BADUT
sumber gambar |
Namaku Surya. Aku benci badut. Benci sekali. Mendandani
diri sendiri dengan make up norak, memalukan. Berlagak konyol dengan
pakaian yang aneh, semuanya terasa menjijikkan. Tak adakah pekerjaan yang lebih
‘terhormat’ selain membuat diri sendiri ditertawakan oleh orang-orang? Aku
takkan pernah sudi melakoni hal itu.
Apakah aku sudah
memperkenalkan diriku? Betapa bencinya aku pada badut? Yah, Surya si pembenci
badut. Itulah aku.
*
‘Surya, apalagi
yang kamu butuhkan?’ berulang kali bapak menanyakan hal yang sama setiap
bertemu denganku. Apa yang aku butuhkan? Bapak seakan-akan tak
membiarkanku kekurangan satu apapun dalam hal menuntut ilmu. Yah, bapak memang
tipe orang tua yang akan melakukan segala cara demi keberhasilan anaknya.
Bapak adalah seorang satpam di sebuah mall besar di
Jakarta. Ia bekerja mulai pagi hingga malam. Meski sibuk dan pulang dalam
keadaan lelah, bapak selalu menyempatkan diri menemaniku belajar. Membantu apa
saja yang ia bisa lakukan, menurut pengamatanku selama ini, aku merasa tidak
ada yang tidak bisa ia lakukan. Saat ada tugas pelajaran Tata Busana untuk
membuat baju, aku merasa pusing karena tak tahu menjahit! Bapak kembali menjadi
penyelamatku, ia mengajarkan padaku bagaimana cara membuat pola dengan terlebih
dahulu mengukur berbagai ukuran. Menggunting. Lalu menjahit. Aku terpana
dibuatnya. ‘Kok bapak bisa?’ tanyaku masih tak percaya. Kata bapak, nenekku
yang mengajarinya saat masih muda. Saat kutanya mengapa tak jadi penjahit
saja, bapak bilang tak ada modal tuk beli mesin jahit.
Bapak adalah
seorang ibu juga untukku. Ibu meninggal setelah melahirkanku. Meski merasa
terpukul, bapak mengambilku yang kala itu masih bayi ke dalam dekapannya.
‘Surya, surya, surya… Bapakmu mengucapkan kata itu berulang kali dengan
pancaran cinta yang tak terbilang. Baginya, kau adalah sang surya yang akan
menyinari dunia.’ Cerita nenek cukup mengena di hatiku. Tak pernah sekalipun
aku membantah perintah bapak. Sayangnya, aku tak menyimpan baik-baik di lubuk
hatiku yang paling dalam. Waktu mengikis rasa itu.
‘Surya butuh uang,
pak.’ Aku menggigit bibir. Tanpa
bertanya terlebih dahulu untuk apa uang itu aku gunakan, bapak malah langsung
bertanya jumlah yang aku butuhkan. ‘Tiga ratus ribu…’
Tanganku bergetar
memegang uang yang diberikan oleh bapak. Untuk pertama kali dalam hidup, aku
membohongi bapak. Aku memang membutuhkan uang, tapi hanya seratus ribu.
Selebihnya aku mengikuti ajakan teman-teman untuk membohongi orang tua kami
masing-masing. Nantinya uang ini akan kami gunakan untuk membeli ‘sesuatu’, apa
itu, aku sendiri belum tahu.
Aku menatap kertas di gengamanku, ada sesuatu seperti
kupu-kupu besar terbang dalam perutku. Terlihat bapak menggantung seragam
kerjanya. Deg! Rasanya, mulas. Teramat sangat. Dan, perih.
Ternyata, cerita
yang amat menyentuh dari mulut nenek beberapa tahun silam, tak dapat bertahan
lama dalam hatiku. Lagi, untuk kesekian kalinya aku membohongi bapak.
Kepercayaan penuh dari bapak, membuat kebohonganku leluasa bergerak. Dari
tingkat yang paling rendah sampai tingkat kebohongan yang tinggi. Bapak sampai
harus menjual jam tangan kesayangannya demi memenuhi permintaanku.
‘Belajar saja
yang rajin. Biar urusan biaya bapak yang pikir.’ Ucapnya sambil menepuk
pundakku. Kupu-kupu besar dalam perutku masih saja bergerak, kepakannya terasa
menyakitkan kala aku menatap raut lelah di wajah bapak. Namun, ‘sesuatu’ yang
diperkenalkan teman-temanku di sekolah membuatku tak mengindahankan rasa mulas
dan perih yang semakin menggila.
Satu tahun. Dua
tahun. Tiga tahun. Aku merasa hidup dalam kemunafikan yang menyenangkan
sekaligus menyakitkan. Bapak tak penah tahu, anak kebanggaannya yang ia
titipkan setangkai bunga harapan, telah membuat layu sebelum sempat ia nikmati
keindahannya.
