picture taken here |
RAHASIA RISTA
R-I-S-T-A
Rista. Dia tak butuh formulir untuk mengantri
mencalonkan diri jadi Artis-Papan-Atas. Sudah banyak sutradara, mulai dari
profesional sampai yang gadungan, kerap kali menawarkan dirinya tuk syuting
iklan, sinetron, maupun layar lebar. Menakjubkan. Berita buruknya, kartu nama mereka
yang wangi nan luks dilemparkannya begitu saja ke tempat sampah bersama kartu
nama lainnya, seperti slogan ‘buanglah sampah pada tempatnya’. Lamaran ditolak! Sepertinya, Jaya Suprana perlu mencantumkan nama perempuan itu di
Rekor MURI sebagai perempuan biasa yang terbanyak menolak rejeki.
Takkan ada yang percaya dia melakukan itu semua.
Kecuali, seseorang. Perempuan lain yang selalu berada di dekat Rista. Saksi
hidup yang bernafas, menyaksikan kejadian itu langsung di depan matanya.
Ditelanlah bulat-bulat ludah yang menyangkut di tenggorokannya, tatkala satu
per satu orang penting itu pulang dengan tangan kosong dan kepala
geleng-geleng.
Mereka pasti tak habis pikir dengan perempuan ajaib ini,
ribuan orang berusaha mempoles, mengutak-atik, me-reparasi wajah dan
penampilan demi mewujudkan impian jadi artis, tapi, makhluk satu ini: Rista,
yang hanya perlu menerima fakta bahwa dia cantik, bukan, teramat cantik
tanpa polesan bedak dan gincu sekalipun justru melepaskan kesempatan besar itu.
Mempersilahkan terbang burung langka yang terjerat di genggamannya. Bukan
terlepas. Dilepas!
‘Kamu udah gak waras, yah?’
Jangan salahkan Perempuan itu bertanya sakartis. Karena Rista
baru saja memulangkan Pak Shindu, sutradara kawakan keturunan India yang datang untuk kelima
kalinya lantaran capek menungu telepon dari Rista yang tak kunjung berdengung.
Maklum, Rista sudah diincarnya berbulan-bulan yang lalu takut kalau ada
saingannya yang berhasil mendapatkan ‘tambang emasnya’.
Sutradara itu seharusnya tahu, teleponnya memang tak
akan berdering, sebab Rista memutuskan untuk melupakan orang-orang yang datang
macam Pak Shindu, setelah mereka melangkahkan kaki keluar dari rumah, maka mereka
adalah angin yang berlalu. Akhirnya, lagi, lelaki itu pulang dengan gelengan aca-acanya.
Impossible. Apakah si India
itu akan menyerah?
Jika bujukan satu ‘M’ saja ditolaknya, berapa sebenarnya
harga yang dipatok Rista. Atau, rumah produksi mana yang ditunggunya datang
melamar. Atau, jangan-jangan dia benar-benar tak waras. Atau… Ah, terlalu
banyak ‘atau’ yang akan membuat ‘kemungkinan’ bermutasi dan semakin memusingkan
perempuan itu.
Sayangnya, Rista tak
peduli. Tutup pintu, lupakan semua.
Sulit menggambarkan jalan pikiran Rista. Apa yang
dipikirkannya, hanyalah konsumsinya sendiri, bacalah jika kamu menemukan celah
di sana . Yang
jelas, perempuan itu yang dua puluh tahun bersamanya saja tak cukup mengerti,
terbuat dari apa orbit pikiran Rista sehingga yang beredar di kepalanya hanyalah
tidak, tidak, dan tidak.
‘Cobalah dulu, Ta. Kamu tidak akan rugi meski hanya
mencoba.’
‘Seperti mencoba obat?’
‘Bukan seperti itu. Berhentilah bersikap apatis, kamu
tahu sendiri berapa kesempatan yang telah kamu buang sia-sia. Sia-sia!’
‘Kalau menurutmu sia-sia, mengapa tak kamu pungut saja?’
Pembicaraan berakhir. Rista menyumbangkan waktu sepuluh
menit untuk sekedar minum air dingin, pipis dan mengobrol singkat dengan
perempuan itu yang hanya kebagian satu menit, itu pun tak cukup. Dia mengunci
kamar seperti mengunci dirinya dari dunia luar.
Sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya sejak kelulusan
SMA, di acara penamatan Rista adalah cerita di antara lelaki yang diam-diam
maupun terang-terangan menyukainya, teman-temannya, juga sutradara yang
sempat melihatnya di acara besar itu (Pak Kepsek mengundangnya sebagai kawan
lama). Rista yang berperan sebagai Juliet adalah ratu malam itu.
Betapa cantiknya Rista, pindah dari satu mulut ke mulut
lainnya. Daru satu lelaki ke lelaki lainnya. Dari satu sutradara ke sutradara
lainnya.
Namun, ada yang aneh pada Rista, justru di saat namanya
mulai berkembang bak jamur di musim hujan, dia malah masuk dalam sebuah kotak, lalu
menguncinya rapat-rapat. Tak ingin keluar. Atau, mungkin tak akan keluar.
Kotak itu adalah dirinya sendiri. Dan kuncinya, juga
dirinya sendiri.
*
J-U-N-I
Perempuan itu
kehabisan akal, berbagai cara ia lakukan untuk membujuk Rista menerima
tawaran-tawaran menggiurkan yang datang silih berganti. Tapi, ia gagal.
Juni
berandai-andai, kalau saja ia adalah Rista, semuanya akan terlihat lebih mudah.
Tak ada rutinitas pergi ke salon untuk ‘mempercatik wajah’ karena memang tak
ada yang perlu dipercantik. Tidak ada kartu nama yang terbuang. Tidak ada yang
harus kecewa dan pulang dengan tangan hampa, karena ia takkan menolak
tawaran-tawaran itu. Ia akan menandatangani kertas kontrak, lalu memulai hidup
baru sebagai artis yang dikenal banyak orang.
Uff!
Juni menghela nafas. Sayangnya, aku bukan Rista.
Ucapnya pelan. ‘Aku adalah Juni, sampai kapan pun akan seperti ini. Wajah yang
tak cantik, tubuh yang pendek, juga suara sengau seperti orang flu yang keluar
dari mulutku. Semuanya, seperti langit dan bumi.’
Perempuan itu
memandang gelas di tangannya. Dan menggumam.
‘Satu-satunya yang
membuatku lebih adalah sesuatu yang tak terlihat, tersimpan di dalam batok kepalaku.
Pintar. Tapi apa untungnya?’
*
Rista memohon
dan memelas, matanya penuh ketakutan menatap puluhan burung gagak yang hitam
menyerbu ke arahnya. Koakan makhluk hitam itu bagai gemuruh badai yang menusuk
telinga.
Tolong… Rista masih mencobanya. Namun, tak ada yang
keluar dari mulutnya selain gerakan yang tak berarti apa-apa. Dia pasrah ketika
gerombolan burung gagak itu mencabik-cabik tubuhnya. Ada merah di antara hitam.
Lalu, putih. Kembali, hitam.
Arghhh…!
Rista berteriak, nafasnya terengah-engah, butiran
keringat sebesar biji jagung bergulir di sekujur tubuhnya.
Matanya mengerjap memperhatikan sekitar. Tak ada
panggung, tak ada jejeran kursi, tak ada koakan yang menyeramkan, dan terpenting…
tak ada gerombolan burung gagak yang mencabik-cabik tubuhnya.
Semua hanya mimpi. Mimpi buruk.
Mimpi itu, kembali hadir dalam tidurnya. Mimpi
yang sama, yang selama tiga tahun menghantuinya. Mimpi yang telah merebut
kedamaian tidur dan hidupnya.
Rista mengatur nafas. Matanya yang merah, kini dipenuhi
genangan yang memanas. Dia tak kuat lagi menahan perasaan ini lebih lama lagi.
Air mata mulai berjatuhan, dia terisak sendiri, menangis sendiri. Menanggung
semua deritanya sendiri. Dia ingin membaginya, dia ingin menceritakannya, dia
ingin melepasnya. Dia ingin melakukan itu semua.
Tapi, dia tak bisa. Dia takkan pernah bisa. Mimpi buruk
itu hanya untuk dirinya saja. Sendiri.
Ibu… tolong aku.
*
Pintu kulkas tertutup.
Rista meminum segelas air dingin dalam tiga kali
tegukan. Rambutnya kusut, wajahnya pucat, dan lingkaran hitam di matanya
terlihat semakin jelas. Mengapa penampilannya sangat berantakan? Juni tak bisa
mengalihkan matanya dari sosok Rista.
