Bismillahirrahmaanirrahiim.
Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya. (Hadits Nabi)
Maka
menjadi seorang penulis, apalagi jikalau bukan membuat tulisan yang
bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Itulah paham saya yang kemudian
menjadi alarm ketika tulisan saya keluar dari jalur.
Mengapa
saya membuat jalur dalam menulis? Entah, apa karena background saya
dari pesantren atau atas nama kesadaran diri jalur-jalur itu tercipta.
Sebelumnya, 'jalur' yang saya maksud adalah semacam neraca yang
menentukan apakah tulisan yang saya buat baik atau buruk. Bermanfaat
atau tidak.
Suatu ketika, seorang teman meminta saya untuk
membuat cerpen bertema remaja. Pikir saya itu mudah saja, toh kehidupan
remaja beserta atributnya teramat jelas digambarkan mulai dari serial
televisi, teenlit, bahkan di depan mata kita sehari-hari.
Jauh panggang dari api. Jari-jari saya tertahan di tombol keyboard, sedang halaman Word masih saja kosong. Loh, blockwriter
kah ini? Apakah saya kehabisan ide? Tidak, seperti yang saya katakan
sebelumnya, menulis tentang remaja itu mudah. Tentang cinta monyet,
rebutan pacar, hura-hura di mall, putus cinta, bla bla bla.
Lalu
yang menjadi persoalan bagi saya adalah di sini, di hati. Pertarungan
batin itu terjadi selama proses menulis, benarkah saya ingin menulis
tentang semua itu. Bisa jadi tulisan saya memuaskan teman saya, tapi
apakah bermanfaat baginya? Mungkin saja tulisan saya bagus, namun sudah
baik dan benarkah?
Dilema.
#
Ulama
Sayyid Qutb pernah berkata, satu peluru hanya dapat menembus satu
kepala namun satu tulisan dapat menembus ribuan bahkan jutaan kepala.
Disadari
atau tidak efek dari sebuah tulisan sangatlah dahsyat, pernah dengar
bahwasanya negeri kita dijajah selama berabad-abad karena sebuah buku?
Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien,
yang ditulis Jan Huygen van Linshoten di tahun 1595. Sebuah buku yang
menggambarkan keadaan satu wilayah di selatan bola dunia yang sangat
kaya dengan sumber daya alamnya, yang tidak terdapat di belahan dunia
manapun. Negeri itu penuh dengan karet, lada, dan rempah-rempah
lainnya, juga adanya emas dan batu permata yang tersimpan di perutnya.
Tanah tersebut iklimnya sangat bersahabat, dan alamnya sangat indah.
Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Nusantara.
Datanglah pasukan Belanda untuk kemudian menjajah selama 3,5 abad
lamanya.
#
Kembali kepada diri saya, menulis
adalah sebuah keputusan. Menyampaikan yang benar atau menuntun kepada
yang salah. Karena, selalu ada yang bicara ketika kita menulis. Nurani.
Ia membisiki kita, bahwa apa yang kita buat belumlah benar. Menyortir
tiap kata yang tertulis.
Akhirnya saya menulis sesuai
prinsip yang saya pegang. Melupakan sisi komersial, apatah lagi pujian.
"Yah, kok begini?" keluh teman selesai membaca cerpen buatan saya yang
jauh dari harapannya. Tidak ada romantisme, kaku, kuno.
Saya
tersenyum, saya tak ingin sekedar pintar memainkan kata dan
menghadirkan roman-roman picisan tanpa peduli esensi dari tulisan yang
saya buat.
"Garing banget!" pungkasnya.
Tak apalah... asal tetap dalam jalurnya,
ucap saya dalam hati. Kritikan di atas justru memacu saya untuk membuat
tulisan yang tetap menarik tanpa harus melanggar prinsip. Jalur.
Terutama, alasan saya untuk menulis: berdakwah!
#
Kita
menulis bukan untuk menjajah, atau memancing 'pasukan' untuk menjajah
pemikiran pembaca dengan hal-hal negatif. Kita menulis karena kita
peduli. Membangun peradaban dengan hati.
Marilah menulis
yang baik-baik walau hanya sekedar cerpen, puisi, atau bahkan status di
FB. Karena tulisan akan selalu abadi, maka yang mana kita inginkan:
abadi dalam kebaikan atau abadi menyesatkan?
By: Aisyah Istiqomah Marsyah
Silahkan kunjungi note FB tentang tulisan ini, terima kasih.
*Tulisan
ini MENANG dalam lomba 'Keshalehan Jalan Pena: Komitmen di Jalur
Kepenulisan Agar Semakin Dekat Dengan-Nya dan Semakin Bermanfaat Bagi
Sesama' yang diadakan oleh Pesantren Penulis.
No comments:
Post a Comment