Terima Kasih |
Ada janji buku ku. Minta alamat yang bisa dikirimi kak. :D
Singkat saja pesan wa dari Dirga, tertanggal 1 Februari 2015. Setelah mengingat kembali janji buku apa, saya mengirimkan alamat kampus adik saya, Asiah. Takut saja kalau alamat rumah, bukunya tak sampai dengan selamat. Hahaha.
Kak sudah kukirim kemarin jumat. Mungkin sampai minggu depan.
Datang lagi pesannya pada 15 Maret 2015. Hoh, ternyata beneran toh. Begitulah pikirku, bukannya tak memercayai janjinya, tapi aneh saja bagiku. Seseorang masih mengingat janji lamanya sedang yang dijanjikan sudah lupa, dan saat itu tak menganggapnya serius.
*
Ceritanya sudah lama sekali, 10 Maret tahun lalu saya memosting sebuah puisi Toety Heraty yang berjudul Ke Pelabuhan. Ternyata madam Toety adalah salah satu penyair wanita favorit Dirga seperti pernyataannya di komen. Kemudian dia menjanjikan buku Nostalgi Trendensi ke saya, kalau ketemu. Kapan-kapan, katanya. Saya kunci janjinya. Walau akhirnya saya lupa juga, toh, seperti yang saya bilang saya tak terlalu serius menanggapinya.
Bila dihitung-hitung kedatangan buku itu di tangan saya, maka lepas setahun sudah akhirnya janji ditunaikan. Dirga tidak pernah menyebutkan tepatnya dia akan memberikan saya buku itu, jadi kapan-kapan bisa menjadi kapan saja. Toh kalau dia lupa, saya maklum karena saya juga lupa. Kalau dia tak menepatinya, saya tak marah karena saya juga menganggap canda. Tapi... buku itu ada di tangan saya sekarang.
*
Di wall FB, saya pernah membaca status seorang adik santri,
"Berjanji itu mudah, menepatinya yang susah. Kebanyakan orang! (saya juga)."
Begitulah adanya, tak terlepas diri saya sendiri yang sadar atau tidak (mungkin) begitu mudah mengucapkan janji. Meski hanya sejumput kata biasa yang tak dinyana adalah termasuk sebuah janji yang semestinya ditunaikan. Janji adalah hutang. Hutang mestilah dibayar. Apa jadinya jika mengumbar banyak janji dan tak menepati? Berapa banyak tabungan 'tak dipercaya' yang akan menumpuk di dirinya?
Di suatu kesempatan, mama memarahi bapak karena terlalu sering dan mudah menjanjikan sesuatu ke anak-anaknya. Lalu mama bilang, "Jangan terlalu sering kasih janji anaknya. Jika memang ingin membelikan sesuatu ke anaknya, yah kalau ada uang belikan kalau tak ada diam saja. Jika memang ingin mengajak anaknya ke suatu tempat, yah langsung pergi saja kalau ada kesempatan, kalau tak ada tidak usah dijanjikan." Karena mama tahu betapa berharganya sebuah janji, maka beliau sangat hati-hati dalam berjanji.
Sebagai manusia pembelajar, sudah selayaknya kita temukan hikmah di setiap kejadian yang terjadi dalam hidup. Apa yang dilakukan Dirga mengajarkan saya tentang pentingnya menunaikan sebuah janji. Mengapa pada akhirnya kita menganggap biasa sebuah janji? Karena kebanyakan orang terlalu mudah berjanji semudah itu pula mengingkarinya. Hingga kesakralan sebuah janji tak ada nilainya lagi. Padahal dalam hadits Nabi, salah satu ciri orang munafik adalah orang yang berjanji namun tak menetapi. Astaghfirullah Aladzim.
Yah demikianlah, pelajaran yang saya dapatkan dan hari ini saya share kepada teman-teman. Semoga kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Terima kasih bukunya, Dir. Juga pelajaran yang sangat berharga ini. :)
Jkt, 050415
No comments:
Post a Comment