‘Kamu lulus juga
itu udah bagus. Kamu bisa tunjukkan keberhasilanmu di jenjang kuliah.
Semangat!’ bapak mengangkat tangannya yang terkepal, mencoba menguatkanku yang
lulus dengan nilai terendah. Aku tersenyum, miris. "Bukan aku," Aku
merasa tak pantas mendengar hal itu dari bapak. Meski samar, aku dapat melihat
jelas garis-garis kekecewaan yang terlukis di wajah bapak. Kami pulang dengan
kediaman yang tak terpecahkan. ‘Semangat itu lebih pantas untukmu, pak.’ batinku.
‘Apa yang kamu
butuhkan?’ kata itu masih saja berdengung. Kepercayaan bapak sebesar harapan
yang tersirat di matanya, ‘Surya, kamu tahukan arti dari namamu?’ tanya bapak
di jeda makan malam. Aku memandang bapak, tak mengerti.
‘Matahari.’ kataku ragu. Bapak mengangguk.
‘Saat mengandung,
ibumu pernah berkata: ‘Aku suka sekali dengan sang surya, salah satu ciptaan
Tuhan yang melambangkan keikhlasan. Membagi sinarnya secara merata untuk
makhluk di muka bumi. Tak peduli ia dicaci karena intensitas panasnya yang
berlebihan maupun pujian karena kehangatannya yang ditunggu-tunggu, ia tetap
bersinar tanpa pernah meminta balasan. Aku ingin memiliki sang surya’ perempuan
itu, ibumu selalu membicarakannya. Pagi,
siang, malam. Setiap saat, sampai-sampai
aku menghafalnya,’ bapak tertawa kecil mengenang istri yang amat ia cintai. ‘…ketika kamu lahir, ibumu menukar nafasnya untuk nafas baru yang akan menemani
kehidupanku selanjutnya. Yaitu, kamu. Surya. Bapak minta padamu jadilah
seperti apa yang ibumu impikan. Kamu mau kan?’ sorot mata bapak menembus
genangan di matanya. Dengan rasa bersalah yang amat besar, aku mengiyakan.
Aku akan mencoba, pak. Janjiku.
Janji tinggallah
janji. Kebohongan seakan tak bisa terhentikan dari
diriku. Aku benci telah memulainya. Kini, aku berjalan dalam langkah palsu.
Menjadi Sang surya. Memberikan sinar pada orang lain, hah, palsu. Justru,
sekarang, aku menyerap sinar-sinar kebaikan orang lain dan paling utama
bapakku. Memberdayakannya untuk kebutuhan nafsuku sendiri.
Kuliahku, hancur.
Hidupku berada dalam genggaman ‘sesuatu’ yang aku kenal sejak masuk SMA. Aku
adalah budaknya. Aku juga pemujanya. Sesuatu yang nikmat. Dan kenikmatan itu amat mahal harganya. Kepercayaan bapak adalah bayarannya.
‘Ada yang ingin kamu katakan sama bapak, nak?’
Banyak, pak.
Aku tak berani
menyatakannya secara langsung. Hatiku menjerit-jerit murka. Sekali lagi, lidah
benar-benar kaku oleh kebenaran. Terlalu banyak kebohongan yang dikecapnya.
‘Tidak ada, pak…’
‘Kalau ada apa-apa
bilang sama bapak, jangan dipendam sendiri, nanti…’ aku menutup telingaku, jangan
dimulai, pak. tak ada lagi kata-kata dari mulut bapak yang ingin kudengar ‘Hentikan,
pak! Hentikan, berhentilah memberikan kepercayaanmu padaku. Berhentilah
menawarkan bantuanmu. Berhentilah menaruh harapan besarmu padaku. Surya mohon,
pak… hentikan semua ini. Sebab Surya tak pantas menerima semuanya. Aku mohon,
pak…’ hatiku benar-benar murka. Menyayat sendiri daging-daging khianat yang
tumbuh di sana .
*
Uhuk, uhuk!
Darah. Secepat
mungkin ia mencuci tangannya dengan air. Tak ada yang boleh tahu mengenai hal
ini. Terutama, sang buah hati. Lelaki itu mengambil seragam yang tergantung
lalu mengenakannya. Seragam palsu yang menemani kebohongannya.
‘Maafkan bapak, Ya.
Membohongimu sekian lama. Tapi, biarlah… semua ini bapak lakukan demi
keberhasilanmu, nak.’
Uhuk, uhuk, uhuk!
‘Bapak sakit?’
badan bapak terlihat semakin kurus. ‘bapak nggak usah kerja dulu, nanti Surya
yang minta izinkan.’
Bapak menggeleng
cepat. ‘Tidak, nak. Bapak nggak apa-apa. Kamu ada kuliah pagi ini kan?’
Aku mengangguk.
Kupandang punggung bapak hingga hilang di tikungan. Aku menghela nafas.
Ponselku berbunyi.
