tak tahan lagi.
Kenapa, Liana? Kata itu baru saja akan meluncur. Tapi, dia mendahuluinya.

Jam lima lewat enam belas menit.
Aku sudah mengundurkan diri. Aku mau kamu pulang. Aku minta maaf. Aku hanya ingin semua kembali seperti dulu lagi. Aku sudah memikirkannya sejak lama. Keluarga lebih berharga dibandingkan jabatan itu yang hanya memisahkan kita. Menciptakan jarak yang membuat kita jauh. Semakin jauh. Aku kangen kamu. Sekali lagi, aku minta maaf.

Jam lima lewat dua puluh satu menit.
Lima menit. Dia hanya membutuhkan waktu secepat itu untuk mengatakan semuanya. Itu berarti, dia sudah mempersiapkannya dengan matang bukan. Dan aku yang bodoh ini, menghancurkan segalanya dengan membiarkannya menunggu selama satu jam enam belas menit di bawah guyuran hujan serta ‘rasa dendam’ku yang tak beralasan. Oh, memalukan sekali.

Lihatlah. Bagaimana bisa rasa iri yang begitu besar membutakan mataku. Hanya karena aku sebagai suami harus menjadi bawahan. Dan, dia. Liana, istriku menjadi atasan. Kenapa aku tak bisa menerima kenyataan. Malah memupuk rasa iri itu, menjelma menjadi marah, lalu benci.
Childish. Kekanak-kanakan. Itukah jiwa seorang pemimpin? Untuk memimpin diri dan keluarganya saja tak becus, bermimpi ingin menjadi atasan. Aku mengutuk diriku sendiri. Aku benar-benar dibutakan jabatan.

Jam enam kurang empat menit.
Aku tak mampu untuk membendungnya. Air mata ini. Hujan dalam hatiku. Dia menghapusnya. Menggenggam tanganku. Dingin. Lalu, hangat. Aku merasakannya. Ketulusan. Saat dia tersenyum untukku, belenggu-belenggu yang mengekang hatiku satu persatu lepas. Tubuhku terasa ringan dan… bebas. Yang tertinggal hanya ada ruang kosong yang menanti kembali tuannya.
Dia. Cinta. Liana. Istriku.


Jam enam tepat.
Aku dan dia meninggalkan taman itu. Juga air mancur yang bergemericik merdu. Aku menyadari kekeliruanku. Liana memaafkannya, meski dia bilang tak ada yang harus dimaafkan. Baginya, hanya ada yang harus diterima oleh kami berdua. Aku suami. Dia istri. Tak ada atasan. Tak perlu bawahan.
Aku sadar. Aku rindu padanya.

Apakah kamu masih bertanya-tanya?

Lewat satu detik,
Aku menyadari satu hal lagi. Bros mawar merah yang tersemat di kerah jasnya bukan di bagian kiri. Tapi di kanan. Uff!

*

Cerpen 2010 -_______- pintarku ca' bulis beginian -______-

No comments:

Post a Comment