Terjaga lagi. Sengaja. Bukan inshomnia. Ada hal yang sedikit mengganggu. Di sela-sela mengerjakan tugas, saya lari ke sini. Ke rumah kedua saya dalam dunia maya. Saya terkadang lebih betah di sini, daripada dunia nyata.
Sebab saya hadir dalam kata. Dan kekuatan kata itu, membuat saya merasa lebih istimewa. Saya bisa menjadi A, saya bisa serupa B, saya boleh jadi C, saya bisa menjadi apa yang saya inginkan. Dan tak ada yang bisa melarang saya. Saya bebas berekspresi. :)
Malam ini, saya baru saja melepas sesuatu. Hal yang tanpa saya sadari menggerogoti kemandirian diri ini. Saya terlalu bergantung pada seseorang. Saya menopang diri saya di bahunya. Hingga kaki saya terlalu santai, tak bekerja, berdiam saja.
Saya percaya dia akan menjaga saya, dari segala penjuru. Seperti janjinya. Begitulah ucapnya banyak kali. Hei, hei, saya percaya itu. Bukankah kepercayaan teman itu harta paling berharga? Baiklah, untuk beberapa waktu janji itu masih setia di titiknya. Banyak tekanan, aku, kami melewatinya.
Tapi hari itu.
Hari dimana ada yang bergeser dari titik. Ada bahu yang berpindah. Mungkin terlalu tiba-tiba, mungkin kenyamanan yang melena, mungkin ketidaksiapan adalah masalahnya... ah, banyak kemungkinan memang. Namun satu hal yang pasti, dia pergi. Teman yang pernah berjanji dan saya mempercayainya, pergi membawa janjinya.
Seketika saya limbung. Saya bingung. Saya hampir terjatuh. Kedua kaki saya keram, tapi saya paksa berdiri, karena hanya itu yang harus saya lakukan. Berdiri dengan kaki sendiri. Menepuk-nepuk wajah, menyorot ke depan tentang satu kenyataan.
"Kini kamu sendiri. Kini kamu sendiri. Dia telah pergi."
Saya marah. Saya benci.
Mengapa dia pernah berjanji? Mengapa saya menyambut janjinya?
Mengapa dia pergi? Mengapa saya merasa dikhianati?
Mengapa dia membuat saya percaya? Dan mengapa saya percaya?
Mengapa semua harus saling menyambut? Mengapa harus terkoneksi?
Mengapa tidak timpang saja salah satunya? Mengapa tidak ada yang berkata 'tidak'?
Pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban itu menguap. Bersama hembusan nafas lelah saya. Saya hampir merubuhkan pertahanan yang saya buat. Tapi itu tak terjadi. Bukankah selalu ada kesadaran di saat ketidaksadaran hampir melenyapkan? Di detik-detik itulah, saya sadar.
Tidak ada yang salah dan perlu dipersalahkan.
Saya dan dia seperti memainkan zona kenyamanan. Kami terjebak. Dan ketika ada magnet yang menarik saya dan dirinya untuk berpisah, keluar dari zona itu, terciptalah rasa keterasingan. Dulu kami saling membantu. Kini dipaksa menjadi satu-satu.
Pada waktu... saya memulihkan diri. Menghargai kedua kaki sendiri. Mempercayai kata hati. Menjalankan hari-hari dengan kekuatan yang terlahir sedikit demi sedikit. Banyak tekanan, saya lewati. Banyak cobaan, saya hadapi. Tidak mudah, memang. Tapi semua bisa teratasi.
Tanpa dia. Tanpa janji siapa pun.
Saya kembali. Saya menjadi lebih mandiri. Saya tersenyum lagi. Saya merasakan kembali zona nyaman itu, namun di atas kaki saya sendiri. Tanpa kutub yang akan menarik saya terpisah dari apapun. Kecuali pada optimisme di kepala saya.
Malam ini, saya melepasnya. Melepas diri dari bayang-bayang janji. Dia memang tetap menjadi teman saya. Tapi tak lagi dalam satu zona. Aku-aku. Dia-dia. Aku bertahan dengan kedua kakiku. Dan dia dengan pilihannya, dimanapun sekarang dia berada.
Mungkin, suatu saat nanti, aku akan berpikir dua kali tuk menyambut janji. Untuk sementara ini, aku sedang tak ingin menerima janji. Juga terlalu banyak mengumbar janji. Banyak ketidaksiapan dan yang terjadi kadang lebih menyakitkan dari yang kita sadari.
***
2.12.12/02.20
Rindu.................................................................................................
ReplyDeleteBerharap,
ketika mata kita nanti bersitatap,
ada kata yang mengalir dari bibir manis itu.
Rindu juga kakkkkkkkkkk...
DeleteAkan ada banyak kata kak. Bahkan dalam diam pun. Saya akan terus bersuara. :)