Setelah seribu tahun, setelah itu larilah!
*
Malam. Detik ini, di hadapan sebuah layar aku menuliskan apa yang tak kurencanakan saat tubuh berbaring di atas ranjang. Keinginan kuat membangunkanku dari khayalan panjang tentang bagaimana dan seperti apa wajah orang kehilangan: sesuatu, seseorang, segala-galanya?
Aku terbangun saat memikirkan kesedihan, aku terjaga hanya untuk menuliskan kesedihan, aku menggunakan banyak kata kesedihan yang rupanya nampak samar. Aku tak mengenalnya, dan segera ingin mengenalnya lebih dalam...sampai aku menangis, biar akrab. Walau nyatanya, air mata bukan satu-satunya tanda pengenal kesedihan, aku menipu diriku sendiri.
Sampai di sini, aku belum menuliskan apa yang sejak tadi paling kupikirkan. Aku terlalu banyak mikir. Padahal, hanya satu kalimat saja. Lalu aku bisa kembali tidur. Aku berpikir lagi. Tetap saja yang tertulis berbeda.
"Aku mencintaimu, tetaplah di sini di jalan ini."
Aku pamit. Sudah terlalu larut. Waktu tidur terpotong sungguh banyak, aku menabung hitam (lagi) di bawah kelopak mata. Aku membaca kembali tulisan ini, tak ada yang perlu dihapus sebab aku masih saja menulis.
Baiklah, cukup. Aku bisa tidur setelah ini. Aku sudah menuliskannya sejak tadi. Lega. Terima kasih telah membaca tulisan ini. Tapi hanya satu kalimat paling hitam saja yang benar-benar ingin aku sampaikan. Kemudian menangisi kalimat pembuka, semoga hanya dalam mimpi.
Separuh Maret, 02.02
*Adakah benang merah tulisan ini dengan khayalku? Entah.
(y)
ReplyDelete"Aku mencintaimu, tetaplah di sini di jalan ini."
DeleteDuh dalam banget nih mbak :)
Hati-hati jatuh adik.. :P
Delete