Jam dua belas tepat.
Aku
menerimanya. Begitulah pesan yang ditinggalkannya di secarik kertas.
Begitu singkat. Memang seperti itulah kaidah memo yang pernah
dipelajari. Isi ringkas dan biasanya ditulis dari atasan kepada bawahan.
Atasan-bawahan.
Dia
atasan dan aku bawahan. Uh, menggelikan. Ada gerangan apa dia
menyuruhku ke sana. Kenapa tak langsung saja saat di sini (kantor) tadi,
bukankah berapa kali kami bertemu. Di lift, di lorong, di depan pintu
kamar mandi yang berhadapan, di ruangannya –saat menyerahkan file
penting- di mana-manalah. Aku saja ingat bros mawar merah yang tersemat
di kerah jasnya bagian kiri. Kenapa harus di tempat itu?
Sekarang jam dua lewat sepuluh menit.
Aku
masih memandangi secarik kertas darinya. Tulisan rapi dengan tinta
hitam yang tebal dan jelas. Dia menggambarkan dirinya di kertas ini.
Tanpa cacat. Aneh, tulisannya saja dapat mengintervensi kesendirianku.
Dia pintar sekali. Pantas saja dia menjadi atasan. Dan sekali lagi, aku
menjadi bawahan.
Sepuluh menit lagi berlalu. Inginnya aku
menyudahi penantian untuk jam empat nanti. Mengapa dia memilih jam
empat. Mengapa bukan jam satu saja, satu jam dari waktu dia meninggalkan
secarik kertas di mejaku. Itu akan menjadi mudah bagiku. Tak seperti
ini, harus menunggu empat jam, kupakai saja untuk menduga-duga. Apa yang
dia inginkan?
Jam setengah tiga.
Dia mencoba mempermainkanku. Hipotesa awal. Yah, bisa saja. Kenapa tidak? Dia marah padaku karena sikap sebagai bawahan
yang tak pantas aku lakukan di hadapannya. Masuk tanpa ketuk pintu,
membanting map, dan tak mendengar perintahnya. Dia memang tak marah.
Justru itulah yang membuatku marah. Kenapa dia tidak memarahiku atau
langsung saja pecat aku, bukankah dia memegang hak itu? Kenapa baru
sekarang? Permainan licik.
Setengah jam berlalu. Jam tiga lewat lima detik.
Hahaha,
dia pikir permainan ini akan dimenangkannya. Cukup sudah aku kalah saat
dia menjadi atasan dan aku bawahan. Tidak kali ini. Ah, aku tak sebodoh
yang dia kira. Mau saja disuruh-suruh menunggu empat jam, lalu datang
mengikuti kemauannya seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Apalagi
ditambah kenyataan nanti, dia hanya ingin memberikanku tugas sepele. ‘Ini tugasmu, cepat selesaikan! Hanya itu. Tidak. Tidak akan! Dimana harga diri ini aku taruh?
Jam empat kurang lima menit.
Kutengok
langit. Biru bercampur kelabu. Alam mendukungku. Hipotesa tetap menjadi
hipotesa. Tak usah lagi aku bertanya-tanya, menduga-duga, juga
menebak-nebak. Dia harus merasakannya. Kekalahan ini. Aku mengendorkan
dasi. Memejamkan mata. Samar kudengar hujan yang mulai jatuh ke bumi.
Rintik. Lalu, deras. Telah aku putuskan, aku takkan datang.
Jam empat lewat tiga puluh menit.
Huahh,
aku tertidur. Hmm, sudah lewat tiga puluh menit rupanya. Damai sekali
rasanya tidurku kali ini. Setelah hampir sebulan lebih tidur di kantor
dengan perasaan gelisah. Beginikah indahnya jadi pemenang? Apakah dia
masih di sana? Ah, tak mungkin. Lewat satu menit saja dia akan pergi.
Disiplin. Hargailah waktu, berarti engkau menghargai hidupmu. Katanya
sebulan yang lalu, pertama kali dirinya jadi ‘bos’ dan pertama kali aku
telat –dengan sengaja- menjadi bawahan. Uf!
Jam lima kurang lima belas menit.
Dimas,
Liana kenapa? Pertanyaan kamu mengusikku. Emangnya kenapa? Aku balik
tanya dengan malas. Kamu terheran-heran menjawabnya. Kok, istri mengundurkan diri malah nggak tahu.
