Bismillahirrahmaanirrahiim.
Taryanti Octaviani |
Untuk sahabat yang selalu membuatku tersenyum…
Itu kamu, Tar.
Yang
datang membawa keceriaan di tengah sumpeknya kelas kecil berisikan
bocah-bocah tengil bin lincah. Teman-teman kita. Anak pindahan yang
penuh percaya diri. Mengisi bangku kosong lajur tiga, lengkap sudah meja
kita. Aku: (dulu) si pemalu, St. Faidzah Amalia: (dulu dan sekarang) si cantik dan baik hati, dan kamu, Taryanti: (selamanya) si ceria nan lucu.
Mengapa?
Haruskah
aku bertanya pada Tuhan mengapa kita dipertemukan di SD 01, duduk
sebangku terus hingga kelas enam, berteman, beranjak pada tingkat
‘sahabat’, saling mengunjungi rumah hingga keluargaku hanya mengingat
kamu sebagai teman SD-ku, bertemu di SMP ONSIT meski beda kelas
(komunikasi masih lancar, sampai lelaki yang disukai kita sama-sama
tahuJ), bersua kembali di SMA MADOE (52) bersama-sama sibuk mengurus
sekolah alih-alih mencoba mandiri tanpa bantuan orang lain diselingi
bincang-bincang tentang masa depan di KWK (kita akan bersama kembali di
UI, ingatkah kamu?), pergi dan pulang sekolah selalu bersama (aku
terlalu takut untuk pergi sendiri) hingga malam terakhir aku datang ke
rumahmu untuk pamit meninggalkan sekolah, meninggalkan Jakarta, dan yang
berat adalah….meninggalkan kamu, sahabatku.
Tidak, Tar….
Aku takkan bertanya ‘mengapa’ karena semua kenangan itu adalah jawaban yang berbisik padaku, “Inilah takdir, maukah kamu percaya?”
Yah, aku percaya! Sangat!
Percaya bahwa kebersamaan kita adalah pelengkap cerita masa kecil yang memang dan harus dikenang.
Belajar
bersama, kumpul-kumpul di rumah Ratna, di kejar Asep (mengejeknya si
gendut) sampai harus ngumpet di kolong meja, jadi bahan ledekan Paklik
(kamu tahu itu kan ‘Lativi tombol dua’) membuat gantungan dompet: kamu
‘Red’ aku ‘Blue’, bermain benteng, latihan senam poco-poco,
pergi berenang dan kamu mendorongku ke kolam untuk anak-anak: aku tak
bisa berenang, Tar) banyak sekali kepingan mozaik yang jika tersusun aku
bisa gila karena menangis dan tertawa dalam waktu yang bersamaan.
Kita
punya PR untuk menyatukan mozaik-mozaik itu dan menjadikannya utuh,
ketika kita berjumpa dan duduk di samping rumahmu yang segar oleh tiupan
angin sore, lagi.
Aku menunggu hari itu.
Ah,
sudahkah kita bersyukur atas pertemuan bertahun-tahun silam maupun
perpisahan empat tahun yang lalu? Kita patut melakukan itu. Aku baru
saja melakukannya, setelah membaca tulisanmu, tentunya. (Terima kasih
kembali, namaku masih ada dalam ingatanmu)
Tar, semoga
kamu sedang tertawa seperti biasanya jangan sepertiku. karena sampai
disini aku berubah jadi melankoli amatiran dan membasahi keyboard dengan
air mata. PayahL
Tar, ini adalah lembaran kedua untuk menulis tentang kamu…
Hari ini, jam ini, detik ini, aku hanya ingin menulis tentang kamu, dan bagaimana kamu mewarnai separuh perjalanan hidupku.
Ketika
ada kesempatan kembali ke Jakarta, sejak dari bandara aku selalu
terbayang satu rumah yang amat-sangat ingin aku kunjungi. Yaitu,
rumahmu. Aku tak pernah melupakan rute menuju rumahmu yang
bertahun-tahun lamanya aku lewati, tak jadi masalah Sarang Bango banyak
berubah. Seperti kita, bukan lagi anak kecil berkucir dua yang
mengoleksi bermacam-macam bando dan jepitan. Kita akan menyapa usia
kepala ‘2’ dengan tampilan baru, pemikiran baru, masalah baru, yang
pasti sebuah kehidupan baru. Lalu, dihadapkan banyak pilihan yang
menentukan kehidupan kita selanjutnya. Aku berdoa yang terbaik untukmu.
Aku
memilih untuk menjadi seorang penulis, bukan dokter sebagaimana
cita-cita awal nan dadakan ketika guru bertanya. Dan biar kutebak, kamu
sedang berjalan menuju puncak ‘teaterawan’, betulkah itu? Di SMA, aku
tak habis pikir kamu memilih ekskul Teater, melihatmu berakting suatu
kebanggaan memiliki teman seperti artis (hehehe)
Suatu saat nanti,
maukah kamu memainkan sebuah drama dengan naskah buatanku? Aku akan
mempersiapkannya, sebaik-baiknya demi kamu. Aku tunggu jawabannya.
Tar,
Bagaimana aku mengakhiri tulisan ini jika menekan tuts
dan merangkai kisah kita adalah kebahagiaan yang menyejukkan. Mengingat
kamu, mengingat persahabatan kita, mengingat sepeda tua kita, mengingat
saat tertawa, saat menangis, saat marahan, saat baikan, saat tersipu
malu, saat…. saat aku memohon pada Sang Pemilik Waktu agar
memori ini jangan terhapus, jangan terkikis, tersamarkan, dan yang lebih
menakutkan lagi jika harus terlupa dan menghilang dari ruang ingatan
kita yang setiap hari penuh dengan memori baru. Jangan, aku tak mau itu.
Aku
selalu berdoa pada-Nya, bantulah aku dengan doamu juga. Sampai saat
dimana waktu yang memisahkan kita berbaik hati untuk menyatukan kita
kembali, bukan untuk mengulang kisah lalu (karena yang lalu akan
selamanya seperti itu) tapi untuk mengukir cerita baru, tentang kamu dan
aku. Tentang, kita.
Di ruang kertas terakhir ini,
aku ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untukmu
Taryanti, sahabatku yang menjadi pelangi di dalam hidupku. Atas
kesediannya berbagi tawa, menghapus air-mata, mengukir cita, juga
kesempatan untuk tahu bahwa aku orang beruntung yang memiliki seorang
‘sahabat’ sepertimu.
Semoga tulisan ini dapat menggantikan
sementara semua ucapan yang ingin aku utarakan padamu, juga seluruh
rinduku padamu. Suatu saat nanti, sampai tak ada lagi jarak. Aku dan
kamu di hadapan sawah yang menghijau. Terbentang. Yah, bicara tentang
apa saja asalkan bukan gosip kacangan, bagaimana kalau tentang masa
depan, kesibukan, impian, kisah saat SD, SMP, atau siapa ‘dia’ yang ada
di sampingmu dalam foto profil (hahaha)?
Ehm, Punya ide lain?
Makassar, 30 Juli 2011
*
selamat menjalankan bulan suci ramadhan, semoga bulan ini adalah bulan
terbaik dari sekian banyak ramadhan yang telah kamu lalui....(amiin)
No comments:
Post a Comment