sumber gambar |
Angin mendesau. Kerajaan lebah pekerja di batang pohon kayu. Kau dan Aku bersandar di bawahnya, kelelahan.
"Anak-anak manusia adalah para pejalan, di jalan berkelok menuju langit biru." Kau buka suara. Aku tajamkan pendengaran. "Kalau lelah yah istirahat, seperti ini." ada hembusan berat di ujung kalimat. Kau duduk di bagian yang terkena cahaya matahari, keringatmu berkilau.
"Kata Ibuku, tak baik berjalan sendirian. Jalanan yang terlihat sepi dan biasa saja bisa menjelma menakutkan saat purnama menggantung. Di setiap kelokan banyak hantu bergentayangan. Hiihh-" Aku bergidik membayangkan. "-katanya aku harus hatihati, kalau tak salah ini nasihat pertamanya setelah aku datang bulan. Aneh yah?"
Kau tergelak. Tertawa jangan terlalu, nanti ratu lebah marah. Aku mengingati.
"Ibumu cuma mau bilang, carilah pasangan hidup." Lalu Kau terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu, menimbang dalam pikiran. "Apa kau mau mendengar ceritaku?" katamu sedikit ragu. Tentu saja! Aku terkejut sendiri saat berseru. Ada dengung lebah entah dari arah mana. Kudekap mulutku yang menyengir. Angin berdesir.
"Suatu hari," Kau mengenang. "seorang anak manusia -ditakdirkan sebagai pejalan- berjalan sendirian. Tangga waktu dilalui. Hari demi hari. Awalnya mudah dan dia menikmati. Kau tahu bunga sepatu yang kau kagumi itu? Seperti itu perjalanan membentuknya. Memetik kesendirian dan lupa sejalan waktu akan layu. Pada akhirnya, di jalan yang tak luruslurus saja, dia jatuh berkalikali. Bahkan ada lubang besar menjebloskannya, dalam, dalam sekali. Sampai-"
Cerita terputus. Gambar yang kubuat dalam imajiku ikut buyar. Sekawanan burung melintas, Aku ingat ibuku tetiba. Perintahnya yang kadang kuabaikan justru kali ini sangat Aku rindukan. Tapi cerita dari Kau lebih membuatku penasaran.
"Sampai?"
"Sampai detik dia berputus asa, seorang pejalan lain menemukannya. Di kegelapan lubang dia melihat wajah seseorang di atas sana. Dibuangnya kembang keangkuhan. Lalu dia berteriak minta tolong. 'Siapapun di atas sana, tolong aku.' Seingatnya itulah kalimat mengiba pertama yang diucapkannya selama perjalanan hidupnya. Dia merasa air matanya akan menetes setelah itu."
Kalimatnya akan terus menggema, bahkan setelah si pejalan itu bisa keluar dari lubang. Dan air matanya tidak hanya akan menetes, tapi mengalir tanpa henti di sepertiga malam jika dia adalah Aku. Aku memposisikan diri. Terbawa emosi.
"Apa yang dilakukan pejalan lain di atas sana?"
"Kalau itu kau, apa yang akan kau lakukan?"
"Yah, aku akan melakukan apapun untuk membantunya keluar."
Kau menatapku. "Anak baik. Seharusnya kau yang ada di sana." Keringat sebesar biji jagung menetes dari pelipismu. "Sayangnya, pejalan lain hanya menatapnya iba tanpa berbuat apaapa. Beberapa mencemoh. Sebagian yang lain bahkan menyumpahinya tetap berada di lubang itu.
Maka di sisa kekuatan yang dimiliki, si pejalan menggunakannya untuk mengingat. Sebelum mati -dia sudah sampai puncak putus asa- dia mencari halhal membahagiakan untuk dikenang. Setiap dia mencoba mengingat, dia malah tak menemukan apaapa. Dia mulai berpikir bahwa selama ini dirinya tak pernah bahagia. Lubang terasa semakin dalam. Dan si pejalan kian pasrah, dia akan terkubur entah di hitungan detik yang keberapa."
Kasihan sekali. Aku ingin masuk ke dalam cerita dan menolongnya. Tak boleh ada yang mati dalam keadaan tak bahagia, kukatakan itu pada Kau. Seperti itu pula yang kukatakan pada Ayah, maka Aku terus berusaha membuatnya bahagia. Kematian terkadang mengejutkan, Aku tak ingin lengah.
"Apakah dia mati?" tanyaku pelan. Wajahku muram.
Kau menarik nafas dan membuangnya. Awan tebal yang tadi jauh dari matahari kini telah sampai menutupi. Kau merenggangkan badan. Terdengar bunyi 'krekk' berapa kali seperti tulang patah. Kau tertawa. Aku juga.
"Aku akan melanjutkan ceritanya nanti. Sebelum malam datang, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan." Kau berdiri memandang ujung jalan. "Akan ada beberapa kelokan lagi, curam, juga jalanan penuh lubang dan krikil tajam. Aku tahu dari pejalan yang berbalik pulang. Apa kau siap?"
Aku mengangguk. "Cerita itu, kapan akan kau selesaikan? Apakah dia mati sebelum bahagia?"
Kau dan Aku mulai melanjutkan perjalanan. Lebah pekerja pulang mengumpulkan nektar. Matahari terlihat lagi, -di barat mulai setengah tenggelam. Pikiranku terlempar jauh, membayangkan diri mengulurkan tangan ke dalam lubang meski tak sampai. Kau berjanji akan menyelesaikan cerita nanti, katanya perjalanan sangat panjang, sayang jika satu cerita harus cepat berakhir.
Kau dan Aku di ujung jalan, menjumpa kelokan. "Ingat pesan ibumu, banyak hantu bergentayangan. Hiih..." Kau tertawa riang. Aku mengeratkan genggaman.
(bersambung, gak yakin bisa disambung kembali) :D
Jakarta, 290315
No comments:
Post a Comment