Apa?! Apa aku tak salah dengar? Kamu mengangguk. Kalimat terakhirmu
bagai tamparan keras yang pernah aku rasakan. Tidak mungkin. Kenapa?
Mengapa? Ada apa? Kamu malah mengangkat bahu.
Ah, aku harus
menemuinya. Aku tahu dia ada di mana sekarang. Dan, aku lari
sekencang-kencangnya, meninggalkanmu sendiri yang bertanya-tanya. Kenapa? Mengapa? Ada apa?
Jam lima lewat sepuluh menit.
Dia
masih di sana. Di bangku taman dekat air mancur. Rambutnya, wajahnya,
seluruh badannya basah. Tangannya melipat menahan dingin. Matanya lekat
di air mancur yang jatuh bertingkat. Aku mendekat.
Dia menoleh.
Wajahnya pucat. Bibirnya yang membiru masih saja mau tersenyum
menyambutku. Kenapa tak pergi? Getaran dari suaraku tak bisa
kusembunyikan. Kamu pasti datang. Ujarnya sambil bergeser sedikit
memberikan aku tempat.
Jam lima lewat lima belas menit.
Aku
dan dia hanya diam membisu. Aku membuka jas dan memakaikannya ke
tubuhnya yang mulai mengering. Dia mengucapkan terima kasih. Aku perih
mendengarnya. Aku putuskan untuk bersuara. Aku tak tahan lagi.
Kenapa, Liana? Kata itu baru saja akan meluncur. Tapi, dia mendahuluinya.
Jam lima lewat enam belas menit.
Aku
sudah mengundurkan diri. Aku mau kamu pulang. Aku minta maaf. Aku hanya
ingin semua kembali seperti dulu lagi. Aku sudah memikirkannya sejak
lama. Keluarga lebih berharga dibandingkan jabatan itu yang hanya
memisahkan kita. Menciptakan jarak yang membuat kita jauh. Semakin jauh.
Aku kangen kamu. Sekali lagi, aku minta maaf.
Jam lima lewat dua puluh satu menit.
Lima
menit. Dia hanya membutuhkan waktu secepat itu untuk mengatakan
semuanya. Itu berarti, dia sudah mempersiapkannya dengan matang bukan.
Dan aku yang bodoh ini, menghancurkan segalanya dengan membiarkannya
menunggu selama satu jam enam belas menit di bawah guyuran hujan serta
‘rasa dendam’ku yang tak beralasan. Oh, memalukan sekali.
Lihatlah.
Bagaimana bisa rasa iri yang begitu besar membutakan mataku. Hanya
karena aku sebagai suami harus menjadi bawahan. Dan, dia. Liana, istriku
menjadi atasan. Kenapa aku tak bisa menerima kenyataan. Malah memupuk
rasa iri itu, menjelma menjadi marah, lalu benci.
Childish.
Kekanak-kanakan. Itukah jiwa seorang pemimpin? Untuk memimpin diri dan
keluarganya saja tak becus, bermimpi ingin menjadi atasan. Aku mengutuk
diriku sendiri. Aku benar-benar dibutakan jabatan.
Jam enam kurang empat menit.
Aku
tak mampu untuk membendungnya. Air mata ini. Hujan dalam hatiku. Dia
menghapusnya. Menggenggam tanganku. Dingin. Lalu, hangat. Aku
merasakannya. Ketulusan. Saat dia tersenyum untukku, belenggu-belenggu
yang mengekang hatiku satu persatu lepas. Tubuhku terasa ringan dan…
bebas. Yang tertinggal hanya ada ruang kosong yang menanti kembali
tuannya.
Dia. Cinta. Liana. Istriku.
Jam enam tepat.
Aku
dan dia meninggalkan taman itu. Juga air mancur yang bergemericik
merdu. Aku menyadari kekeliruanku. Liana memaafkannya, meski dia bilang
tak ada yang harus dimaafkan. Baginya, hanya ada yang harus diterima
oleh kami berdua. Aku suami. Dia istri. Tak ada atasan. Tak perlu
bawahan.
Aku sadar. Aku rindu padanya.
Apakah kamu masih bertanya-tanya?
Lewat satu detik,
Aku menyadari satu hal lagi. Bros mawar merah yang tersemat di kerah jasnya bukan di bagian kiri. Tapi di kanan. Uff!
*
Cerpen 2010 -_______- pintarku ca' bulis beginian -______-
No comments:
Post a Comment