Rista menaruh gelas di meja. Dia pasti langsung kembali
menuju kamarnya. Tebak Juni. Tapi, tebakannya salah, Rista berjalan menuju ke
arahnya yang berkutat dengan kumpulan buku-buku tebal. Juni tengah mengerjakan
tugas kuliahnya. Dia duduk di sofa.
Sepi.
‘Ada
tugas?’
Juni mengangguk tanpa bisa menutupi keheranannya. Sejak
kapan Rista memulai pembicaraan. Tiga tahun mengurung diri. Bicara sesekali,
itupun jika ditanya lebih dulu.
‘Kamu sakit?’
Rista menggeleng
pelan.
‘Tunggu, aku beliin obat.’
Juni memaksa.
Perempuan itu baru saja ingin bangkit. Tapi, tangan Rista menahannya. ‘Nggak
perlu. Kamu lanjutin saja tugasmu.’
Juni urung, dia
kembali melanjutkan kesibukannya. Membiarkan Rista dalam dunianya sendiri.
Diliriknya Rista yang menatap kosong ke depan. Selalu seperti itu. Juni tak
ingin mengganggunya.
Juni tak menyadari,
mata Rista tak lagi kosong, melainkan tengah memperhatikannya. Sambil memeluk
kakinya yang ditekuk, pandangannya lekat pada kesibukan Juni yang duduk di
lantai berjibaku dengan buku-buku.
Seharusnya aku
seperti itu sekarang. Hati Rista menggumamkan sesuatu. ‘Bagaimana rasanya
menjadi anak kuliahan, Jun? Bertemu teman baru, suasana baru, pelajaran baru. Kita
tak lagi memanggil pak guru tapi ‘pak dosen’, tak harus memakai seragam juga
sepatu hitam yang sama dengan teman-teman. Sangat menyenangkan pasti.’
Juni tak
menjawabnya. Karena pertanyaan Rista hanya ada dalam hatinya. Dia hanya ingin
bicara pada dirinya sendiri.
Juni menoleh ingin
melihat keadaan Rista sekali lagi. Tak disangka, yang ia dapati adalah air mata
yang mengalir di pipi Rista, lalu buru-buru menghapusnya dan bangkit meninggalkan Juni yang diam tak
mengerti.
Bagaimana ia bisa mengerti jika Rista tak pernah
mengatakan apa yang dirasakannya? Alasan
apa yang membuat dia memutuskan untuk tak melanjutkan kuliah? Mengapa dia
menjadi seperti ini?
Juni benar-benar tak mengerti.
*
‘Aku mohon, Ta.
Terimalah tawaran Pak Shindu. Kalau tidak kita akan diusir dari rumah ini. Aku
capek bekerja siang-malam, toh, tak juga menutupi semuanya. Aku tak sanggup lagi.
Kuliahku terancam, Ta. Aku mohon.’
Rista diam.
‘Aku nggak mengerti
sama kamu, Ta. Kalau ibu masih ada, dia juga pasti tak mengerti dengan anak
kesayangannya yang tiba-tiba menutup diri, melebihi rasa bingungnya terhadap
ayah yang meninggalkan kita. Kamu kenapa sih, Ta. Sebagai seorang kakak
seharusnya kamu membimbingku. Bukan seperti ini.’
Rista masih diam.
Haruskah aku
menjelaskannya pada Juni sekarang? Ibu, mengapa pergi secepat ini. Aku hanya
ingin menceritakan semuanya padamu. Maafkan aku ibu, aku tak bisa menjadi kakak
yang baik untuk Juni. Ibu…
Rista mulai
terisak. Beban itu sungguh berat, ditambah lagi semua perkataan Juni. Adiknya
selama ini sudah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Karena
tak ada yang bisa dilakukannya. Bahkan untuk sekedar selangkah keluar dari
pintu rumah dia tak sanggup.
‘Ta, ada apa? Apa
yang sebenarnya terjadi sama kamu?’ Juni terhenyak melihat Rista sesenggukan
sambil menahan getaran tubuhnya. Rista menangis lagi. Harus ada alasan mengapa
tangis itu begitu memilukan.
‘Apa karena
kata-kataku tadi. Aku minta maaf, Ta. Seharusnya aku menahan diriku untuk tak
berbicara seperti itu.’ Juni merasa bersalah.
