Selamat pagi, Matari. Aku bermimpi tadi malam, buruk. Aku bersyukur bukan tentangmu. Tapi aku ingin menceritakannya padamu secepat mungkin sejak sinar matahari menembus ventilasi, aku pikir itu cahayamu. Ah, ini bukan gombal pagi hari. Aku juga merindukanmu, sudah lama aku tak menjumpaimu dengan pertanyaanku. Karena kamu selalu menjauh, sangat jauh kali ini. Bahkan terakhir kali, untuk mengucap sepotong rindu saja kamu memarahiku.
"Bisakah kamu berhenti bertanya dan mengatakan rindu tiap kali bertemu denganku? Kamu pikir mudah bagiku mendengar semua itu? Aku tahu kamu merasa lega melepasnya, tapi denganku, pernahkah kamu memikirkan dampak yang terjadi di kepalaku?!"
Kamu marah sekali. Sejak itu kita seperti langit dan bumi, lapisan ketujuh. Aku berharap bisa bertemu denganmu lagi, meminta maaf -meski tak kau maafkan. Tak apa. Dan aku selalu bertanya-tanya sampai saat ini, apa yang terjadi denganmu -kepalamu? Aku ingin tahu. Uff. Kamu benar, dengan menumpahkan pertanyaan dan rindu yang ada di kepalaku, aku merasa lega. Tapi ada hal yang tak kamu tahu juga, Matari. Setelah kelegaan yang kudapatkan, sesungguhnya aku mendapatkan pukulan bertubi-tubi. Di sini, di hati yang tak pernah kamu rindukan. Sebab tak sekalipun rinduku menjadi satu.
Jkt, 200215
*ckckck ini Matari sama Si Penanya berantem mulu, tapi gak jelas juga berteman atau tidak. Brrr
No comments:
Post a Comment