‘Halo. Oke, gue ke sana sekarang.’
Aku takkan bisa melepaskannya. Aku butuh itu.
*
‘Kenapa?’
‘Gue benci badut.’
‘Ha, ha, ha… nggak
asyik lo! Nikmatin aja dulu. Nanti pas nge-fly, serasa sama badut deh.
Ha, ha, ha…’
Aku memandang jijik
badut di seberang meja yang tengah dikerumuni anak-anak. Kenapa juga Hans
ngajak ketemuan di tempat seperti ini?
Uhuk, uhuk,
uhuk!
Aku tersentak. Mataku
mencari asal suara batuk yang aku dengar. Suara itu, batuk itu… Di sana ! Mataku tertumbuk
pada badut yang terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya.
Aku bangkit dari duduk. ‘Mau kemana?’ pertanyaan
Hans aku abaikan. Aku terus berjalan
mendekati badut yang kini hanya sendiri ditinggalkan oleh anak-anak yang
merasa jijik dengan batuknya. Badut di hadapanku masih terus batuk, mulutnya
tertutup oleh tangannya. Mataku beradu dengan mata sang badut. Nampak
keterkejutan di mata si badut. Ia mencoba berdiri menjauh dariku, namun
fisiknya tak kuat lagi menahan rasa sesak yang berdiam dalam tubuhnya.
Dengan gugup aku
membuka topi yang dikenakan si badut. Rambut yang memutih itu, mata itu, batuk
itu, semua…
‘Ba, ba, bapak…’ ucapku tertatih. Si badut yang tak lain
adalah bapak terdiam sesaat lalu batuk ganas itu menyerang lagi. Cairan merah
keluar dari mulutnya. Banyak. Batuk itu terus mengguncang tubuh bapak.
‘Bapaaak…. Tolong,
bapak saya.’ Aku memeluk tubuh bapak yang terkulai tak berdaya.
‘Maafkan bapak. Surya…’ terdengar suara bapak
mengucapkan sesuatu dengan pelan. Seperti sebuah bisikan.
*
Aku berlari. Terus
berlari. Tak kuhiraukan ganasnya guyuran hujan malam ini. Aku tak peduli
kilat-kilat yang menyambar. Guntur
yang mengamuk. Angin yang mendengus. Bahkan, badai sekalipun terjadi malam ini,
aku takkan berhenti tuk terus berlari. Air hujan bagaikan tusukan jarum,
menyakitkan. Menembus tulangku. Ngilu. Bibirku membiru. Aku kedinginan.
‘Ah, peduli setan!
Biarlah hujan ini mencuci semua kotoran-kotoran yang melekat pada tubuhku.’
Sosok itu muncul
kembali. Badut. Bapak. Arghhh…
‘Kenapa, pak.
Kenapa? Kenapa bapak membiarkan diri bapak ditertawakan demi aku yang tak tahu
diri ini. Bertahun-tahun, pak. Aku membenci badut. Dan, bapakku sendiri rela
menjadi seorang badut untuk kehidupan anak durhaka ini. Kenapa pak?! Engkau bertingkah konyol di balik seragam badut itu, demi
mengumpulkan pundi-pundi uang atas namaku, sementara itu aku terbang melayang
melupakan bunga harapan yang engkau titipkan padaku. Engkau berbohong demi
diriku dan aku berbohong demi diriku sendiri. Hanya demi aku, mengapa? Mengapa?
Hukum aku Tuhan!’
Teriakanku beradu
dengan derasnya suara hujan. Aku jatuh bersimpuh di tengah jalan yang sepi.
Meski ada kendaraan yang lewat pun, aku tak peduli. Nyawaku lebih pantas
dicabut dibandingkan nyawa bapak. Lelaki itu, bapak, kenapa…?
*
Namaku Surya. Aku
benci badut. Benci sekali. Bukan karena make up yang sebelumnya
membuatku jijik. Badut mengingatkanku pada pengkhianatan yang aku lakukan pada kepercayaan
bapak, cinta bapak yang ternodai kepalsuan, juga pengorbanan bapak selama
bertahun-tahun di balik kostum besar itu demi mewujudkan harapan yang tersemat
di dadaku. Menyinari dunia dengan kebaikan. Aku mengubur harapannya. Aku benci
badut. Dan Tuhan menghukumku.
Apakah aku sudah
memperkenalkan diriku, betapa aku membenci badut? Yah, Surya sang badut
sekarang. Itulah aku.
Cerpen 06 Agustus 2011,
aku membuatnya setelah menyelesaikan cerpen Rahasia Rista.
Kedua cerpen ini masuk dalam buku antologi FBS UI Tahun 2011
yang bertema "Merajut Kisah Hidup Dalam Kata"
"Aku sedang bertanyatanya, 4tahun berlalu adakah peningkatan dalam kualitas menulisku?"
:(
No comments:
Post a Comment