‘Tidak, Juni. Aku
yang salah. Aku yang seharusnya minta maaf, aku tak menceritakannya padamu
malah memilih menyimpan semuanya sendiri. Tapi sekarang aku benar-benar tak
sanggup. Aku tak bisa menahannya lagi sendiri.dan, hanya kamu yang ada di
sisiku, seharusnya aku cerita padamu…’
Juni tak mengerti
apa yang terjadi, dari tadi Rista mengucapkan kata ‘cerita- cerita’ Rista
menyimpan sesuatu, dan tak ada yang tahu selain dirinya sendiri. Tapi cerita apa?
‘Ada apa, kak? Ceritakan semuanya pada Juni.’
Rista membuka
kembali cerita yang telah dikuburnya dalam-dalam selama tiga tahun. Cerita yang
berubah menjadi mimpi buruk, bayang-bayang yang menghantui setiap
gerak-geriknya. Bayangan yang membuat luka teramat dalam sampai dia sendiri
lupa bahwa dia masih bisa melanjutkan hidup setelah apa yang terjadi padanya.
Juni menutup
mulutnya. Cerita yang mengalir dari mulut Rista menjawab segalanya.
Apa yang telah aku
lakukan, memintanya untuk menjadi artis, menampilkan kecantikan yang justru
telah merenggut kehidupannya. Juni memeluk Rista.
‘Mengapa kamu
memendamnya sendiri, kak?’
*
Hari itu, malam
setelah acara perpisahan di sekolah. Kamu ingat kan, Ni. Di panggung itu, di
sanalah semuanya bermula. Mereka mengajakku ke sana, aku ikut saja tanpa
menaruh curiga sedikit pun, bagiku itu hanya sebuah kejutan kecil sebelum
akhirnya kita berpisah.
Tapi aku salah, Ni.
Mereka merencanakan sesuatu, aku tak mengerti mengapa hanya ada aku perempuan
sendiri. Kemana yang lainnya? Pertanyaanku dijawab dengan tawa mereka. Tawa
yang berubah menjadi seringai yang menjijikkan. Juga kata ‘cantik’ yang mereka
ucapkan berkali-kali.
Mereka tak memberiku
kesempatan untuk memohon, aula yang sunyi menjadi saksi bisu kejadiaan naas
itu.
Mereka yang
kuanggap sebagai teman baik, memperlakukanku sebagai barang. Merenggut
kehormatanku secara bergiliran. Mereka. Yah, mereka, aku sendiri tak tahu
seberapa banyak jumlah ‘mereka’. Yang aku tahu, mereka meninggalkanku seperti
seonggok daging yang tak berdaya di atas ‘meja besar’ hingga pagi menjelang.
Aku tak menangis.
Karena aku tak tahu apakah air mata bisa mengembalikan segalanya seperti sedia
kala. Aku berharap aku mati saja. Menyusul ibu. Agar mimpi buruk ini hilang. Tapi
lihatlah, aku mencoba bertahan.
Terkadang aku
berpikir, apakah jika aku tak memiliki wajah seperti ini, semuanya takkan
terjadi padaku?
Jangan pernah
berharap menjadi diriku, Ni.
*
Cerpen 06 Agustus 2011.
Salah satu cerpen yang bisa diselesaikan.
Dimuat dlm buku antologi FBS UI tahun 2011 dengan judul 'Jika Aku Tak Cantik'
Dimuat dlm buku antologi FBS UI tahun 2011 dengan judul 'Jika Aku Tak Cantik'
Ahahaha masih banyak yang perlu diperbaiki, masih abal-abal dan jauh dari bagus. -_-
Rahasia Rista. Jika Aku Tak Cantik. Tp yg muncul di ingatanku malah Dua Wanita Dua Cerita. Ckckck. .. Ini De Javu, fatamorgana, atau pemikunan dini. -,- Hahaha :D
ReplyDeleteOhiya amm... kamu benar! -_- Berarti yang saya ingat judul pertama kali dibuatnya... judulx Jika Aku Tak Cantik. Di antologi kuganti jadi Dua Wanita Dua Cerita. Di blog kuganti jd Rahasia Rista karena judul pertamanya kuingak...dan nda catchy sama sekali. -__-
DeleteTerima kasih sdh mengingatkan, dek. Dan alhamdulillah adaji yang ingat pae wkkwkwk Maklum udah berumur *eh :D
yang ini saya suka pesannya *_*
ReplyDeleteTerima kasih, Wa. I know what you mean :))
ReplyDelete